Share

Terjerat Sugar Baby
Terjerat Sugar Baby
Penulis: Hawa Hajari

Pesan Ibu

“Selama kuliah di kota, jangan macam-macam ya, Zy. Ingat, belajar yang serius agar cepat lulus dan cepat kerja,” pesan Ibu dengan penekanan suara pada Uzy.

“Iya, Bu,” jawab Uzy takzim.

“Kamu beruntung Paman Ali mau membiayai kuliah di kota, jadi kamu bisa cari kerja yang lebih baik. Jangan sekadar jadi buruh pabrik macam teman-temanmu,” Ibu mengingatkan kembali.

Uzy mengangguk-angguk paham. Sambil memberi petuah, tangan Ibu cekatan memasukkan hasil panen kebun kecil mereka ke dalam kotak kardus bekas air mineral. Ada pisang, sawi, dan salak. Semua itu oleh-oleh yang akan dibawa Uzy untuk Paman Ali di kota.

Lilis, adik Uzy yang berumur empat belas tahun, dengan cekatan membantu Ibu memasukkan barang-barang ke dalam kardus. Gadis remaja tanggung itu adik Uzy satu-satunya. Ayah Uzy meninggal ketika Lilis berusia dua tahun.

“Ingat, selama tinggal dengan Paman kamu harus tahu diri, Zy. Jangan banyak menuntut, membantu sebisa mungkin, dan ikuti aturan dari Paman,” tambah Ibu lagi.

“Baik, Bu,” sahut Uzy untuk kesekian kali.

Hasil bumi selesai dikemas. Uzy membantu Ibu menutup dan mengikat kardus itu dengan tali rafia. Di sebelah kotak kardus, teronggok satu tas ransel lusuh dengan isi yang tidak terlalu penuh. Tas ransel itulah yang akan dibawa Uzy ke kota, isinya barang-barang keperluan sehari-hari. Baju dan celana beberapa helai, lengkap dengan pakaian dalam, peralatan mandi, dan sepasang sepatu baru.

Persiapan selesai. Uzy meraih tas ransel di lantai dan menyandangnya di punggung.

“Uzy berangkat dulu, Bu. Doakan Uzy selalu,” ujar Uzy seraya mengambil tangan Ibu untuk dicium.

“Tentu, Nak. Ibu selalu mendoakanmu. Ibu berharap besar padamu. Setelah lulus, kamu segera cari kerja dan bantu Ibu membiayai sekolah Lilis,” sahut Ibu.

“Ya, Bu. Uzy janji akan belajar baik-baik agar bisa segera membantu Ibu membesarkan Lilis,” kata Uzy sambil mengacak rambut Lilis yang berdiri di sebelah Ibu.

Gadis itu tersenyum dan mencium tangan kakaknya.

“Hati-hati di jalan, Mas,” kata Lilis lirih.

“Uzy berangkat, Bu. Assalamu’alaikum,” pamit Uzy sambil berbalik pergi ke luar rumah.

Uzy berangkat dengan iringan pandangan mata Ibu dan Lilis. Dengan tas ransel tersandang di punggung dan kotak kardus ditenteng, Uzy berjalan menuju terminal bus antar kota yang berjarak lima ratus meter dari rumah kecil ibunya.

Setibanya di terminal, Uzy menaiki bus tujuan kota Yogyakarta. Ketika bus yang sudah penuh penumpang mulai melaju, Uzy mengucapkan selamat tinggal pada kota kecil tempat ia tumbuh besar. Kota yang berada di perbatasan antara kota Yogya-Solo.

***

Dua jam saja bus antar kota sudah tiba di kota Yogya. Turun dari bus kota, Uzy sempat celingukan karena bingung dengan suasana terminal yang hiruk pikuk karena ramai. Inilah pertama kalinya Uzy datang ke Yogya.

Satu hal yang ada di kepala Uzy saat ini, di mana Paman Ali? Bagaimana ia bisa menemukannya diantara puluhan orang ini?

“Zy! Uzyyy! Wah, ngelamnun kamu, ya?” Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya berkacamata hitam dan bertopi menghampiri Uzy.

Uzy sempat terbengong saat lelaki itu mendekatinya sambil tersenyum ramah, hingga terlihat gigi depannya semua. Ketika lelaki itu melepas kacamata hitamnya, barulah Uzy mengenali wajah Paman Ali.

“Eh, Paman? Assalamu’alaikum. Uzy pangling, Paman,” cetus Uzy terperangah.

Gaya Paman Ali saat ini sangat berbeda dengan Paman Ali yang dikenalnya dua tahun yang lalu, ketika bertemu di rumah Ibu sewaktu mudik lebaran.

“Wa’alaikumussalam. Pangling karena ini, ya? Hahahaaa,” Paman Ali tertawa keras, tangannya memasukkan kacamata hitam ke saku depan kemejanya.

Paman Ali merangkul Uzy dengan akrab.

“Tambah dewasa aja, kamu. Tapi kok masih lugu, hahahaaa,” Paman Ali tertawa lagi.

Uzy tersenyum-senyum saja, ia tak marah disebut lugu oleh Paman Ali.

“Ayo pulang ke rumah Paman,” ajak Paman Ali.

Uzy mengikuti langkah Paman Ali yang bergegas menuju tempat parkir kendaraan terminal. Sambil berjalan, mereka mengobrol.

“Paman kok bisa tiba-tiba muncul di dekatku? Dari mana Paman tahu aku menumpang bus yang mana?” selidik Uzy penasaran.

“Kan seminggu yang lalu ibumu sudah telepon aku, mengabarkan bahwa hari ini kamu akan datang sekitar jam sepuluh pagi. Jadi aku tinggal perhatikan saja penumpang yang turun dari bus arah timur yang tiba pukul sepuluh pagi,” jawab Paman Ali enteng.

Uzy baru ingat bahwa memang seminggu sebelumnya, Ibu pamit ke rumah tetangga untuk menumpang menelepon. Mereka memang tidak punya telepon rumah apalagi ponsel.

Sampai tiba di lokasi parkir, mereka tidak mengobrol lagi. Paman Ali mengajak Uzy naik ke atas sepeda motornya yang masih tampak baru. Uzy menebak hidup Paman Ali sudah lumayan mapan di kota ini.

Berbeda dengan kebanyakan orang yang sudah sukses di kota lalu lupa tempat asal, Paman Ali tidak pernah berubah sikap kepada keluarganya. Semenjak pergi dari kampung halaman lima tahun yang lalu, beliau tetap ramah dan perhatian. Buktinya Paman mau menampung Uzy di rumah dan menyanggupi membantu biaya kuliahnya.

“Sudah tahu mau kuliah jurusan apa?” tanya Paman Ali saat melajukan sepeda motor membelah keramaian kota.

“Belum, Paman. Aku terserah Paman saja,” jawab Uzy pasrah.

Paman Ali tertawa.

“Besok aku antar kamu buat daftar kuliah,” janji Paman Ali.

“Oya, Paman. Paman sudah punya rumah sendiri? Hebat, jadi ingin kerja seperti Paman,” ujar Uzy mengalihkan obrolan.

“Oh, jangan! Aku ini kerjanya hanya satpam di pabrik susu. Alhamdulillah, aku  dapat kerja di pabrik susu terbesar di kota ini, jadi gajinya ya cukup lah,” tukas Paman Ali.

“Rumah yang aku tempati sekarang warisan dari orangtua istriku, jadi bukan milikku,” jelas Paman lagi.

Uzy manggut-manggut dari balik punggung Paman Ali yang menyetir.

“Kamu jangan sampai mengecewakan ibumu, Zy. Kakakku itu sudah banyak berkorban buat kamu. Buat daftar ulang kuliah saja ibumu utang dulu,” ujar Paman Ali tiba-tiba.

Meskipun cuaca cerah dan terasa terik, tapi Uzy merasa seperti disambar petir mendengar perkataan Paman Ali barusan. Uzy terperangah. Ia telah salah sangka, ternyata pikirannya bahwa Paman Ali lah yang membiayai dirinya untuk masuk kuliah telah keliru.

“A-aku pikir, Paman yang membayariku,” cetus Uzy setelah rasa terkejutnya mereda.

“Oh, bukan! Ibumu yang bayar. Paman hanya sanggup membantu biaya kuliah setiap semester saja,” jelas Paman Ali, meluruskan kesalahpahaman di pikiran Uzy.

“Nah, kita sudah sampai,” kata Paman Ali.

Uzy mengamati sekeliling. Jalan kecil beraspal tipis yang mereka lalui, khas perkampungan di pinggiran kota. Rumah-rumah yang dibangun tak beraturan arah depannya menambah keyakinan Uzy, bahwa tempat tinggal Paman Ali berada di tepi kota.

Sepeda motor Paman Ali berhenti di depan sebuah rumah dengan halaman yang cukup besar. Beberapa pohon besar tumbuh di depan rumah. Ditilik dari gaya bangunannya, memang itu rumah tua.

“Ayo masuk,” ajak Paman setelah melepaskan helm dan jaketnya.

Uzy mengikuti langkah Paman Ali mendekati pintu rumah.

“Bu! Bu! Assalamu’alaikum,” seru Paman Ali sambil mengetuk pintu keras-keras.

Setelah menunggu sejenak, ada langkah-langkah kaki yang berlari ke arah pintu depan. Bunyi anak kunci diputar menyusul setelahnya. Pintu terbuka, seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk muncul di hadapan. Senyumnya terkembang saat melihat Uzy dan Paman Ali.

“Wa’alaikumussalam. Sudah pulang, Pak? Tadi Ibu sedang mengambil jemuran pakaian di belakang,” ocehnya dengan suara ramah.

“Uzy, ini bibimu,” kata Paman Ali seraya menoleh ke arah Uzy.

“Assalamu’alaikum, Bi. Apa kabar?” sapa Uzy sopan.

Secara refleks Uzy mengambil tangan Bibi lalu menciumnya sekilas, seperti yang biasa dilakukannya terhadap Ibu di rumah.

“Sopannya anak ini,” cetus Bibi dengan nada suara senang yang tak disembunyikan.

“Ayo, ayo. Bibi sudah siapkan makanan dan kamar buat istirahatmu. Kamu pasti lapar dan lelah, kan?” tambah Bibi ceriwis.

Dengan malu-malu, Uzy mengikuti langkah Bibi dan Paman Ali yang sudah masuk ke ruang dalam lebih dulu.

Di ruang makan, Uzy melihat ada seorang remaja lelaki tanggung seusia Lilis. Dia menghentikan suapan ke mulut saat melihat Uzy masuk ke ruang makan.

“Kamu masih ingat Zeo, Zy?” tanya Paman Ali.

“Ingat, Paman. Dulu Zeo masih anak-anak, sekarang sudah besar, ya,” celetuk Uzy yang tak dapat menahan rasa heran di hatinya.

Terakhir kali bertemu, Zeo masih suka bermain kejar-kejaran bersama Lilis. Sekarang sudah tampak jakun yang tumbuh di lehernya.

“Ayo, Zeo. Salim dulu sama Mas Uzy,” titah Paman.

Zeo bangkit dari duduk, lalu melangkah mendekati Uzy. Tangan kanannya terulur ke arah Uzy. Sikapnya tidak malu-malu, bahkan sangat percaya diri. Ia dengan berani menatap mata Uzy dengan sorot mata yang ramah.

“Halo, Mas,” katanya singkat, ketika Uzy menyambut jabatan tangannya.

“Halo,” balas Uzy singkat.

“Ayo, sudah basa-basinya. Uzy bisa mandi dulu lalu makan masakan Bibi, ya,” potong Bibi dengan tak sabar.

***

Keesokan hari, seperti janji Paman Ali kemarin, beliau mengantarkan Uzy mendaftarkan diri ke sebuah kampus swasta yang kata Paman Ali tak jauh dari rumahnya.

“Sekarang biaya kuliah itu mahal-mahal, Zy. Mau kampus swasta, kampus negeri, semua sama mahalnya. Susah cari kampus yang murah sekarang,” kata Paman Ali di atas motor.

Saat ini, Uzy dibonceng oleh Paman Ali menuju suatu tempat yang masih samar dalam bayangan Uzy. Di sepanjang jalan, Uzy melihat banyak sekali bangunan-bangunan besar, bahkan beberapa diantaranya terlihat megah. Pada bagian depannya tertulis nama-nama dengan awalan kata “Universitas”.

Uzy terpesona. Dalam hatinya terbayang dirinya yang memasuki bangunan besar seperti yang dilihatnya barusan.

“Untung di dekat sini ada kampus yang masih terjangkau. Kalau dibandingkan kampus-kampus lain, biayanya sudah paling murah,” tambah Paman Ali.

“Paman sudah sempat survei dulu sebelumnya, ya?” celetuk Uzy, tak tahan bertanya karena ia memang penasaran.

“Jelas, dong! Buat keponakan aku nggak main-main. Sebelum kamu datang, aku  sudah datangi semua kampus swasta di sekitar sini,” kata Paman Ali seolah bangga.

“Tapi kamu jangan kecewa, ya. Kampusnya nanti agak kecil, nggak seterkenal kampus lain. Pengelolanya sebuah yayasan yang mendirikan kampus untuk orang yang uangnya hanya sedikit,” tambah Paman Ali halus.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status