Mata yang dua telah dua hari perlahan mulai terbuka. Tatapannya terlihat kosong sebelum kembali menangis.“Agam! Agam!” teriak Rinjani membangunkan Tama dan Hanna yang menunggui Rinjani di ruangan tersebut.Tama bergegas memluk Rinjani ketika putrinya berusaha melepas jarum infus di tangannya.“Rin Sayang, kamu tenang, ya. Agam sebentar lagi ke sini,” bisik Tama membuat gerakan berontak Rinjani terhenti.“Benar?” tanya Rinjani dengan tatapan berbinar.“Iya, Sayang. Nanti saat dia selesai dengan kuliahnya, dia akan ke sini,” ucap Tama seraya menangkup wajah putrinya.Hanna berlari keluar tidak tahan melihat keadaan putrinya. Wanita paruh baya itu terduduk di depan ruang rawat seraya menangis terisak.“Tante?” Arsha yang memang tidak ada jadwal kuliah hari ini berniat datang pagi untuk menggantikan orang tua Rinjani menemani gadis itu, justru menemukan Hanna tenga menangis di luar ruang rawat.Hanna bergegas menghapus air matanya. “Sha, Rinjani sudah sadar. Agam. Agler maksud tante. Dia
Seperti hari-hari biasa sejak satu bulan yang lalu, Agler selalu mengunjungi Rinjani yang berada di rumah perawatan khusus. Kejiwaan gadis itu sedikit terganggu dan akan mengamuk ketika mengingat bahwa Agam telah tiada. Mau tidak mau, Agler harus terus menerus berperan menjadi Agam sampai Rinjani benar-benar pulih. Seorang suster membuka pintu rumah rawat ketika Agler mengetuknya. “Silakan masuk, Tuan. Nona Rinjani baru saja meminum obat dan sedang berbaring.” “Terima kasih,” sahut Agler seraya melangkah masuk. “Hai, Rin Sayang,” sapa Agler seraya mengecup dahi gadis pucat yang tengah berbaring. “Agam, kamu sudah datang ....” seperti biasa, kalimat itulah yang Agler dengar sebulan terahir setiap mengunjungi Rinjani. Semakin hari, hati pria itu semakin teriris setiap mendengar Rinjani memangilnya Agam. Bohong jika tidak ada rasa yang perlahan tumbuh mengingat bagaimana perannya ketika di samping Rinjani. Agler semakin nyaman menjalankan perannya sebagai seorang kekasih. Tawa Rinj
Rinjani merupakan anak semata wayang dari Hanna dan Tama. Kedua orang tuanya sangat memanjakan dia. Akan tetapi, hal itu tidak membuat Rinjani menjadi manja dan semena-mena. Dia justru tumbuh menjadi gadis mandiri dan paling tidak suka merepotkan orang lain. Namun, lain lagi jika dia sedang kesal atau sakit, maka manjanya bisa melebihi anak kecil. Di luar, dia terlihat sangat kuat dan tegar. Tidak ada yang tahu jika terdapat luka menganga di hati Rinjani yang belum bisa disembuhkan. Sebuah luka yang merubah sikapnya menjadi sedingin kutub dan lebih tertutup. Duduk di depan sebuah laptop dengan tangan menari-nari di atas papan ketik, sudah menjadi rutinitasnya setiap malam. Suasana yang sunyi dan begitu tenang membuat Rinjani merindukan sosok yang tidak seharusnya. Hanya dengan menulis dia bisa menumpahkan isi hatinya dengan gamblang. Segala kerinduan yang dia rasakan tercurahkan dalam kata demi kata yang tertulis. Cuaca seolah mendukung Rinjani untuk menangis
“Mari, Pak, ke sebelah sini,” ujar sang suster membuat Rinjani menghembuskan napas lega. Mereka berjalan menyusuri lorong berikutnya, hingga berhenti di depan sebuah ruangan. “Pak, Bu, Kak, tunggu di sini dulu, ya. Dokter masih di dalam. Saya permisi.” “Terima kasih, Sus,” ucap Tama yang dijawab anggukan oleh sang suster. Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar bersama dua orang suster di belakngnya. “Bagaimana keadaan Dava, Dok?” tanya Rinjani tidak sabaran. “Kamu Rinjani? Sedari tadi pasien terus menyebut nama kamu, coba kamu masuk siapa tahu itu bisa membuat dia siuman.” Rinjani langsung masuk ke ruang tersebut. Dilihatnya seorang pria yang sangat dia cintai tengah terbaring lemah di ranjang. Bibir pucatnya sesekali terbuka menggumamkann nama Rinjani. Perlahan Rinjani mendekat dan duduk di kursi dekat ranjang. Tangannya terulur menyentuh kepala Dava dan menyusuri setiap inci dari wajah pucat tersebut. “Dava, b
Dengan napas yang belum teratur, gadis itu mengetuk pintu dengan rasa takut. Tidak ada sahutan dari dalam, Rinjani pun memberanikan diri untuk membuka pintu. Ternyata, ruang kelasnya kosong. Rinjani mengabil ponsel yang sedari tadi terus bergetar. “Halo, Sha. Kamu di mana?” “Ya ampun, akhirnya diangkat juga. Buruan ke kantin, Bu Maya batalin kelas.” Rasa kesal menguasai Rinjani. Gerutuan terus saja terucap dari mulut gadis itu. “Udah dibelain lari-lari sampai hampir jatuh. Ternyata libur? Ya Tuhan, ini lebih sakit daripada diputusin doi.” Sesampainya di kantin, Rinjani langsung duduk di depan Arsha dan meletakkan buku-bukunya dengan kasar. “Sumpah, ya. Kesel banget. Bisa-bisanya batalin kelas mendadak. Kamu juga, Sha, kok nggak ngabarin, sih.” “Enak aja, aku udah berusaha buat hubungin kamu berkali-kali nggak diangkat. Salah siapa coba?” “Nggak tau deh, kesel,” gerutu Anjani. Arsha menepuk-nepuk pundak Rinja
Setelah Rinjani membantu Arsha mengerjakan tugas, mereka bersiap mengikuti kelas berikutnya yang akan dimulai sebentar lagi. “Sha, aku nitip buku sama bilangin ke dosen, ya. Pengin ke toilet,” ujar Rinjani dengan terburu-buru. Sampai di depan pintu, dia buru-buru masuk. Akan tetapi, kemudian dia diam mematung karena ada dua laki-laki yang sedang mencuci wajahnya. Perlahan, Rinjani berjalan mundur saat sadar kalau dia salah masuk toilet. “Au—” Rinjani menutup mulutnya yang hendak berteriak, dia terkejut karena kepalanya membentur dada bidang milik seseorang di belakangnya. Tubuh Rinjani kaku dan wajahnya memerah karena malu. Gadis itu hanya bisa diam menunduk. Hingga sepasang tangan memegang lengannya dan memaksa dia berbalik badan. “Buka matamu. Bukankah tadi kamu sudah mengintip mereka?” ujar orang itu sambil menunjuk dua laki-laki yang berada di dalam, dengan dagunya. Rinjani kesal, dia merasa terhina dengan ucapan pria di hadapannya
“Wah, sepertinya kita jodoh, ya. Baru saja bertemu di kantin, sekadang bertemu lagi di perpustakaan.” Perasaan Rinjani semakin tidak karuan. Dia mengabaikan orang di depannya dan masuk begitu saja. Terdegar jika Arsha mengejek Agam saat melihat Rinjani mengabaikannya. “Kasian sekali Kakak Sepupuku yang jelek ini,” sindir Arsha seraya menyusul Rinjani masuk. Tangan sawo matang itu menari-nari, menyusuri buku-buku yang berjajar rapi di rak. Tadinya Rinjani berniat untuk tidak jadi masuk ke perpustakaan, jika saja dia tidak ingat bahwa buku yang akan dia pinjam, dibutuhkan hari ini. Buku tebal bersampul kuning tua sudah berada di tangan Rinjani, dia hendak ke meja penjaga untuk mencatat pinjamannya, sebelum Arsha menghentikan langkah gadis itu. “Rin, bukannya kamu sudah pinjam buku Pengantar Bisnis, ya?” “Ketinggalan.” “Ya ampun ….” “Sha, nanti temenin makan es krim, ya. Mau perbaikan mood.” “Kalau toko es krim mah
Mata gadis itu terus saja menatap ke luar jendela. Dia merasa tidak nyaman berada satu mobil dengan Agam. Rinjani sedikit menyesal Karena tidak memaksa Arsha untuk ikut dengannya. Agam tidak jauh berbeda, baru kali ini dia merasa gugup saat berdua dengan seorang gadis. Mungkin karena Rinjani berbeda dari gadis-gadis yang biasa mengejarnya. Jika biasanya Agam akan rishi karena ocehan mereka, kali ini lelaki itu justru harus mencari topik pembicaraan. Dahi pria itu berkerut dan jarinya tidak mau diam, terus saja mengetuk-etuk setir mobil. Agam sedang mencari cara agar suanana tidak terus membosankan. “Rin, rumahmu di mana?” Agam membuka suara untuk memecah keheningan. Rinjani tidak menoleh, sepertinya pemandangan di luar mobil memang lebih menarik dibanding pria di dekatnya. “Jalan aja, nanti kalau udah deket aku kasih tau.” Agam menghela napas lelah, dia tidak tahu cara agar Rinjani mau banyak berbicara. Padahal saat beberapa hari ini Aga