Share

Terjebak Kerjasama Paksa Dengan Gadis Indigo
Terjebak Kerjasama Paksa Dengan Gadis Indigo
Penulis: Lady Magnifica

Pembunuhan Di Pinggir Nusantara City

Wanita itu berlari kencang dengan napas memburu. Tergambar jelas ketakutan di wajahnya. Ia tidak ingin mati malam ini. Tidak dengan cara yang brutal. Sementara langkah kaki cepat dan berat mengikutinya masuk ke dalam hutan.

"Aaah!" Kakinya tersandung sesuatu di tanah. Entah ranting pohon yang teronggok atau batu yang menghalangi langkahnya, ia tidak tahu. Sepasang matanya tidak mampu melihat jelas. Cahaya bulan malam itu tidak terlalu membantu.

Wanita itu tersungkur. Cepat ia berusaha bangkit dan kembali berlari, tetapi, tanah becek sisa hujan tadi sore membuat kakinya terpeleset dan membuatnya cidera. Ia meringis kesakitan. Air mata telah membanjiri wajahnya. Bukan karena rasa sakit di pergelangan kaki, namun karena begitu dekatnya ia dengan kematian.

"Aku mohon, jangan bunuh aku," rengeknya putus asa. Ia bergerak mundur, berusaha menjauh semampunya dari kematian yang siap menyongsong.

Ia menggeleng, meratap, memohon agar nayawanya diampuni. Ia masih ingin menghirup udara esok hari, atau beberapa menit ke depan.

"Please ...," ratapnya. Barangkali alam semesta berkenan membantunya. Barangkali kematian akan mengurungkan niatnya. Namun, tidak. Tidak ada seorang pun yang menolongnya. Bahkan pohon-pohon di sekitarnya memutuskan untuk menjadi saksi, dirinya dijemput oleh maut.

Wajah wanita itu menghantam tanah basah. Sepasang matanya terbelalak dan mulutnya menganga. Tetesan air mata terakhir mengalir di pipi, sebagai ucapan selamat tinggal pada dunia.

***

Aidan mengamati sekali lagi luka di leher wanita cantik berkulit pucat dengan sebagian wajah dilumuri lumpur, sebelum seorang petugas polisi menutup resleting kantong jenazah yang memutus pandangannya dari wanita itu. Pria berambut coklat itu mengelus dagu, memandangi empat petugas polisi membawa kantong jenazah berisi si wanita berkulit pucat ke mobil ambulance."

"Sepertinya kasus ini sangat penting sehingga seorang agen BIN harus turun tangan."

Aidan menoleh ke arah asal suara, mendapati seorang pria tersenyum padanya. "Hallo, Pak Musa," sapanya.

"Apa kabar, Aidan? Akhirnya kita dipertemukan kembali." Pria itu membenarkan posisi topi bundarnya, lalu menjabat tangan Aidan.

"Sepertinya kasus ini akan menjadi ajang kompetisi kita lagi, Pak Musa," kekeh Aidan seraya menjabat tangan Musa.

Pria itu tergelak. "Akan lebih baik kalau kita bekerja sama saja. Sepertinya ini kasus yang cukup janggal," ucapnya setengah berbisik.

Aidan menyeringai menanggapi ucapan Pranata Musa, pria berusia empat puluhan, seorang detektif dari kepolisian Nusantara City yang sepertinya akan menjadi partner atau mungkin rivalnya lagi seperti sebelumya, dalam menyelidiki kasus penemuan mayat wanita di dalam taman nasional Nusantara itu. Ia mengedarkan pandang. Beberapa orang dari tim penyidik masih mengumpulkan bukti forensik di sekitar mayat wanita itu ditemukan.

"Aku tidak pernah melihat bekas luka seperti yang terdapat pada leher wanita itu sebelumnya. Tiga titik berbentuk segitiga, begitu rapi tanpa sobekan kulit." Aidan mengelus dagu. Kemudian ia melangkah menuju beberapa jejak kaki yang berada di dekat mayat wanita itu ditemukan dan berjongkok di sana.

"Pak Musa lihat ini?" Aidan mengamati jejak-jejak kaki itu. Ujungnya melengkung seperti sepatu kuda, dan mengerucut ke belakang. "Sepatu macam apa ini?"

"Pertanyaannya, Aidan, bentuk kaki macam apa yang dimiliki si pembunuh?" timpal Musa, memosisikan badannya seperti Aidan.

"Siapa yang pertama kali menemukan wanita itu?" tanya Aidan. Matanya menatap pola bergambar tubuh manusia di hadapannya.

"Beberapa orang pemburu."

Aidan mengangguk-angguk. Kemudian berdiri seraya mengibaskan ujung mantelnya yang terkena sedikit lumpur. "Identitas wanita itu bagaimana, Pak?" tanyanya kemudian.

"Tidak ada. Tidak ada kartu pengenal apapun."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status