Belva mengangkat bahu dan menggeleng pelan. “Entahlah, aku seperti terjerat selama-lamanya!”“Apa kamu punya rencana? Maksudku apa yang akan kamu lakukan setelah ini?” tanya Tigor lagi.Hening beberapa saat, hanya terdengar suara deburan ombak dan angin yang bertiup lembut.“Aku ingin lebih sibuk. Aku tidak ingin banyak menghabiskan waktu di rumah. Jadi, kita harus membuka cabang besar di sini. Aku akan membuat boutique sekaligus membuka kelas desainer. Keduanya harus berbeda tempat. Supaya aku tidak stay di satu tempat saja,” jelas Belva.Tigor mengangguk mengerti. “Itu gampang. Aku akan bantu mengurus segala keperluannya. Bahkan, jika kamu izinkan, aku akan memulainya besok!”“Baguslah.” Belva menghela napas lega dan tersenyum. “Setelah urusan butik selesai, aku mau kita juga mengadakan event besar seperti di Jakarta dua tahun lalu. Kalau perlu lebih besar lagi. Kali ini kita bisa mengundang dan mengajak kerja sama dari rekan di Australia.”“Okay. Ide bagus! kebetulan sekali untuk i
Suasana mendadak hening. Belva termangu saat Tigor malah bertanya seperti itu. Namun, tak lama kemudian pria itu pun tergelak. Melihat ekspresi Belva yang menurutnya sangat lucu.“Tegang amat, Neng!” kata Tigor sambil terus tertawa.Sementara Belva langsung meninju pelan lengan pria itu. Menyebalkan sekali ketika Tigor susah sekali di ajak bicara serius.“Aku serius, Tigor! kamu senang banget becanda.” Belva menggerutu.“Ya nggak dong, Bel. Gini-gini aku masih normal kali!” ujar Tigor yang kali ini membuat Belva tersenyum.“Syukurlah...” Belva menghela napas lega. Kemudian kembali bertanya, “Tapi kamu pernah pacaran gak, sih?”Sejenak Tigor menerawang. Memperlambat waktu dan membuat Belva kembali penasaran.“Ah, aku tuh sebenarnya paling males kalau bahas masa lalu. Karena gak ada yang menarik dari kisah aku itu!” seru Tigor. Membuat bahu Belva merosot.“Setiap orang pasti punya kisah yang menarik. Udah jatahnya setiap orang punya!” timpal Belva yang sok tau. Ia hanya ingin terus mema
Belva menghela napas. Karena malas berdebat, jadilah ia mengakhiri kesenangannya hari ini.“Ya sudah, antar aku pulang!” kata Belva.Tigor hanya tersenyum kemudian mereka beranjak dari pantai. Mereka bergegas menuju area parkir mobil.Belva di antar oleh Tigor untuk pulang. Di sela-sela perjalanan, ponselnya berdering. Ada panggilan masuk dari Ravin. Ia hanya menilik sesaat, membiarkan ponselnya terus berdering hingga panggilan tidak terjawab.“Kenapa gak di angkat?” tanya Tigor.“Paling juga marah-marah dia!” jawab Belva.“Dia khawatir kali sama kamu!” kata Tigor. Dia hanya terus berusaha mengingatkan Belva akan statusnya saat ini.“Kan ada istri tuanya. Tanpa aku juga dia pasti baik-baik aja!” ketus Belva.“Bukan itu ... dia pasti mencemaskan kamu, Belva. Bagaimanapun kan sekarang kamu itu istrinya. Sudah menjadi tanggung jawabnya!” seru Tigor.&ld
Kalimat itu tanpa disengaja tiba-tiba membuat hati Alana sakit. Sejenak ia termangu dan menoleh ke arah dapur. Melihat madunya yang sedang bersenda gurau dengan asyik bersama ART.“Ya sudah, kalau begitu pergilah! lagipula kemarin kita sudah bersama bukan?” Alana berusaha menerima dan bersikap wajar.“Tidak apa-apa, kan?” tanya Ravin, memastikan.“Tidak apa. Pergilah! kalau begitu, aku mau langsung beristirahat saja, Mas.” Alana tersenyum kemudian masuk ke dalam kamar seraya menutup pintu dengan sedikit memaksa. Membuat Ravin menggeser posisi dengan cepat.“Alana, tunggu!” Ravin menahan pintu yang hendak tertutup.“Ya, Mas?” sahut Alana. Nada suaranya pun terdengar lemah. Sepertinya dia kecewa.“Kamu gak marah kan sama aku?” tanya Ravin.Alana menarik napas dalam, kemudian menjawab, “Andai aku marah, aku gak punya hak untuk melarangmu bersama istri muda. Ini
Perasaannya semakin resah tak karuan. Terkadang menyesali keadaan ini. Mengapa juga ia harus teringat orang lain, sementara dirinya telah menjadi seorang istri. “Stop, Alana. Aku harus kuat! biarkan Mas Ravin berbahagia dengan istri mudanya. Ikhlaskan keadaan bahwa saat ini Ravin bukan hanya milikku. Dan, satu lagi, jangan pernah mengingat masa lalu lagi!” Alana terisak kecil. Berbicara pada dirinya sendiri. Rasanya masih begitu sulit untuk mengikhlaskan. Sementara dalam keterpurukan, bayang-bayang masa lalu justru mulai merongrong. Menciptakan desiran aneh dalam tubuhnya. Terbesit rasa rindu akan seseorang. “Oh Tuhan ... tolong hempaskan dia dalam benakku! aku dan Titan sudah lama berakhir. Tapi kenapa kalau aku sedang kecewa pada Ravin, bayang-bayang pria itu selalu muncul dalam pikiranku?” Alana menjadi gusar. Ia seperti berperang dengan pikiran dan hatinya sendiri. Tidak bisa dipungkiri, ia sangat merindukan sosok pria lain tanpa disadari. Membuat gejolak hasrat itu kembali me
Ravin menjeda sesaat ucapannya.“Semua ini aku lakukan, semata-mata hanya ingin kita bisa sama-sama menjaga harga diri. Sebagai suami maupun istri. Agar tidak ada yang terlalu mendominasi atau merasa tertindas. Aku menghargai keputusanmu untuk tak aku sentuh, kamu pun harus menghargai perintah dan aturan sebagai istriku.”Belva tertegun. Ravin memang selalu tegas dalam mengambil sikap. Jiwa kepemimpinannya tak usah diragukan lagi. Sikap wibawa dan kebijaksanaan Ravin itulah yang dulu sempat membuat Belva menyukai pria itu.“Terimakasih, Rav. Kamu sudah mengerti dengan baik. Aku akan menjaga rahasiamu dengan baik di hadapan keluarga besar. Tapi kembali lagi, sebagai imbalannya, aku tidak ingin kamu menyentuhku!” pungkas Belva.“Baiklah. Kamu bukan madu yang manis untukku!” Ravin berujar pelan. Membuat Belva tersenyum tipis.“Anggap saja begitu.”Di tengah-tengah perbincangan. Ponsel Belva bergetar. Ravin pun menilik sedikit dan menangkap sebuah nama yang tertera di layar ponsel istri m
Alana terdiam. Wajahnya menunduk lemah, kemudian kembali berbaring dengan ekspresi sedih.“Kamu kan sudah tau aku gimana?” katanya dengan lemah.“Tapi kan aku gak ke mana-mana, Alana. Kamu bisa meminta itu jika kamu mau!” ujar Ravin.“Bagaimana bisa? sementara kamu sedang asyik bersama istri muda. Aku gak mungkin mengacaukan itu!” balas Alana.“Come on, Alana. Maafkan aku, tapi ... kamu jangan keseringan melakukan itu sendirian, karena aku jadi merasa tidak berguna sebagai suami. Katakan saja kapanpun kamu inginkan!” ujar Ravin sembari mengusap lembut wajah sang istri.“Tapi aku gak mau mengganggu waktumu dengan Belva.” Alana terisak. Akhir-akhir ini ia menjadi sangat sensitif.Ravin mendekap erat sang istri tercinta. Merasa terharu karena meski memiliki daya hasrat yang berlebih, tetapi Alana selalu bisa menjaga diri dan tetap merelakan suaminya bersama wanita lain. Yang membuatnya menjadi tersiksa sendiri.“Maafkan aku, sayang. Sebagai permohonan maaf, apa yang kamu inginkan hari in
“Waw, kalau nanti sudah melahirkan apa kamu mengizinkan istrimu untuk kembali berkarir?” tanya Belva pada Ravin.Sejenak Ravin berpikir. Sebenarnya malas untuk menjawab hal seperti itu. Sementara Alana pun tampak penasaran dengan jawaban yang akan diberikan oleh suaminya.“Tetep gak boleh. Lebih baik fokus mengurus anak di rumah!” seru Ravin.Terlihat jelas ekspresi Alana pun menjadi datar cenderung sedih.Belva tersenyum tipis. Menurutnya alasan macam itu? bukankah di luar sana juga banyak wanita yang sudah menikah, mengandung bahkan sudah memiliki beberapa anak dan masih tetap bisa berkarir hingga sukses?“Kalau begitu, kenapa Belva kamu izinkan untuk kerja?” Alana protes.Ravin menghela napas. Menoleh pada istrinya yang tiba-tiba merajuk.“Belva kan punya tanggung jawab besar dalam bisnisnya. Gak mungkin tiba-tiba dia harus vakum atau meninggalkan pekerjaannya gitu aja,” ujar Ravin santai.“Lagipula kamu kan semenjak hamil jadi lebih banyak kecapean, dan memang lebih baik banyak b