Keesokan harinya Rinjani bangun lebih pagi. Tidak seperti biasanya, tadi malam gadis itu tidur lebih awal dan sangat lelap. Mungkin karena tubuhnya lelah atau mungkin traumanya perlahan mulai terobati.
Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, itu artinya Rinjani masih memliki waktu satu jam sebelum kelas pertamanya dimulai. Gadis itu sudah siap berangkat ke kampus dia tidak mau berlari-lari karena takut tertinggal kelas, seperti tempo hari.
Setelah mengambil sarapannya serta berpamitan dengan kedua orang tuanya, Rinjani bergegas ke garasi rumahnya.
Rinjani membuka pintu dan di sambut langit pagi yang terlihat biru cerah membuat suasana hati Rinjani semakin bersemangat. Seolah-olah alam semesta sedang memberi tahu Rinjani, bahwa akan ada awal yang istimewa untuk hari ini.
Namun, hal itu hanya bertahan sebentar. Saat Rinjani menilik garasi, dia baru ingat kalau mobilnya belum dikembalikan.
“Oh, sial! Bagaimana mungkin aku lupa. Minta dijemput Arsha juga nggak mungkin cukup waktunya. Huh, mending minta antar papa.”
Rinjani yang kebingungan hendak kembali masuk dan meminta sang ayah untuk mengantarnya. Namun, suara klakson membut gadis itu kembali berbalik badan.
Terlihat mobil hitam mengkilap berhenti tepat di halaman rumah Rinjani. Pintu mobil itu terbuka dan muncul seorang pria berkaos hitam turun.
Agam? Rinjani tidak percaya jika pria itu benar-benar menjemputnya.
“Pagi, Sayang. Aku tidak terlambat, ‘kan?” ucap Agam saat sudah berada di dekat Rinjani. “Mau berangkan sekarang?”
“Hah?” Entah mengapa, otak Rinjani seolah buntu. Dia bahkan tidak sadar jika Agam sudah menariknya masuk ke mobil. Setelah pintu mobil ditutup dari luar, Rinjani baru tersadar. Dia hendak turun, tetapi Agam yang sudah masuk bergegas mengunci pintunya.
“Mau ke mana? Kita ‘kan belum sampai kampus. Masa mau turun,” ucap Agam tanpa merasa bersalah.
“Ngapain sih, pakai acara jemput segala!” gerutu Rinjani.
“Aku ‘kan sudah bilang kemarin, pria harus menepati ucapannya.”
Rinjani diam membisu tidak bisa menyanggah ucpan Agam yang memang benar. Akhirnya gadis itu hanya bisa pasrah, kembali satu mobil dengan pria yang menurutnya aneh.
Beruntung, jalan raya tidak seramai biasanya membuat gadis itu bisa tenang menikmati suasana pagi. Kaca mobil sengaja diturunkan agar angin pagi bisa masuk. Rinjani terus saja melihat ke luar jendela, seolah tak peduli dengan keberadaan Agam.
Niat mau berangkat pagi biar romantis dan makin dekat, kenapa malah kaya supir gini. Wajah Agam ditekuk masam, kenyataan tidak sesuai ekspetasi membuatnya tidak bersemangat.
***
Sesampainya mereka di parkiran kampus, Agam segera keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Rinjani. Banyak pasang mata yang menatap mereka kagum, tetapi tidak sedikit pula yang tidak suka.
Saat Agam mengambil barang yang tertinggal di mobil, Rinjani berjalan lebih dulu menuju gedung fakultasnya, meninggalkan Agam begitu saja.
“Ya Tuhan, apa ini sebuah karma? Rasa-rasanya sulit sekali mendapatkan hati Rinjani. Jangankan hati, perhatiannya saja belum aku dapatkan.”
Agam memilih untuk tidak menyusul Rinjani. Pria itu mengambil arah yang berbeda menuju gedung fakultasnya.
Agam berjalan dengan malas dan tidak semangat ke ruang yang akan menjadi tempat pembelajaran pagi ini.
“Suntuk amat tuh muka!” ejek Varen saat melihat Agam memasang wajah masam seolah tidak ada gairah hidup.
“Berisik!” sahut Agam langsung duduk dan menenggelamkan wajahnya pada tas yang menjadi bantal.
“Apa semua ini karena gadis itu? Apa kamu akan menyerah begitu saja?” tanya Varen membuat AGam semakin kesal.
“Mana mungkin! Oh, ayolah, bantu aku …,” ucap Agam memelas.
Mata Varen terbuka lebar, dia menatap tidak percaya kepada Agam. Pria itu berkali-kali bergeleng.
“Bener-bener hebat, Rinjani. Seoarang Agam yang banyak penggemar bisa bertekuk lutut kurang dari satu bulan.”
“Diam saja kalau tidak mau membantu. Tidak usah mengejekku begitu.
***
Kelas pagi telah berakhir, Rinjani dan Arsha baru saja keluar kelas, berniat pergi ke kantin. Saat melewati koridor, ada seorang adik tingkat perempuan yang menghampirinya.
“Selamat pagi, Kak,” sapa gadis itu dengan sopan menghetikan langkah Rinjani yang hendak berbelok.
Rinjani menyunggingkan senyum kepada gadis yang dia yakin adalah adik tingkatnya. “Pagi juga ….” Rinjani menjeda ucapannya sejenak sambil mengingat-ingat apa dia mengenal gadis di hapadapnnya atau tidak. “Maaf, ada apa, ya?”
“Kakak … Kak Rinjani, ‘kan?” tanya gadis berkucir kuda itu.
“Iya, betu. Kenapa, ya?”
“Ini ada titipan dari seseorang, buat Kakak,” ucap gadis itu seraya mesnyerahka kotak panjang yang terbungkus kertas kado.
Rinjani menatap kea rah kotak yang disodorkan kepadanya dengan tatapan bingung dan kerutan di dahi. “Dari siapa?”
“Aku nggak tau, Kak. Ini ….”
Dengan terpaksa, Rinjani menerima kotak itu karena tidak ingin membuat adik tingkatnya merasa malu. “Terima kasih.”
Gadis berkaos merah itu menyunggingkan bibirnya saat melihat senyum Rinjani. Lalu setelahnya gadis itu berlenggang pergi. Menyisakan Rinjani yang tengah kebingungan sambil menatap kotak yang dipegang.
Siapa sih yang kasih beginian, kaya anak kecil aja.
Rinjani melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Dia sebenarnya penasaran siapa yang sudah memberinya kado. Namun, dasarnya Rinjani memang cuek jadi dia tidak ambil pusing soal hah ini.
Sesampainya Rinjani di depan ruang yang akan menjadi tempat kelas pertamanya berlangsung, ternyata Arsha sudah menunggunya.
“Wah, pagi-pagi udah dapat hadiah miseri, nih,” ledek Arsha saat melihat kotak yang dipegang Rinjani.
“Berisik. Aku aja nggak tau siapa yang kasih ini,” ucap Rinjani sambil memutar-mutar kotak itu, berharap menemukan nama pengirim.
“Buka, coba. Aku penasaran pengin lihat isinya.”
Tangan Rinjani terulur memberikan buku yang sedari tadi dia pegang. Arsha yang paham dengan maksud sahabatnya segera menerima buku-buku tersebut.
Kertas kado bermotif pelangi itu mulai sobek akibat ulah tangan Rinjani. Sebuah kotak berwarna ungu mulai nampak. Rinjani menarik kotak tersebut, yang ternyata adalah sebatang cokelat dengan merk yang cukup terkenal.
“Aneh, kok dia tau cokelat kesukaanku?” gumam Rinjani yang masih bisa didengar oleh Arsha.
Gadis berambut gelombang yang terurai itu tersenyum menahan tawa. Ya jelas tau, orang itu cokelat dari Agam. Dan sebelum itu, dia udah tanya dulu ke sahabatmu ini, Rinjani.
“Kenapa senyum-senyum gitu?” hardik Rinjani.
Rinjani menatap penuh curiga kepada sahabatanya. Sorot mata gadis itu penuh selidik. Alisnya menukik dan jidat Rinjani berkerut, membuat Arsha gelagapan.
“Nggak kenapa-napa. Udah, yuk, ke kantin. Laper nih,” ujar Arsha mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Tanpa menjawab ucapan Arsha, Rinjani mengambil bukunya yang tadi dia titipkan kepada sahabatnya itu, lalu melangkah lebih dulu meninggalkan Arsha.
Arsha sempat melirik ke arah koridor kiri, di mana ada seorang pria yang sejak tadi mengawasi Rinjani. Gadis itu juga mengangguk kepada pria di balik pilar itu mengangguk sebelum menyusul sahabatnya.
Bibir pria itu tertarik ke atas menciptakan garis lengkung yang membuat gadis-gadis jatuh hati saat melihatnya. Agam merasa sangat senang karena Rinjani tidak membuang cokelat pemberiannya, meski dia yakin gadis itu belum mengetahui jika dia yang memberikannya.
***
Rinjani asik menikmati bakso yang dipesannya, sedangkan Arsha sibuk dengan nasi goreng. Hingga seorang pria datang mengganggu ketenangan mereka.
Ya Tuhan, kenapa harus ada cowok aneh ini. Rinjani melirik ke samping kirinya, di mana ada Agam yang sedang tersenyum aneh kepadanya.
“Ngapain sih kalian ke sini? Emang di fakultas kalian nggak ada kantin apa?” tanya Arsha yang merasa makannya terganggu.
“Tau tuh, si Agam,” sahut Varen disela-sela minumnya.
“Ya, dirimu ngapain ikut? Heh! Itu minumku!” hardik Arsha marah karena minumnya dihabiskan.
Dengan raut wajah tanpa dosa, Varen meletakkan gelas yang sudah kosong ke tempatnya semula. “Maaf, maaf. Ntar aku ganti, deh.”
“Harus. Pesenin sekarang, sana!” titah Arsha sambil mendorong Varen agar segera melaksan perintahnya.
Sementara Arsha dan Varen sibuk bertengkar, Agam justru asik memperhatikan Rinjani yang terus menikmati makannya, seolah-olah dia sendirian.
Senyum terus terukir di wajah Agam, membuat gadis-gadis di sana menatap iri kepada Rinjani. Bisik-bisik tidak mengenakkan terdengar sangat menjengkelkan di telinga gadis itu, dan membuatnya jengah.
“Ngapain sih? Kaya nggak punya kesibukan aja,” gerutu Rinjani tanpa melihat Agam.
“Aku kangen kamu, Sayang. Makanya aku ke sini,” ucap Agam sambil terus menatap Rinjani yang membuat gadis itu risih.
“Ya Tuhan, jauhkan aku dari manusia-manusia bucin, ini,” sindir Arsha dengan nada yang sengaja dibuat-buat. Mata Rinjani memincing, menyorot tajam kepada Arsha, seolah-olah laser mematikan terpancar dari sana. Tangan Arsha trangkat mengacungkan symbol peace tanda damai kepada sahabatnya yang marah. Gadis itu tidak mau jika terkena amukan Rinjani yang sangat mengerikan,layaknya singa betina yang melindungi anaknya. Rinjani mengalihkan tatapannya kepada Agam. Sorot tidak suka terlihat jelas di sana, menutup rasa terbiasa yang sebenarnya sudah hadir. “Mending kamu pergi dari sini. Aku muak melihatmu terus-menerus,” usir Rinjani sambil terus memperlihatkan raut tidak suka. Bukannya tersinggung, bibir pria itu justru tertarik ke atas menciptakan sebuah senyuman yang mengerikan. Agam merasa semakin tertantanng untuk bisa meluluhkan hati Rinjani dan mendapatkan cintanya. “Nggak usah gitu, Sayang …. Nanti ujungnya cinta …,” god
“Mulai, deh. Udah sana Mama keluar aja. Rin mau mandi, pengin berendam juga,” usir Rinjani yang sudah paham dengan sifat sang ibu yang suka menggoda. Bukannya langsung pergi, Hanna justru semakin gencar menggoda Rinjani. “Aduh senangnya, Anak Mama udah mulai peka lagi. Nanti malam sekalian kenalan sama anak Tante Eisha, ya.” Mata Rinjani terbuka lebar, bibirnya maju mengerucut menandakan jika gadis itu sudah kesal. “Udah, deh, Ma. Kalau gitu terus mending Rin nggak usah ikut sekalian.” “Oke-oke, Mama keluar sekarang …. Mandi yang bersih biar wangi dan nggak malu-maluin!” teriak Hanna dari balik pintu membuat Rinjani sangat kesal tetapi justru berakhir tertawa mendapati tingkah aneh sang ibu. Mata bulat itu melihat ke arah pintu, lalu sebuah senyuman terukir di wajah gadis itu. Rinjani sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu ada untuknya. Terutama sosok ibu yang selalu bisa memahami suasana hatinya, serta tahu bagaimana cara membuat dia kembali
Rinjani dan kedua orang tuanya sudah berada di rumah. Acara makan malam sudah selesai, dan kesepakatan kerjasama untuk membuka cabang toko perhiasan sudah ditandatangani. Sejak kembali dari acara makan malam tadi, Rinjani terus memasang wajah tanpa senyum. Hanna yang menyadari perubahan putrinya hanya bisa menghela napas. Karena mau memancing bembicaraan untuk membuat Rinjani tertawa juga bukan saat yang tepat. “Lihat itu putrimu! Bagaimana dia bisa punya kekasih kalau terus saja bersikap dingin begitu,” keluh Hanna kepada suaminya sambil memerhatikan Rinjani yang langsung ke kamarnya Tama memeluk sang istri dari samping seraya berkata, “Sudah, biarkan saja. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti punya. Lebih baik kita istirahat, ini sudah malam.” Sementara itu, Rinjani yang sudah berada di kamar memilih untuk mandi sebelum tidur. Hati dan logikanya sedang berperang, dan gadis itu butuh penyegaran. Setelah selesai mandi, di naik ke ranjang dan
“Agam!” Varen menepuk pundak Agam dan membuatnya tersadar dari lamunan. Tanpa memerdulikan Varen, Agam pergi begitu saja. Yang ada di pikiran pria itu saat ini hanyalah Rinjani. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Langkahnya terlihat sangat buru-buru dan sorot di mata pria itu menyiratkan kegelisahan. Agam langsung melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus dengan kecepatan tinggi. “Kamu kenapa, Rin … kamu kenapa?” gumam Agam sambil berusaha untuk tetap fokus menyetir. *** “Permisi, Tante, Om. Bagaimana keadaan Rinjani?” tanya Agam dengan napas terputus-putus begitu dia sampai di depan ruangan di mana Rinjani sedang diperiksa. “Dia masih di dalam, dokter masih memeriksanya,” jawab Tama masih sambil menenangkan sang istri. Agam memilih duduk di kursi tunggu tak jauh dari kedua orang tua Rinjani. Kedua tangan pria itu ditautkan dan kakinya terus bergerak tanda bahwa Agam sedang gelisah. Beberapa saat kemudi
Saat Agam sedang sendirian di kamar, sambil terus memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan Rinjani, dia teringat sesuatu. Ucapan Hanna setelah makan malam kala itu terus berputar di otaknya. “Agam, Tante tau kamu anak baik. Tante cuma mau bepesan sama kamu …. Jika kamu sudah berhasil meluluhkan hati Rinjani, jangan pernah kecewakan dia, apalagi meninggalkannya. Rin sebenarnya berhati lembut, hanya saja … trauma itu masih belum sembuh.” “Trauma?” Dahi Agam berkerut, dia sedikit tidak percaya jika dugaannya kala itu memang benar adanya. “Trauma apa, Tan?” “Malam semakin larut. Tante pamit pulang, ya. Sebaiknya kamu juga ke parkiran sekarang, Tante yakin ibumu juga sudah menunggu.” Agam semakin penasaran dengan trauma yang dimiliki Rinjani. Terlebih saat Hanna berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu yakin, ini bukan trauma biasa. Dengan terpaksa, Agam mengiyakan ucapan Hanna. Dia yakin,
Berkali-kali pria itu membuka ponsel pintar miliknyanya, lalu menutupnya kembali. Dia merasa perlu, tetapi ragu untuk menghubungi Rinjani. Yang sebenarnya adalah, Agam takut egonya kembali terluka, dia masih merasa bahwa ini bukan sepenuhnya salahnya. Agam masih merasa jika Rinjani tidak seharusnya menampar dirinya. “Telpon … jangan. Tapi …. Argh, kenapa jadi begini, sih! Baru juga perkenalan udah bikin marah, Agam … Agam …, buruk sekali nasibmu. Pria itu merasa lelah berperang dengan dirinya sendiri. Dibaringkan tubuh kekar itu pada ranjang berukuran besar, lenganya terangkat menutupi mata yang terpejam. Kepalanya berdenyut nyeri menciptakan rasa tidak nyaman. “Ya, Tuhan, kenapa serumit ini?” Akhirnya, Agam memilih untuk menghubungi sepupunya. Berharap gadis itu bisa memberinya solusi, atau setidaknya bisa membantu mengurangi beban pikiran. “Halo, Sha,” sapa Agam saat panggilan ketiga yang akhirnya dijawab. Terdengar suara dengusan ma
“Rin,” sapa Arsha seraya menepuk pundak sahabatnya yang sedang memunggunginya. Rinjani terjungkit kaget, beruntung ponsel yang dipegang tidak meloncat ke lantai bawah. “Kamu mengejutkanku, Sha,” protes Rinjani. Senyuman menyebalkan tanpa rasa bersalah terukir di wajah Arsha membuat Rinjani gamas dan jengkel secara bersamaan. “Maaf, maaf. Ini, tadi ada titipan dari adik tingkat. Nggak tau dari siapa karena aku dia juga nggak ngasih tau ke aku,” jelas Arsha sambil memberikan kotak kado yang dari Agam tadi. Alis Rinjani berkerut sambil tangannya membolak-balik kado tersebut, berusaha mencari nama pengirim. Saat Rinjani hendak membuka kado itu, Arsha menahan tangan sahabatnya. “Buka nanti aja di rumah, udah mau mulai nik kelasnya.” “Oh, iya. Oke deh,” sahut Rinjani lalu meletakkan kotak kado itu ke dalam tas. *** “Mama, Rin pulang! Yuhu …, Mama di mana?” teriak Rinjani saat memasuki rumah kelurga Tama. “Ngga
Terdengar suara lonceng yang menandakan bahwa ada orang yang memasuki kafe tersebut. Seorang gadis yang mengenakan celana jins dan kaos panjang berwarna merah terlihat sedang mencari seseorang. Rambutnya yang dikucir satu bergoyang seiring dengan pergerakan kepalanya. Aku bahkan tidak tau rupanya, bagaimana aku bisa tau kalau itu dia, batin Rinjani yang masih berdiri di dekat pintu seperti orang yang kebingungan. Seorang wanita berseragam pelayan kafe, melagkah gontai menghampiri Rinjani. Dia tersenyum ramah dan menyapa pelanggan setianya tersebut. “Mbak Rinjani, ini ada titipan,” ucap pelayan kafe itu seraya menyerahkan origami kertas berbentuk hati. Sudut bibir Rinjani terangkat menciptakan sebuah senyuman yang mampu menggetarkan hati Agam. Rinjani menerima origami itu seraya bertanya, “Terima kasih, tapi di mana orang yang memberikan ini?” “Kata orang tadi, silakan dibaca, maka kamu akan tau aku ada di mana,” jelas si pelayan kafe