Share

Menolak Mengakui

"Ini jalan satu-satunya ke tempat kejadian perkara. Kalau kita putar balik artinya kita nggak jadi ke sana," ujar Aidan geram.

"Iya, tapi ...."

"Nara, kamu sudah paham aturanku, kan?" Aidan menatap tajam pada Nara, membuat gadis itu menunduk lesu. Kemudian dia mengemudikan kembali mobilnya ke jalan raya. Hingga beberapa kilometer di depan, dia terpaksa menghentikan mobil karena ada dua mobil polisi yang melintang di tengah jalan. Terlihat dari kejauhan asap mengepul di udara.

"Tunggu, aku periksa dulu." Aidan melirik Nara. Wajah gadis itu tampak tegang menatap kepulan asap di udara. Namun, dia tidak peduli dengan reaksi Nara. Aidan keluar dari mobilnya dan menemui beberapa orang polisi yang sedang meminta mobil-mobil yang mulai berdatangan untuk berputar arah.

"Pak, ada apa, ya?" tanya Aidan pada salah seorang petugas polisi.

"Kecelakaan, Mas. Mohon putar balik, ya?"  pinta pria berkumis tebal dengan ramah.

Aidan mengeluarkan kartu pengenal dari balik mantel. Si petugas segera memberi hormat. Kemudian mengantar pria itu menuju lokasi kejadian.

"Kecelakaan tunggal, Mas. Pengemudi meninggal di tempat," tunjuknya pada sebuah mobil sedan yang terguling di sisi pembatas jalan. Bagian belakang mobil itu sudah hangus terbakar, menyisakan asap hitam membumbung ke udara.

"Hanya satu orang di dalam mobil?" tanya Aidan seraya mengamati beberapa petugas polisi dan paramedis yang sedang mengevakuasi korban; terjepit di belakang kemudi.

"Betul, Mas. Wanita muda." Salah seorang petugas berhasil membuka pintu mobil dan berusaha menarik kepala berambut coklat milik seorang wanita yang terkulai lemas.

Aidan menyipitkan mata tatkala petugas medis menaikkan tubuh tidak bernyawa itu ke atas tandu. Matanya terfokus pada leher wanita itu. Samar terlihat tiga titik hitam seperti luka yang dimiliki oleh Arina. Namun, dia tidak terlalu yakin karena leher itu sedikit tertutup darah yang mengalir dari kepala sang wanita.

Petugas medis membawa tubuh wanita itu masuk ke dalam ambulance. Sementara Aidan hanya melihat saja sembari mengelus dagu. Sayang sekali ini bukan wewenangnya, padahal dirinya begitu penasaran dengan tiga titik luka itu. Jangan-janqan ada hubungannya dengan kasus pembunuhan Arina. Tetapi dirinya tidak terlalu yakin.

"Kita putar balik. Ada kecelakaan," ucap Aidan pada Nara saat masuk kembali ke dalam mobil. "Nggak usah ge-er, ya? Yang kamu bilang tadi itu cuma kebetulan. Kamu pinter nebak-nebak kejadian sepertinya."

Nara tersenyum tipis mendengar penuturan Aidan. Pria itu berusaha menyangkal bahwa gadis itu memang bisa melihat sesuatu yang tidak dilihat oleh orang awam.

"Semuanya selalu punya penjelasan ilmiah," tutur Aidan seraya memutar roda kemudi. Dia mendecak. "Sebenarnya kerja sama kamu itu nggak ada gunanya buat aku. Tapi, Pak Andre yang meminta. Aku bisa apa?" keluhnya.

Kembali Nara tersenyum tipis. Dia sengaja tidak menyahut ucapan-ucapan pedas Aidan. Biar saja pria itu melakukan penyangkalan. Suatu saat dia juga akan menyerah.

Entah kenapa Aidan merasa begitu kesal. Tebakan gadis itu tidak meleset, namun dia benci mengakuinya. Hanya kebetulan saja. Tidak lebih dari itu.

"Kamu selalu begitu sama klien-klien kamu? Menebak-nebak jalan hidup mereka, gitu?" tanya Aidan memecah keheningan di dalam mobilnya.

"Aku mengamati, Mas. Dan aku mendapat petunjuk."

"Ya, ya ... terserah kamu lah." Aidan mengibaskan tangan.

"Kita ke toko senjata, kan, Mas? Mungkin di sana ada petunjuk."

Aidan mendecak. "Aku yang memutuskan kita akan ke mana setelah ini. Inget?" Dia memperingatkan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status