Share

5. kebohongan yang terungkap

"Baiklah, Mas. Kamu benar juga. Besok aku tanya baik-baik sama dia. Mana tau Arini mau bilang," ujarku. 

"Nggak usah, Sayang. Kita sebagai majikan yang cukup mempekerjakannya, lalu membayar upah atas apa yang dia kerjakan. Tidak usah ikut campur terlalu dalam urusan pribadinya, Arini. Kamu paham?" ucap Mas Reza. Dia berkata dengan menatapku dalam. 

Meskipun aku kurang setuju, tetapi aku mencoba untuk mengikuti saran darinya. 

"Baiklah, Mas kalau begitu."

Kami berdua sama-sama terlelap setelah ngobrol panjang lebar. Hingga pagi kembali menyapa untuk memulai aktifitas sebagai seperti biasa. 

<>ⓂⓊⓈⓉⒾⓀⒶ ⒶⒾⓃⒺⓁ<>

"Kapan kamu akan bicara jujur pada Tania, Za? Kalau kamu belum siap, biar Mama yang ngomong," Suara mama mertuaku terdengar jelas di ruang makan saat aku hendak mendekat. 

Langkahku urungkan untuk melangkah lebih jauh. Kakiku pun seolah tercekat di sini. Aku menyandarkan tubuhku di tembok pembatas ruang keluarga dan ruang makan. Tidak ada maksud untuk menguping, hanya saja, ketika namaku disebut oleh Mama, ada getar hati yang tidak menentu yang aku rasakan saat ini membuatku ingin tau apa yang ingin mereka bicarakan. Di pagi hari yang masih pukul setengah tujuh, Mama sudah berada di rumahku. Sungguh ini bukan hal biasanya. Ada apa ini? Aku bergumam sambil memegang dadaku dengan kedua telapak tangan. Jantungku benar-benar berdebar tak karuan. 

Seolah, akan merasa firasat yang tidak baik yang akan kau dengar. 

"Sabar dulu, Ma. Nanti aku akan jujur, tapi bukan sekarang. Tolong Mama jangan paksa aku untuk terus terang sama Tania tentang hal ini, Ma." 

Mas Reza membela diri. 

Aku masih belum tau kemana arah pembicaraan mereka. Apa yang mereka sembunyikan dariku. Apa yang aku tidak tau dari Mas Reza, kenapa Mama minta mas Reza untuk jujur padaku. 

"Lebih cepat lebih baik, Za. Dari pada lama-lama dia tahu sendiri, lebih baik kamu jujur sekarang. Kasihan juga dia, dia hamil, kamu paksakan kerja terus di sini." Suara mama sangat lantang mengucapkan itu. 

Aku menutup mulutku rapat-rapat. Jantungku rasanya ingin keluar dari tempatnya. Apa ini maksud dari yang Mama ucapkan? Siapa yang hamil. Aku? Tentu aku masih belum hamil hingga saat ini. Lalu siapa yang Mama maksud? 

"Tapi kan ini sementara aja, Ma. Nanti aku akan carikan rumah untuknya. Biar dia bisa untuk mengurus calon cucu, Mama  dan istirahat dengan tenang," ucap suamiku. 

Tulang persendian rasanya tidak lagi kuat menopang tubuhku. Rasanya aku ingin menjatuhkan diriku di sini. Lemas. Itulah yang aku rasakan saat ini. Suamiku mendua? Dan dia sudah memiliki calon anak? 

"Jangan cari-cari rumah! inikan rumahmu. Rumah dia juga, kamu kan suaminya. Kamu cari rumah jauh-jauh, nanti Mama nggak bisa ikut jaga calon cucu, Mama."

"Tapi kan biar Tania nggak curiga, Ma. Aku belum siap Tania tau hal ini, Ma. Hari ini aku udah mau menuju lokasi rumah yang aku siapin untuk cucu, Mama nanti. Nggak terlalu jauh, deket kok. Mama nanti masih bisa main kesana. Iya, kan, Sayang?" 

"Iya, Ma, Mas Reza benar. Tapi, aku ngikutin saja baiknya gimana, Ma." 

Sekarang suara itu akhirnya keluar. Suara yang sangat aku kenal. 

Dengan tenaga yang tersisa kucoba untuk mengintip sedikit ke belakang memastikan bahwa itu benar adanya. 

Runtuh sudah semuanya, apa yang aku jaga selama ini. Aku berlari dengan tenaga yang masih tersisa menuju kamarku di atas. 

Ku tutup pintu, dan aku segera ke kamar mandi. 

Aku mengguyur tubuhku di bawah shower. Kubiarkan tangisku luruh bersamaan air yang juga membasahi tubuhku. Aku terlalu lemah untuk kuat. Tidak, aku tidak bisa sekuat itu. 

Semua yang ku jaga, ku hargai bersama dia, runtuh saat ini. Sebercanda itu dia membalas tulusku. 

Apa kurangnya aku selama ini? 

Jika anak yang menjadi alasan, aku tidak akan bisa menang untuk itu. Bukankah semua adalah takdir. Allah belum mengizinkan aku untuk merasakan benih itu hadir di rahimku. Aku sempurna, hanya saja belum waktunya. 

Ya Allah, sesakit ini rasanya mendapati kenyataan bahwa dia yang kuanggap setia, namun telah mendua. 

Jadi, itu alasan kamu untuk aku tidak ingin ikut campur terlalu jauh? 

Jika malam tadi adalah bahagia, pagi ini aku mendapati duka. Tidak perlu aku bertanya, tentang apa yang aku curiga kan pada wanita itu. Engkau telah memberiku jawaban secepat ini. Semudah itu kau tunjukan aku jalannya. 

Kupejamkan mataku di guyuran air. Aku merasakan hatiku yang teramat pedih. 

Sakit! Ini adalah sakit pertama kali yang pernah aku rasakan darinya. 

Selama ini kamu teramat baik, Mas. Bahkan bicara keras saja kamu tidak pernah. Kamu teramat manis untuk aku. Tapi semua itu apa? 

Tok! Tok! Tok! 

"Sayang, kamu di dalam? Belum siap mandinya?" Suara bariton itu menyadarkan aku dari rasa perih yang aku resapi saat ini.

Aku memilih diam sesaat seolah tidak mendengarkan panggilan itu. Air mataku luruh semakin deras, berpacu dengan air yang juga terus turun membasahi tubuhku yang saat ini benar-benar tak berdaya. Bagaimana aku bisa kuat di hadapannya, melihat orang yang aku tumpukkan rasa cinta dan kasih ternyata sudah membagi jiwaku dengan yang lain. 

"Sayang! Kamu masih lama nggak? Ini Mas mau berangkat kerja."

"Iya, Mas, aku mules, maaf ini perutku sakit sekali, Mas."

"Kamu sakit? Kita ke Dokter, ya? Mas anter," tawarnya dengan nada khawatir. 

Tangisku makin pecah kala mendengar perhatian itu keluar dari bibirnya. 

Untuk apa, Mas? Untuk apa perhatian ini kau berikan padaku, jika hatimu saat ini sudah bersama yang lain. 

Aku meremas dadaku kuat, membesarkan volume air agak isakku tidak terdengar olehnya. Ku gigit bajuku kuat, agar tangisku bisa aku redakan, namun yang ada aku semakin terisak, hingga tidak mampu bersuara. 

"Sayang, kok kamu diam? Kamu nggak apa-apa, 'kan? Kita ke Dokter, yuk! Biar, Mas anter dulu sebelum kerja ini." Dia kembali memberikan tawaran itu. 

"Nggak, Mas, aku nggak apa-apa. Mas, kerja aja. Nanti aku mampir di apotik aja, Mas, beli obatnya. Hanya mules biasa, kok."

"Tapi itu kenapa air shower nyala terus? Kamu beneran sakit perut atau apa ini?" tanyanya lagi. Aku tau, Mas Reza pasti penasaran dengan apa yang aku lakukan di sini. Aku tidak ingin dia nanti menerobos masuk, lalu melihat keadaanku seperti ini. Aku tidak ingin memperlihatkan ketidak berdayaanku di hadapannya. Aku tidak ingin dia tahu, bahwa aku hancur saat ini. Aku masih belum siap untuk berdebat mempertanyakan ini. Ini terlalu cepat untuk aku lakukan. Biarkan aku berdamai dengan hatiku saat ini dengan caraku. Meskipun itu sakit. 

"Ini aku lagi mandi, Mas. Bentar lagi siap. Mas berangkat kerjanya hati-hati, ya. I love you." 

Kuucapkan kata terakhir itu dengan bibir yang bergetar dan hati yang berkedut nyeri. Tahu bahwa mungkin cintaku tidak terlalu berarti lagi  baginya. Sebab, sudah ada cinta yang lain yang mungkin lebih dariku. Ya, tentu saja, dia adalah ibu dari calon anak suamiku sendiri. 

"I love you to. Beneran ya, Sayang, kamu nggak kenapa-kenapa? Kalo ada apa-apa kabari, Mas, ya!" pintanya. 

"Iya, Mas. Mas hati-hati, ya."

"Iya, Sayang. Mas berangkat dulu, ya." 

"Iya, Mas. Maaf nggak anter, Mas ya."

"Nggak apa-apa, Sayang. Kamu cepetan mandinya, ya. Nanti masuk angin, lho." 

"Iya, Mas. Ini bentar lagi siap."

"Ok!" sahutnya. 

Aku tak lagi mendengar suaranya. Mungkin Mas Reza sudah berangkat kerja. 

Tangisku kembali pecah. Aku kembali meratapi hatiku yang sedang berkeping-keping di bawah guyuran  air. Berharap, air ini mampu sedikit meredakan rasaku saat ini. 

Mas, jika perhatian ini hanya untuk menutupi kebohongan di belakangku, kenapa tidak jujur saja, Mas. Mungkin rasanya tidak akan seperti ini. Air Mataku terus mengalir tidak bisa kuhentikan. Ini sangat menyakitkan. Benar-benar sakit. 

Entah sudah berapa lama aku di sini, di bawah air yang terus mengguyur tubuhku. Aku benar-benar seperti kehilangan tenaga bahkan hanya sekedar berdiri aku sudah tidak sanggup. Duniaku benar-benar runtuh dan jiwaku benar-benar hilang semangat untuk hidup. 

"Bagaimana keadaan istri saya, Dok? Apa dia baik-baik saja?" Sayup-sayup suara itu terdengar di telingaku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status