Mata gadis itu terus saja menatap ke luar jendela. Dia merasa tidak nyaman berada satu mobil dengan Agam. Rinjani sedikit menyesal Karena tidak memaksa Arsha untuk ikut dengannya.
Agam tidak jauh berbeda, baru kali ini dia merasa gugup saat berdua dengan seorang gadis. Mungkin karena Rinjani berbeda dari gadis-gadis yang biasa mengejarnya. Jika biasanya Agam akan rishi karena ocehan mereka, kali ini lelaki itu justru harus mencari topik pembicaraan.
Dahi pria itu berkerut dan jarinya tidak mau diam, terus saja mengetuk-etuk setir mobil. Agam sedang mencari cara agar suanana tidak terus membosankan.
“Rin, rumahmu di mana?” Agam membuka suara untuk memecah keheningan.
Rinjani tidak menoleh, sepertinya pemandangan di luar mobil memang lebih menarik dibanding pria di dekatnya. “Jalan aja, nanti kalau udah deket aku kasih tau.”
Agam menghela napas lelah, dia tidak tahu cara agar Rinjani mau banyak berbicara. Padahal saat beberapa hari ini Agam mengamati gadis itu, dia terlihat sebagai tipe perempuan yang cerewet saat bersama dengan sahabatnya. Namun saat bersama dirinya, Rinjani seolah sedang puasa bicara.
Nggak papa Agam, ini permulaan, harus lebih sabar, batin Agam memberi semangat dirinya sendiri.
Mobil terus berjalan dengan kecepatan sedang dan sesekali berhenti ketika ada lampu merah. Rinajni masih tetap diam dan Agam pun hanya fokus mengendarai mobil. Tiba-tiba suara dering ponsel berbunyi memecah keheningan.
Rinjani mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Dia mengira ponselnya yang berbunyi tetapi ternyata bukan. Entah bagaimana nada dering ponsel Agam bisa sama dengan nada dering ponsel Rinjani.
“Rin, bisa tolong lihat siapa yang menghubungiku, aku sedang mengendarai tidak baik jika memegang ponsel. Ambil saja ponselnya di tas bagian depan.”
Agam melirik Rinjani yang tidak menjawab, terlihat gadis itu mulai membuka tas milik Agam untuk melakukan apa yang diminta.
“Dari Bunda,” ucap Rinjani sambil menunjukkan layar ponsel kepada Agam.
Pria itu hanya melihatnya sekilas. “ Tolong kamu angkat, ya, siapa tau penting.”
“Tap—”
“Tolong ….” Agam memelankan suaranya hingga seperti orang yang sedang memohon, hingga akhirnya Rinjani pasrah dan mengangkat panggilan masuk itu.
Jari kuning langsat milik Rinjani menggeser ikon di layar, lalu terdengar nada hubung. “Halo, tante, selamat siang.”
Halo, ini siapa, ya? Terdengar suara meneduhkan seorang wanita paruh baya di seberang sana.
“Saya Rinjani, temannya Agam. Dia sedang mengendarai mobil jadi minta tolong saya untuk mengangkat panggilan dari tante.”
Oh, begitu. Tolong sampaikan ke anak tante buat ke butik dulu ambil pesanan baju.
“Kenapa bukan petugas butik aja, Bund?” sahut Agam saat mendengar perkataan ibunya.
Bunda ‘kan punya anak lagi di jalan. Jadi, biar kamu punya alasan buat pulang, mending bunda suruh.
“Kebiasaan, deh,” gerutu Agam, sedangkan Rinjani yang membantu memegang ponsel ingin tertawa mendengar interaksi ibu dan anak itu.
Ya sudah, bunda tutup, ya. Anak orang jangan buat mainan, loh.
Mata pria itu menyipit dan wajahnya ditekuk. Ibunya selalu saja mengatakan hal itu setiap Agam ketahuan sedang bersama perempuan.
Setelah sambungan terputus, Rinjani segera meletakkan kembali ponsel Agam ke tempat semula. “Kenapa nggak dari awal kamu yang ngomong?”
Alisnya menukik, pria itu melirik bingung pada gadis di sampingnya. “Tadi yang langsung nyerocos siapa? Aku dah siap mau ngomong tadi, eh, udah keduluan.”
Rinjani memalingkan wajahnya, dia sadar apa yang dikatakan Agam memang benar. Harusnya tadi aku diem aja.
“Ada yang malu-malu, nih. Tadi nggak sabaran pengin bicara sama calon mamer, sekarang malah malu.”
“Diem! Nggak usah banyak omong. Itu di depan belok kanan, masuk kawasan perumahan, cari rumah nomor tujuh.” Rinjani menyahut dengan nada kesal untuk menutupi rasa malunya.
Sudut bibir pria itu terangkat menciptakan senyuman jahil andalaannya. Agam merasa senang karena sudah tahu bagaimana agar Rinjani banyak bicara.
Mobil berhenti di halaman rumah bercat putuh yang cukup besar. Saat mesin dimatikan, Rinjani bergegas membuka pintu mobil tetapi tidak bisa.
“Mau ke mana, huh?” ucap Agam yang sedang bersandar pada kursi kemudi seraya melihat Rinjani sambil tersenyum penuh kemenangan.
“Nggak usah bercanda deh, buka pintunya!”
Agam justru mendekatkan wajahnya dan membuat Rinjani membelalakkan mata karena terkejut. “Akan aku buka, tapi ada syaratnya.”
Rinjani masih dalam posisinya yang kembali bersandar pada kursi karena refleks saat Agam mendekatkan wajahnya. Tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu padahal hatinya menjerit histeris ingin memaki-maki pria di hadapannya.
Beberapa saat kemudian, entah mendapat kekuatan dari mana, Rinjani berhasil menggerakkan tangannya untuk mendorong Agam.
“Kok ditampar, sih,” gerutu Agam sambil mengelus-elus bekas tamparan Rinjani.
“Salah sendiri, aneh. Udah buruan buka kuncinya.”
“Akan aku buka, tapi dengan syarat besok kamu berangkat denganku—”
“Aku ti—”
“Oke, selamat beristirahat, Sayangku,” ucap Agam sambil mengacak-acak rambut Rinjani.
Terdengar bunyi kunci terbuka, Rinjani bergegas keluar dari mobil yang sudah menyiksanya. Gadis itu lari dan segera menutup kembali pintu rumahnya rapat-rapat.
Gadis itu masih bersandar di balik pintu, napasnya tidak beraturan. Tangannya berada di dada berharap jantungnya menjadi lebih tenang. Rinjani terus saja menggeleng sambil berusaha mengatur napasnya.
“Rin?”
“Bunda, ngagetin aja, ih!” gerutu Rinjani.
“Kamu aneh, sih. Pulang sekolah diem-diem, nggak salam atau teriak kaya biasanya. Udah gitu malah nyender di pintu sambil geleng-geleng. Bunda ‘kan jadi takut lihatnya.”
“Udah, ah. Rin mau ke kamar dulu.” Rinjani bergegas ke kamar meninggalkan sang ibu yang menatapnya aneh.
Rinjani langsung mengunci pintu kamarnya kemudian membanting tubuhnya ke ranjang. Batinnya maih bergemuruh saat mengingat kejadian di mobil, di mana Agam seolah-olah akan menciumnya.
“Rin, Rin. Sadar!” gumam Rinjani sambil memukul-mukul kepalanya. “Bisa-bisanya ketemu makhluk kaya Agam. Ya Tuhan, aku punya salah apa?”
Rinjani terus saja menggerutu. Dia seolah tidak mengenal dirinya sendiri. Logikanya tidak nyaman dan selalu menolak untuk berdekatan dengan Agam, tetapi hantinya berkata lain.
Gadis itu menggeleng berulang kali. “Nggak mungkin. Nggak mungkin semudah itu kamu jatuh hati, ‘kan, Rin?” tanya Rinjani pada dirinya sendiri. “Pokoknya aku harus jauh-jauh dari manusia aneh itu.”
Rinjani bangkit dari tidurya menuju kamar mandi. Gadis itu berniat berendam air dingin untuk membuang emosi negative pada dirinya.
Sabun beraroma manga yang terasa manis saat menyeruak di indra penciuman dituang pada bathtub. Lilin aroma terapi juga dinyalakan membuat ruang kamar mandi itu penuh aroma yang menenangkan.
Kurang lebih satu jam, Rinjani mulai meara kulitnya menggerut karena kedinginan. Gadis itu memutuskan untuk menyudahi berendamnya.
Rinjani turun menuju dapur untuk membantu ibunya memasak karena hari sudah sore. Dilihatnya seorang wanita paruh baya yang mencepol rambutnya dan mengenakan clekem sedang berkutat dengan wajan.
Rinjani mendekat dan menyapanya, “Hai, Ma. Masak apa sore ini?”
“Hai anak gadis mama, tumben jam segini udah turun. Biasanya juga tunggu mama selesai masak.” Hanna menjeda ucapannya sejenak untuk meniriskan ayam yang sudah matang. “Berhubung kamu sudah di sini, kamu lanjutkan goring ayamnya, ya. Mama mau buat sop.”
“Siap, Ma.”
Rinjani menikmati kegiatannya membantu sang ibu memasak. Ibunya pernah berkata, secantik apapun perempuan kalau tidak bisa memasak, suami akan mudah bosan. Jadi, sejak saat itu Rinjani mulai belajar memasak yang lama-kelamaan menjadi hobinya.
Gadis itu tersenyum bangga saat makanan sudah tersaji di meja makan. “Ma, Rin ke kamar dulu, ya, mau bebersih.”
“Iya, makasih udah dibantu, Sayang,” ucap Hanna sambil tersenyum tulus pada putrinya.
***
Acara makan malam berlangsung hangat. Setelah makan selesai, tidak lagsung meninggalkan meja makan melainkan bercerita apa yang dilalui masing-masing anggota keluarga Rinjani.
Ayah Rinjani bercerita bahwa baru saja bertemu dengan istri dari almarhum temannya, yang ternyata pelanggan setia di salah satu cabang toko emas miliknya. “Kalau tidak salah, namanya … Eisha.”
“Nama almarhum temanmu, Sebastian?” tanya Hanna kepada suaminya—Tama.
Tama menatap sang istri dengan sorot mata bingung. “Kok tau?”
“Eisha itu juga sahabatku.”
“Wah kebetulan sekali, kita diundang makan bersama sekalian mau bahas kerjasama cabang baru toko emas papa.”
Rinjani masih setia menyimak pembicaraan kedua orang tuanya. Dia tidak berniat menyahut atau memotong pembicaraan mereka. Entah kenapa baying-bayang wajah Agam kembali berseliweran di otaknya. Sampai-sampai saat sang ibu bertanya, Rinjani tidak mendengarnya.
“Rin, gimana?” tanya Hanna sambil menepuk pundak Rinjani yang membuat gadis itu terjengkit kaget.
“Eh, gimana apa, Ma?”
“Kamu ini ngalamunin apa, sih?” tanya Hanna heran pada sikap aneh rinjani.
Rinjani merasa tidak enak karena telah mengabaikan sang ibu. “Maaf, Ma. Tadi Mama tanya apa?”
“Mama tanya, besok malam kamu nggak ada acara ‘kan? Kamu ikut mama sama papa buat makan malam di luar. Mau, ya?”
“Iya, Ma, Pa. Rin ikut aja.”
Keesokan harinya Rinjani bangun lebih pagi. Tidak seperti biasanya, tadi malam gadis itu tidur lebih awal dan sangat lelap. Mungkin karena tubuhnya lelah atau mungkin traumanya perlahan mulai terobati. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, itu artinya Rinjani masih memliki waktu satu jam sebelum kelas pertamanya dimulai. Gadis itu sudah siap berangkat ke kampus dia tidak mau berlari-lari karena takut tertinggal kelas, seperti tempo hari. Setelah mengambil sarapannya serta berpamitan dengan kedua orang tuanya, Rinjani bergegas ke garasi rumahnya. Rinjani membuka pintu dan di sambut langit pagi yang terlihat biru cerah membuat suasana hati Rinjani semakin bersemangat. Seolah-olah alam semesta sedang memberi tahu Rinjani, bahwa akan ada awal yang istimewa untuk hari ini. Namun, hal itu hanya bertahan sebentar. Saat Rinjani menilik garasi, dia baru ingat kalau mobilnya belum dikembalikan. “Oh, sial! Bagaimana mungkin aku lupa. Minta dijemput Ars
“Ya Tuhan, jauhkan aku dari manusia-manusia bucin, ini,” sindir Arsha dengan nada yang sengaja dibuat-buat. Mata Rinjani memincing, menyorot tajam kepada Arsha, seolah-olah laser mematikan terpancar dari sana. Tangan Arsha trangkat mengacungkan symbol peace tanda damai kepada sahabatnya yang marah. Gadis itu tidak mau jika terkena amukan Rinjani yang sangat mengerikan,layaknya singa betina yang melindungi anaknya. Rinjani mengalihkan tatapannya kepada Agam. Sorot tidak suka terlihat jelas di sana, menutup rasa terbiasa yang sebenarnya sudah hadir. “Mending kamu pergi dari sini. Aku muak melihatmu terus-menerus,” usir Rinjani sambil terus memperlihatkan raut tidak suka. Bukannya tersinggung, bibir pria itu justru tertarik ke atas menciptakan sebuah senyuman yang mengerikan. Agam merasa semakin tertantanng untuk bisa meluluhkan hati Rinjani dan mendapatkan cintanya. “Nggak usah gitu, Sayang …. Nanti ujungnya cinta …,” god
“Mulai, deh. Udah sana Mama keluar aja. Rin mau mandi, pengin berendam juga,” usir Rinjani yang sudah paham dengan sifat sang ibu yang suka menggoda. Bukannya langsung pergi, Hanna justru semakin gencar menggoda Rinjani. “Aduh senangnya, Anak Mama udah mulai peka lagi. Nanti malam sekalian kenalan sama anak Tante Eisha, ya.” Mata Rinjani terbuka lebar, bibirnya maju mengerucut menandakan jika gadis itu sudah kesal. “Udah, deh, Ma. Kalau gitu terus mending Rin nggak usah ikut sekalian.” “Oke-oke, Mama keluar sekarang …. Mandi yang bersih biar wangi dan nggak malu-maluin!” teriak Hanna dari balik pintu membuat Rinjani sangat kesal tetapi justru berakhir tertawa mendapati tingkah aneh sang ibu. Mata bulat itu melihat ke arah pintu, lalu sebuah senyuman terukir di wajah gadis itu. Rinjani sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu ada untuknya. Terutama sosok ibu yang selalu bisa memahami suasana hatinya, serta tahu bagaimana cara membuat dia kembali
Rinjani dan kedua orang tuanya sudah berada di rumah. Acara makan malam sudah selesai, dan kesepakatan kerjasama untuk membuka cabang toko perhiasan sudah ditandatangani. Sejak kembali dari acara makan malam tadi, Rinjani terus memasang wajah tanpa senyum. Hanna yang menyadari perubahan putrinya hanya bisa menghela napas. Karena mau memancing bembicaraan untuk membuat Rinjani tertawa juga bukan saat yang tepat. “Lihat itu putrimu! Bagaimana dia bisa punya kekasih kalau terus saja bersikap dingin begitu,” keluh Hanna kepada suaminya sambil memerhatikan Rinjani yang langsung ke kamarnya Tama memeluk sang istri dari samping seraya berkata, “Sudah, biarkan saja. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti punya. Lebih baik kita istirahat, ini sudah malam.” Sementara itu, Rinjani yang sudah berada di kamar memilih untuk mandi sebelum tidur. Hati dan logikanya sedang berperang, dan gadis itu butuh penyegaran. Setelah selesai mandi, di naik ke ranjang dan
“Agam!” Varen menepuk pundak Agam dan membuatnya tersadar dari lamunan. Tanpa memerdulikan Varen, Agam pergi begitu saja. Yang ada di pikiran pria itu saat ini hanyalah Rinjani. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Langkahnya terlihat sangat buru-buru dan sorot di mata pria itu menyiratkan kegelisahan. Agam langsung melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus dengan kecepatan tinggi. “Kamu kenapa, Rin … kamu kenapa?” gumam Agam sambil berusaha untuk tetap fokus menyetir. *** “Permisi, Tante, Om. Bagaimana keadaan Rinjani?” tanya Agam dengan napas terputus-putus begitu dia sampai di depan ruangan di mana Rinjani sedang diperiksa. “Dia masih di dalam, dokter masih memeriksanya,” jawab Tama masih sambil menenangkan sang istri. Agam memilih duduk di kursi tunggu tak jauh dari kedua orang tua Rinjani. Kedua tangan pria itu ditautkan dan kakinya terus bergerak tanda bahwa Agam sedang gelisah. Beberapa saat kemudi
Saat Agam sedang sendirian di kamar, sambil terus memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan Rinjani, dia teringat sesuatu. Ucapan Hanna setelah makan malam kala itu terus berputar di otaknya. “Agam, Tante tau kamu anak baik. Tante cuma mau bepesan sama kamu …. Jika kamu sudah berhasil meluluhkan hati Rinjani, jangan pernah kecewakan dia, apalagi meninggalkannya. Rin sebenarnya berhati lembut, hanya saja … trauma itu masih belum sembuh.” “Trauma?” Dahi Agam berkerut, dia sedikit tidak percaya jika dugaannya kala itu memang benar adanya. “Trauma apa, Tan?” “Malam semakin larut. Tante pamit pulang, ya. Sebaiknya kamu juga ke parkiran sekarang, Tante yakin ibumu juga sudah menunggu.” Agam semakin penasaran dengan trauma yang dimiliki Rinjani. Terlebih saat Hanna berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu yakin, ini bukan trauma biasa. Dengan terpaksa, Agam mengiyakan ucapan Hanna. Dia yakin,
Berkali-kali pria itu membuka ponsel pintar miliknyanya, lalu menutupnya kembali. Dia merasa perlu, tetapi ragu untuk menghubungi Rinjani. Yang sebenarnya adalah, Agam takut egonya kembali terluka, dia masih merasa bahwa ini bukan sepenuhnya salahnya. Agam masih merasa jika Rinjani tidak seharusnya menampar dirinya. “Telpon … jangan. Tapi …. Argh, kenapa jadi begini, sih! Baru juga perkenalan udah bikin marah, Agam … Agam …, buruk sekali nasibmu. Pria itu merasa lelah berperang dengan dirinya sendiri. Dibaringkan tubuh kekar itu pada ranjang berukuran besar, lenganya terangkat menutupi mata yang terpejam. Kepalanya berdenyut nyeri menciptakan rasa tidak nyaman. “Ya, Tuhan, kenapa serumit ini?” Akhirnya, Agam memilih untuk menghubungi sepupunya. Berharap gadis itu bisa memberinya solusi, atau setidaknya bisa membantu mengurangi beban pikiran. “Halo, Sha,” sapa Agam saat panggilan ketiga yang akhirnya dijawab. Terdengar suara dengusan ma
“Rin,” sapa Arsha seraya menepuk pundak sahabatnya yang sedang memunggunginya. Rinjani terjungkit kaget, beruntung ponsel yang dipegang tidak meloncat ke lantai bawah. “Kamu mengejutkanku, Sha,” protes Rinjani. Senyuman menyebalkan tanpa rasa bersalah terukir di wajah Arsha membuat Rinjani gamas dan jengkel secara bersamaan. “Maaf, maaf. Ini, tadi ada titipan dari adik tingkat. Nggak tau dari siapa karena aku dia juga nggak ngasih tau ke aku,” jelas Arsha sambil memberikan kotak kado yang dari Agam tadi. Alis Rinjani berkerut sambil tangannya membolak-balik kado tersebut, berusaha mencari nama pengirim. Saat Rinjani hendak membuka kado itu, Arsha menahan tangan sahabatnya. “Buka nanti aja di rumah, udah mau mulai nik kelasnya.” “Oh, iya. Oke deh,” sahut Rinjani lalu meletakkan kotak kado itu ke dalam tas. *** “Mama, Rin pulang! Yuhu …, Mama di mana?” teriak Rinjani saat memasuki rumah kelurga Tama. “Ngga