Rinjani merupakan anak semata wayang dari Hanna dan Tama. Kedua orang tuanya sangat memanjakan dia. Akan tetapi, hal itu tidak membuat Rinjani menjadi manja dan semena-mena. Dia justru tumbuh menjadi gadis mandiri dan paling tidak suka merepotkan orang lain. Namun, lain lagi jika dia sedang kesal atau sakit, maka manjanya bisa melebihi anak kecil.
Di luar, dia terlihat sangat kuat dan tegar. Tidak ada yang tahu jika terdapat luka menganga di hati Rinjani yang belum bisa disembuhkan. Sebuah luka yang merubah sikapnya menjadi sedingin kutub dan lebih tertutup.
Duduk di depan sebuah laptop dengan tangan menari-nari di atas papan ketik, sudah menjadi rutinitasnya setiap malam. Suasana yang sunyi dan begitu tenang membuat Rinjani merindukan sosok yang tidak seharusnya. Hanya dengan menulis dia bisa menumpahkan isi hatinya dengan gamblang. Segala kerinduan yang dia rasakan tercurahkan dalam kata demi kata yang tertulis.
Cuaca seolah mendukung Rinjani untuk menangis. Hujan rintik-rintik yang hadir sejak sore bertambah deras. Pintu balkon yang dibiarkan terbuka membuat angin malam masuk. Dinginnya malam menusuk kulit tidak membuat gadis berbaju pendek itu terusik.
Dia masih fokus dengan tulisannya, meski jam sudah menunjukkan tengah malam. Terkadang bibir ranum itu tersenyum mengikuti alur ceritanya, atau bahkan netranya banjir air mata. Hal itu biasa terjadi saat rasa bernama rindu tengah berkuasa. Rasa yang seharusnya tidak lagi hadir.
Suara rintik hujan di luar rumah menambah suasana sendu. Air matanya bertambah deras saja, hingga dering ponsel menariknya kembali sadar. Ternyata alarm yang dia pasang pukul satu pagi berbunyi.
Rinjani mematikan laptop kemudian menyimpannya kembali. Lalu dia bangkit dari duduknya menuju ke kamar mandi, untuk membasuh wajah guna menghilangkan jejak air mata di pipinya. Setelahnya, dia menuju ranjang dan bersiap untuk tidur.
Sebenarnya, dia sudah dilarang tidur terlalu larut oleh kedua orang tuanya. Tetapi penyakit susah tidurnya selalu menang, sedangkan Rinjani tidak mau mengonsumsi obat tidur. Jadi, sejak dua tahun lalu Rinjani sudah terbiasa tidur pukul satu.
Berkali-kali Rinjani merubah posisi tidurnya. Hingga akhirnya rasa kantuk benar-benar menguasainya dan membuat gadis itu tidur dengan lelap.
***
Suasana begitu ramai, ada banyak orang yang turut hadir. Tujuh belas tahun adalah usia yang sangat dinanti-nanti, begitu pula dengan Rinjani. Dia begitu antusias dengan perayaan ini. Terlebih, seseorang yang begitu spesial telah berjanji akan memberinya kejutan . Perayaan ulang tahun kali ini diadakan begitu meriah. Tama dan Hanna ingin menjadikan momen sweet seventeen untuk putri mereka menjadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan.
Gadis bergaun abu-abu itu berdiri dengan anggun di balik meja tempat sebuah kue cokelat diletakkan. Di kanan dan kirinya berdiri kedua orang tua si gadis. Sementara disekelilingnya ada banyak teman satu sekolah Rinjani yang tengah tersenyum bahagia.
Lagu ulang tahun mulai mengalun, diringi musik dan tepuk tangan berirama. Akan tetapi, gadis berambut pirang yang disanggul itu terlihat gelisah. Dia tidak henti-hentinya melihat ke arah pintu. Berharap seseorang segera datang.
“Ada apa, Sayang? Ayo tiup lilinnya,” ujar Hanna saat melihat Rinjani tidak segera meniup lilin di depannya.
“Tidak bisa, Ma. Bagaimana mungkin, aku tidak menunggu Dava.” Mata gadis terus melihat pintu masuk, berharap orang terkasihnya segera datang.
“Nanti juga datang, yang penting sekarang kamu tiup dulu. Itu lilinnya udah leleh.”
Akhirnya dengan sangat terpaksa, Rinjani meniup lilin tersebut. Dia juga merasa tidak enak dengan teman-temannya yang sudah menunggu. Serta tidak ingin mempermalukan kedua orang tuanya di depan kolega bisnis mereka.
Suara tepuk tangan yang sangat meriah menyambut, saat lilin padam. Rinjani tersenyum walau terpaksa. Dia harus bisa menghargai orang-orang yang sudah hadir, meski hatinya begitu gelisah menunggu sang kekasih.
Kamu di mana Dav, kenapa belum datang? batin Rinjani bertanya-tanya.
“Sekarang potong kuenya, Sayang,” bisik Hanna.
“Iya, Ma.”
Rinjani mulai mengambil pisau yang sudah disediakan untuk memotong kue. Pisau sudah berada di atas kue cokelat tersebut dan siap memotongnya, hingga dering ponsel menghentikan kegiatan itu.
Rinjani kembali meletakkan pisau yang dia pegang lalu mengambil ponselnya yang berada di saku. Dia melihat siapa yang menghubunginya. Deretan angka tertera di layar ponselnya.
Rinjani tidak mengenal nomor tersebut. Tetapi anehnya dia begitu ingin menjawabnya,padahal biasanya akan diabaikan. Hatinya seolah berkata bahwa panggilan ini berkaitan dengan Dava.
“Halo ….” ujar Rinjani.
“Halo, Non Rinjani. Ini Adi, orang kepercayaan yang diminta menjaga Den Dava.”
“Iya, ada apa, ya?” tanya Rinjani dengan nada bergetar. Entah mengapa air mata mulai mengalir dan hatinya semakin gelisah.
“Saya mau kasih kabar bahwa Den Dava menjadi korban tabrak lari, dan sekarang sedang ditangani oleh dokter di rumah sakit Umum Semarang.”
Seketika, Rinjani merasa bahwa dunianya runtuh, hancur berkeping-keping. Dia tak berucap satu kata pun. Air mata terus saja mengalir membanjiri wajahnya. Kedua orang tua gadis it uterus saja bertanya tetapi tidak ada jawaban.
“Rin, kamu kenapa, Sayang? Jawab Mama, Rin,” desak Hanna.
Rinjani memberikan ponselnya yang masih terhubung. Hanna yang mengerti maksud dari putrinya, segera mengambil ponsel tersebut lalu mendekatkannya ke telinga. Ucapan dari orang di sebrang sana membuat Hanna terkejut. Dia menatap putrinya yang masih diam mematung sambil terus menangis.
“Ada apa, Ma?” tanya Tama.
Hanna menatap suaminya dengan mata sembam, “Dava, kecelakaan.”
Dua kata itu juga didengar oleh telinga Rinjani yang sedari tadi seolah dibuat tuli. Air mata Rinjani semakin deras. Dia kalut, bibirnya terus saja meracau, memanggil-manggil nama Dava.
Orang-orang yang hadir untuk pesta bahagia Rinjani menatap iba pada gadis itu. Mereka turut meneteskan air mata, menyaksikan Rinjani yang jatuh terduduk seraya terus menyebut nama sang kekasih sambil memegangi dadanya.
Rinjani bangkit dari posisinya yang luruh di lantai. Dia menghadap ke arah Hanna. “Dava, Ma, Dava …. Ayo, Ma …,” ucap Rinjani sangat pelan.
“Kamu yang kuat, Mama yakin Dava baik-baik saja. Ayo, Pa, kita ke rumah sakit sekarang.”
Pesta ulang tahun yang Rinjani tunggu-tunggu berakhir dibubarkan begitu saja. Dengan masih menggunakan gaun pesta, gadis itu menarik kedua orang tuanya meninggalkan para tamu. Yang ada di pikiran Rinjani saat ini hanya Dava.
***
Sesampainya di rumah sakit, Rinjani dan kedua orang tuannya bergegas bertanya pada resepsionis, lalu dipandu oleh suster untuk menemui Dava. Rinjani terus saja menangis dalam pelukan Hanna. Dia merasa sangat takut, kemungkinan-kemungkinan buruk terus saja berkeliaran di kepalanya.
“Sus, ini nggak salah jalan, ‘kan?” tanya Tama yang merasa aneh dengan tujuan mereka.
“Tidak, Pak.”
Rinjani melihat ke arah tujuan mereka, sebuah ruangan sepi di ujung lorong yang sedang dilalui. Tulisan yang tertera di atas pintu ruangan tersebut membuat pikirannya semakin kalut. Perasaannya semakin tidak karuan. Rinjani menggelengkan kepala sambil terus bergumam, “Nggak mungkin, ini nggak mungki. Dava nggak mungkin pergi.”
Hanna mengeratkan pelukannya pada Rinjani. Dia tahu anaknya sedang merasa hancur. “Kamu tenang dulu, Sayang. Mama yakin semua akan baik-baik saja.”
“Gimana bisa tenang, Ma. Ini jelas banget arahnya ke sana! Ke ruangan itu!”
“Mari, Pak, ke sebelah sini,” ujar sang suster membuat Rinjani menghembuskan napas lega. Mereka berjalan menyusuri lorong berikutnya, hingga berhenti di depan sebuah ruangan. “Pak, Bu, Kak, tunggu di sini dulu, ya. Dokter masih di dalam. Saya permisi.” “Terima kasih, Sus,” ucap Tama yang dijawab anggukan oleh sang suster. Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar bersama dua orang suster di belakngnya. “Bagaimana keadaan Dava, Dok?” tanya Rinjani tidak sabaran. “Kamu Rinjani? Sedari tadi pasien terus menyebut nama kamu, coba kamu masuk siapa tahu itu bisa membuat dia siuman.” Rinjani langsung masuk ke ruang tersebut. Dilihatnya seorang pria yang sangat dia cintai tengah terbaring lemah di ranjang. Bibir pucatnya sesekali terbuka menggumamkann nama Rinjani. Perlahan Rinjani mendekat dan duduk di kursi dekat ranjang. Tangannya terulur menyentuh kepala Dava dan menyusuri setiap inci dari wajah pucat tersebut. “Dava, b
Dengan napas yang belum teratur, gadis itu mengetuk pintu dengan rasa takut. Tidak ada sahutan dari dalam, Rinjani pun memberanikan diri untuk membuka pintu. Ternyata, ruang kelasnya kosong. Rinjani mengabil ponsel yang sedari tadi terus bergetar. “Halo, Sha. Kamu di mana?” “Ya ampun, akhirnya diangkat juga. Buruan ke kantin, Bu Maya batalin kelas.” Rasa kesal menguasai Rinjani. Gerutuan terus saja terucap dari mulut gadis itu. “Udah dibelain lari-lari sampai hampir jatuh. Ternyata libur? Ya Tuhan, ini lebih sakit daripada diputusin doi.” Sesampainya di kantin, Rinjani langsung duduk di depan Arsha dan meletakkan buku-bukunya dengan kasar. “Sumpah, ya. Kesel banget. Bisa-bisanya batalin kelas mendadak. Kamu juga, Sha, kok nggak ngabarin, sih.” “Enak aja, aku udah berusaha buat hubungin kamu berkali-kali nggak diangkat. Salah siapa coba?” “Nggak tau deh, kesel,” gerutu Anjani. Arsha menepuk-nepuk pundak Rinja
Setelah Rinjani membantu Arsha mengerjakan tugas, mereka bersiap mengikuti kelas berikutnya yang akan dimulai sebentar lagi. “Sha, aku nitip buku sama bilangin ke dosen, ya. Pengin ke toilet,” ujar Rinjani dengan terburu-buru. Sampai di depan pintu, dia buru-buru masuk. Akan tetapi, kemudian dia diam mematung karena ada dua laki-laki yang sedang mencuci wajahnya. Perlahan, Rinjani berjalan mundur saat sadar kalau dia salah masuk toilet. “Au—” Rinjani menutup mulutnya yang hendak berteriak, dia terkejut karena kepalanya membentur dada bidang milik seseorang di belakangnya. Tubuh Rinjani kaku dan wajahnya memerah karena malu. Gadis itu hanya bisa diam menunduk. Hingga sepasang tangan memegang lengannya dan memaksa dia berbalik badan. “Buka matamu. Bukankah tadi kamu sudah mengintip mereka?” ujar orang itu sambil menunjuk dua laki-laki yang berada di dalam, dengan dagunya. Rinjani kesal, dia merasa terhina dengan ucapan pria di hadapannya
“Wah, sepertinya kita jodoh, ya. Baru saja bertemu di kantin, sekadang bertemu lagi di perpustakaan.” Perasaan Rinjani semakin tidak karuan. Dia mengabaikan orang di depannya dan masuk begitu saja. Terdegar jika Arsha mengejek Agam saat melihat Rinjani mengabaikannya. “Kasian sekali Kakak Sepupuku yang jelek ini,” sindir Arsha seraya menyusul Rinjani masuk. Tangan sawo matang itu menari-nari, menyusuri buku-buku yang berjajar rapi di rak. Tadinya Rinjani berniat untuk tidak jadi masuk ke perpustakaan, jika saja dia tidak ingat bahwa buku yang akan dia pinjam, dibutuhkan hari ini. Buku tebal bersampul kuning tua sudah berada di tangan Rinjani, dia hendak ke meja penjaga untuk mencatat pinjamannya, sebelum Arsha menghentikan langkah gadis itu. “Rin, bukannya kamu sudah pinjam buku Pengantar Bisnis, ya?” “Ketinggalan.” “Ya ampun ….” “Sha, nanti temenin makan es krim, ya. Mau perbaikan mood.” “Kalau toko es krim mah
Mata gadis itu terus saja menatap ke luar jendela. Dia merasa tidak nyaman berada satu mobil dengan Agam. Rinjani sedikit menyesal Karena tidak memaksa Arsha untuk ikut dengannya. Agam tidak jauh berbeda, baru kali ini dia merasa gugup saat berdua dengan seorang gadis. Mungkin karena Rinjani berbeda dari gadis-gadis yang biasa mengejarnya. Jika biasanya Agam akan rishi karena ocehan mereka, kali ini lelaki itu justru harus mencari topik pembicaraan. Dahi pria itu berkerut dan jarinya tidak mau diam, terus saja mengetuk-etuk setir mobil. Agam sedang mencari cara agar suanana tidak terus membosankan. “Rin, rumahmu di mana?” Agam membuka suara untuk memecah keheningan. Rinjani tidak menoleh, sepertinya pemandangan di luar mobil memang lebih menarik dibanding pria di dekatnya. “Jalan aja, nanti kalau udah deket aku kasih tau.” Agam menghela napas lelah, dia tidak tahu cara agar Rinjani mau banyak berbicara. Padahal saat beberapa hari ini Aga
Keesokan harinya Rinjani bangun lebih pagi. Tidak seperti biasanya, tadi malam gadis itu tidur lebih awal dan sangat lelap. Mungkin karena tubuhnya lelah atau mungkin traumanya perlahan mulai terobati. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, itu artinya Rinjani masih memliki waktu satu jam sebelum kelas pertamanya dimulai. Gadis itu sudah siap berangkat ke kampus dia tidak mau berlari-lari karena takut tertinggal kelas, seperti tempo hari. Setelah mengambil sarapannya serta berpamitan dengan kedua orang tuanya, Rinjani bergegas ke garasi rumahnya. Rinjani membuka pintu dan di sambut langit pagi yang terlihat biru cerah membuat suasana hati Rinjani semakin bersemangat. Seolah-olah alam semesta sedang memberi tahu Rinjani, bahwa akan ada awal yang istimewa untuk hari ini. Namun, hal itu hanya bertahan sebentar. Saat Rinjani menilik garasi, dia baru ingat kalau mobilnya belum dikembalikan. “Oh, sial! Bagaimana mungkin aku lupa. Minta dijemput Ars
“Ya Tuhan, jauhkan aku dari manusia-manusia bucin, ini,” sindir Arsha dengan nada yang sengaja dibuat-buat. Mata Rinjani memincing, menyorot tajam kepada Arsha, seolah-olah laser mematikan terpancar dari sana. Tangan Arsha trangkat mengacungkan symbol peace tanda damai kepada sahabatnya yang marah. Gadis itu tidak mau jika terkena amukan Rinjani yang sangat mengerikan,layaknya singa betina yang melindungi anaknya. Rinjani mengalihkan tatapannya kepada Agam. Sorot tidak suka terlihat jelas di sana, menutup rasa terbiasa yang sebenarnya sudah hadir. “Mending kamu pergi dari sini. Aku muak melihatmu terus-menerus,” usir Rinjani sambil terus memperlihatkan raut tidak suka. Bukannya tersinggung, bibir pria itu justru tertarik ke atas menciptakan sebuah senyuman yang mengerikan. Agam merasa semakin tertantanng untuk bisa meluluhkan hati Rinjani dan mendapatkan cintanya. “Nggak usah gitu, Sayang …. Nanti ujungnya cinta …,” god
“Mulai, deh. Udah sana Mama keluar aja. Rin mau mandi, pengin berendam juga,” usir Rinjani yang sudah paham dengan sifat sang ibu yang suka menggoda. Bukannya langsung pergi, Hanna justru semakin gencar menggoda Rinjani. “Aduh senangnya, Anak Mama udah mulai peka lagi. Nanti malam sekalian kenalan sama anak Tante Eisha, ya.” Mata Rinjani terbuka lebar, bibirnya maju mengerucut menandakan jika gadis itu sudah kesal. “Udah, deh, Ma. Kalau gitu terus mending Rin nggak usah ikut sekalian.” “Oke-oke, Mama keluar sekarang …. Mandi yang bersih biar wangi dan nggak malu-maluin!” teriak Hanna dari balik pintu membuat Rinjani sangat kesal tetapi justru berakhir tertawa mendapati tingkah aneh sang ibu. Mata bulat itu melihat ke arah pintu, lalu sebuah senyuman terukir di wajah gadis itu. Rinjani sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu ada untuknya. Terutama sosok ibu yang selalu bisa memahami suasana hatinya, serta tahu bagaimana cara membuat dia kembali