Pandangan Hans pada Eric semakin berubah, dia mengira bisa menang melawan anak kemarin sore, tetapi tidak menyangka bahwa ternyata Eric sudah menyiapkan hal ini sebelumnya. "Saya tidak bisa melakukannya," Hans berkata dengan tegas. Clarissa adalah satu-satunya cucu perempuan yang dia miliki. Satu-satunya yang membuat keluarga Saffron menjadi lebih berwarna. Tidak mungkin dia menyakiti cucu kesayangannya. Bila kebanyakan orang menyukai cucu laki-laki, hal berbeda dialami oleh Hans. Dia lebih menyayangi Clarissa dibandingkan dengan Leo. "Kalau gitu, jangan salahkan saya!" Kini bukan hanya ponsel asisten Hans yang berdering, tetapi ponsel itu juga sama. Hans mengangkat panggilan itu dengan penuh keraguan. "Tidak seperti itu. Anda tenang saja. Saya pasti akan segera membereskannya," ucap Hans melirik Eric dengan sinis. Sementara Eric, dengan santainya dia melihat sekitar. Seperti tengah melihat sebuah drama yang menarik minatnya. Kehancuran di depan mata, Hans semakin tidak k
Patrick memegang wajahnya yang terkenal pukulan sang ayah. Perlahan, dia mengangkat kepala dan melihat Hans dengan tetapan yang penuh dengan pertanyaan."Ayah, apa yang Ayah lakukan? Kenapa tiba-tiba memukulku?" Patrick sama sekali tidak mengerti.Hans menunjuk Patrick dengan sangat marah, wajah dan kedua matanya kini sudah memerah. Amarah dalam dirinya sudah meluap bak gunung yang memuntahkan isi perutnya. "Setelah semua yang kamu lakukan, kamu masih tidak mengetahui Hans perbuatanmu itu?" Napas Hans berubah dengan cepat, "Kenapa saya bisa memiliki anak seperti kamu?!" "Ayah, sebenarnya ada apa ini? Kenapa tiba-tiba marah sampai seperti ini?" Patrick baru saja datang ketika dia mengetahui kekacauan yang ada di perusahaan. Membuat putra kesayangannya tidak bisa menduduki kursi CEO Enchantica grup. Lalu ketika dia ingin meminta bantuan dari sang ayah, dirinya malah dipukuli tanpa tahu alasannya. "Wanita bernama Daphne ...!" Hans berteriak dengan sangat kencang, amarah yang sangat
Daphne menyentuh pipinya yang terasa panas akibat tamparan keras dari suaminya. Dia menolehkan kepala dan melihat Edmund yang menatap dengan penuh kemarahan. "Sayang, kenapa kamu memukulku seperti ini?" Daphne sama sekali tidak mengerti alasan dibalik sang suami melakukan hal ini padanya. Edmund menatapnya dengan jijik, kini dia menyesal karena sudah mempercayai wanita ini selama bertahun-tahun. Dirinya yang bodoh, sampai rela meninggalkan anak dan istrinya yang sangat berharga. Edmund melemparkan amplop yang diberikan pada Eric di kantor tadi ke wajah Daphne. "Sayang, ini apa?" "Jangan pernah memanggilku dengan sebutan itu lagi! Jika kamu melakukannya, akan kujahit mulutmu sampai tidak lagi bisa digunakan!" Mendengar ancaman Edmund, seketika membuat tubuh Daphne bergetar. Melihat betapa marahnya pria itu saat ini, dia pasti akan merealisasikan ancamannya. Daphne melihat amplop yang dilemparkan oleh suaminya, perlahan dia membuka dan membaca isi amplop tersebut. Seketika itu
"Hai, Anna! Bagaimana kabarmu? Apakah kamu sudah sehat?" Jessie berbicara dengan sangat ramah, seakan tidak terjadi apapun di antara dia dengan Eric. "Baik, tapi kamu siapa?" Anna tidak bisa melihat wajah Jessie tetapi dari suaranya, dia bisa menduga bahwa di sini adalah gadis yang ceria. "Oh? Kenalkan ...," Jessie mengeluarkan tangan kemudian kembali berkata, "Aku adalah Jessie, teman kecil Kak Eric."Anna menyipitkan kedua matanya, pandangannya masih samar-samar. Meskipun tidak bisa melihat dengan jelas, dia bisa merasakan kecantikan wajah gadis di depannya. Jessie tersenyum saat melihat uluran tangannya tidak dibalas. Tetapi dia sama sekali tidak tersinggung, apa yang sudah terjadi jelas saja dia tahu. Jessie mengambil tangan Anna kemudian menjabat tangan. Tepat pada saat itu, barulah Anna menyadari bahwa gadis itu sedang menjabat tangannya. Seketika dalam hatinya dia merasa sedih dan menjadi tidak enak. "Maafkan aku, aku tidak bermaksud menganggurimu.""Tidak apa-apa. Aku sud
Mendengar perkataan Eric, seketika membuat hati Anna bersedih. Hal itupun tidak luput dari pandangan sang suami. Segera Eric menggenggam kedua tangannya kemudian bertanya, "Apa yang kamu pikirkan?" Anna tersenyum tipis lalu menjalankan kepala, "Tidak, aku hanya sedang memikirkan apakah mataku bisa kembali melihat seperti sebelumnya? Apakah harapan itu masih ada? Apakah memang kesembuhan itu masih bisa terjadi dalam hidupku?" Eric menghapus air mata sang istri yang langsung keluar ketika sedang berbicara. Kemudian dipeluknya Anna dengan sangat erat, memberikan rasa nyaman dan juga ketenangan. "Aku berjanji akan memberikan kesembuhan itu padamu. Sabarlah, sebentar lagi kamu akan bisa melihat lagi dengan normal," Eric berbicara dengan penuh keyakinan. Anna tahu bahwa apa yang diucapkan oleh sang suami adalah kalimat penghiburan untuknya. Sebab Dia juga tidak tahu apa yang terjadi kedepannya, tetapi dia memilih untuk percaya dengan kata-kata yang diucapkan oleh Eric. Pasti ada cara un
Tanpa mereka sadari bahwa sejak tadi Anna mendengarkan pembicaraan mereka. Hatinya berkecamuk saat mendengar Jessie membicarakan perihal janji yang diucapkan oleh suaminya. Anna merasa sangat kesal tetapi dia tau bahwa dirinya juga tidak berhak. Sebab itu adalah masa lalu, masa kecil sang suami yang tidak bisa dihilangkan. Lagipula, hanya kata-kata dari seorang anak kecil. Waktu berlalu bagi orang dewasa, apalagi untuk anak kecil? Anna memilih untuk berdiam diri, meskipun saat ini dia sangat kesal, lebih baik menunggu sang suami bertindak. Di sisi lain, Eric menatap Jessie tanpa ekspresi, "Aku tidak ingat." Mendengar itu, seketika membuat Jessie terluka. Dia seperti tidak memiliki nilai di mata pria itu. Padahal dulu Eric berjanji, tetapi malah mengingkarinya. "Kamu bohong! Tidak mungkin kamu melupakan janjimu padaku. Kamu pasti hanya takut istrimu marah, iya, kan?!" "Tidak. Aku tahu bagaimana Anna, dia tidak akan marah hanya karena kamu. Dia adalah istriku yang penuh percaya d
"Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti ini?" Anna terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Tidak ada, lupakan saja!"Eric menyipitkan kedua matanya, dia tidak melakukan apapun selain menatap istrinya. Tentu saja dia tidak yakin dengan jawaban Anna, sudah pasti ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Sementara Anna, ditatap seperti itu membuatnya merasa malu. Dia berdeham kemudian berkata, "Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Eric menghela napas kemudian berkata, "Katakan padaku, saat ini apa yang sudah mengganjal pikiranmu?"Anna tersenyum malu, ternyata sang suami tidak melepaskannya dengan mudah. Eric pasti tidak akan menyerah sampai mengetahui perasaannya sekarang. Anna menundukkan kepala, dia tersenyum kecil lalu berkata, "Tadi aku melihat Jessie sangat cantik, jadi aku sedikit cemburu dengan penampilannya."Tiba-tiba Eric memegang tangannya, Anna mengangkat kepala selalu mata mereka saling bertemu. Dilihatnya pria itu sedang tersenyum seakan sedang menenangkannya. "
Eric tidak langsung menjawab perkataan Anna, tentu saja hal itu tidak mungkin dilakukan. Mana bisa dia membiarkan Anna dalam kondisi seperti itu tanpa menyentuhnya.Melihat sang suami yang hanya diam saja ketika dia meminta, seketika itu juga Anna menyadari bahwa negosiasi mereka percuma. Tidak akan menemui titik di mana dirinya hanya ingin mandi tanpa sentuhan. "Kalau gitu, kamu menunggu di luar saja!" Anna segera berjalan menuju kamar mandi tetapi langkahnya terhenti ketika sang suami tiba-tiba memeluknya dari belakang. Anna menghela napas, dia menolehkan kepala dan tepat pada saat itu kepala Eric yang bersandar di bahunya langsung menyentuh pipinya. "Eric, apakah kamu mau mandi lebih dulu? Aku tidak masalah jika harus menunggumu," ucap Anna lagi. Sebenarnya bukan dia tidak mau, hanya saja Anna selalu merasa bersalah setiap kali pria itu memandikannya. Dia merasa tidak berdaya dan penuh dengan kelemahan ketika sedang dimandikan oleh Eric dalam kondisi seperti sekarang. Hal itu m