Share

Si Cenayang Nara Hamarung

"Kenapa kartu saya buruk semua, Mbak Nara?" Wanita berusia lima puluhan dengan sanggul tinggi dan riasan wajah cukup tebal itu tampak frustrasi. Sudah satu jam lebih ia berkonsultasi tentang kondisi rumah tangganya, namun sepertinya, kartu-kartu yang ia pilih tidak ada satu pun yang membuatnya lega.

Nara mengulas senyumnya. "Tidak semua buruk, Bu Siska. Seperti yang saya bilang tadi, ada beberapa kartu yang memiliki dua sudut pandang. Dari sisi positif dan negatif. Itu tergantung perspektif Bu Siska sendiri," terangnya. Wanita itu adalah klien terakhir Nara hari ini. Namun, sepertinya, ia akan menyita waktu gadis itu lebih lama. Ia cukup merasa lelah seharian memforsir kekuatannya membaca nasib para klien.

"Boleh, ya, saya ambil kartu satu lagi?" Wanita yang dipanggil Siska itu memohon. Meskipun sesi konsultasinya seharusnya sudah selesai.

"Silahkan, Bu." Nara mengurai tumpukan kartu ke atas meja. Ia prihatin dengan wanita itu. Begitu naif sehingga tidak mengetahui suaminya main di belakangnya. Namun, meskipun Nara bisa membaca hal ini, ia tidak menyampaikannya pada Siska secara langsung.

Hati-hati Siska mengambil satu kartu, berharap kali ini ia akan mendapatkan kabar baik. Dahinya mengerut saat melihat gambar di balik kartu.

"Tiga pedang menusuk hati," ucap Nara. "Ada miskomunikasi dan kesalahpahaman antara Bu Siska dengan suami."

Wanita paruh baya itu mengangguk-angguk. Ia membenarkan ucapan Nara. "Terus, gimana, Mbak Nara?"

"Maaf sebelumnya, Bu. Hal ini bisa memberi kesempatan orang ketiga untuk masuk dalam rumah tangga Ibu."

Siska menggigit bibirnya. "Jadi, saya harus gimana?"

"Menurunkan ego, Bu," terang Nara. "Itu saran saya untuk keseluruhan isi kartu milik Ibu. Intinya, dalam sebuah pernikahan, bukan tentang siapa yang kuat siapa yang lemah. Tapi, bagaimana suami-istri mampu berkomunikasi dengan baik. Mengalah bukan berarti kalah, loh, Bu." Nara tersenyum. Namun, dalam hati ia tertawa. Ya--tertawa untuk diri sendiri. Ia sudah seperti konselor pernikahan, sedang dirinya saja masih betah sendiri. Jangankan menikah, memiliki kekasih saja tidak pernah.

Jawaban Nara sepertinya cukup memuaskan Siska. Wanita itu lantas berpamitan. Ia mengantar kliennya hingga pintu, dan tetap berdiri di sana memandangi Siska masuk ke dalam mobil mewahnya dari balik pintu kaca.

Baru saja ia hendak merapikan tempat kerja sekaligus toko barang-barang antik miliknya itu, seseorang mendorong pintu kaca dan melangkah masuk.

"Maaf, jam konsultasi sudah tutup, Mas." Nara mengamati pria yang baru saja datang. Tampangnya tidak seperti orang Asia pada umumnya. Ia tebak pria itu berdarah Caucasian. Terlihat dari badannya yang tinggi, kulitnya yang putih, hidung mancung dan mata beriris biru.

"Saya mencari ...." Pria itu membaca sebuah kartu nama di tangannya. "Nara Hamarung," lanjutnya.

"Oh, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?" Nara bernapas lega. Rupanya pria itu bisa berbicara bahasa Nusantara dengan baik.

"Kamu Nara Hamarung?" Pria itu tampak terkejut. "Saya pikir ...."

"Silahkan duduk, Mas." Nara mempersilahkan pria itu duduk di kursi yang biasanya diduduki oleh klien-kliennya. Sementara dirinya duduk di seberang meja kerja.

"Saya Aidan Hunter dari BIN." Aidan mengamati Nara. Ia tidak menyangka si paranormal yang dimaksud bosnya itu adalah seorang gadis muda yang masih terlihat seperti remaja belasan tahun. Ia pikir, sang cenayang adalah seorang wanita paruh baya dengan dandanan a la gypsy woman. Nyatanya, ia salah besar.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status