“Hei, keluarkan aku! KE-LU-AR-KAN AKU! Kalian dengar, tidak?!” Jiu tanpa lelah berulang kali berteriak di dalam jeruji kayu.
Sudah hampir dua jam dia dikurung, tanpa tahu alasannya. Mendekam di dalam penjara yang terletak di bawah tanah, cahaya samar dari satu-satunya obor menjadi penerang. Terkadang embusan angin dari ventilasi alami membuat bulu kuduk Jiu meremang, Terlebih bau kayu lapuk bercampur bangkai hewan membuat perutnya bergejolak.
“Sial betul nasibku!” sungutnya lalu menendang kurungan kayu dan berakhir mengaduh pelan sambil memegang kaki.
Suara kunci dibuka terdengar nyaring, membuat rasa sakit di kaki hilang seketika. Jiu menatap seorang perempuan muda berjalan ke arahnya. Gadis itu memakai pakaian berwarna hitam, dengan garis merah tua. Dia membawa satu set pakaian ganti.
“Ini pakailah, sangat tidak enak melihatmu berkeliaran dengan pakaian dalam dan basah.”
“Pakaian dalam?” Jiu terdiam sejenak, tidak mengerti sebelum melihat pakaiannya sendiri lalu menunjuk diri dengan raut dungu. “Maksudmu pakaianku ini, kau kira pakaian dalam? Wah… kalian sungguh primitif.”
Tidak ambil pusing dengan perkataan Jiu, gadis muda itu berbalik pergi. Dia tidak berbalik ataupun menoleh meski dipanggil berulang kali. Merasa sudah selesai dengan pekerjaan yang diperintahkan padanya. Sementara itu Jiu menatap pakaian ganti di tangannya penuh tanda tanya.
“Ini… bagaimana cara pakainya?”
Satu set busana itu terdiri dari beberapa lapisan. Satu gaun tipis polos seperti pakaian dalam, baju atasan berlengan panjang dengan kerah longgar dan terbuka, juga bawahan seperti rok dengan dua lapis.
Semula Jiu mencoba memakainya, namun setelah setengah jam berkutat dan gagal. Akhirnya gadis itu menyerah, dia hanya mengambil dua lapisan. Tanpa menanggalkan pakaian lamanya, Jiu mengenakan pakaian atas berlengan panjang dan berkerah longgar. Kemudian dia memakai bawahan rok pendek yang mungkin seharusnya dipasang setelah mengenakan rok panjang. Tapi mana mau Jiu memakai rok panjang yang akan membuatnya susah bergerak.
Seperti tahu kalau Jiu sudah selesai berganti baju, gadis muda itu kembali. Sejenak dia memandang penampilan Jiu, heran. Keningnya mengerut samar, tatapannya berubah kasihan dan menghela napas pelan. Dia membuka kunci kurungan dan menyuruh Jiu segera mengikutinya keluar.
Jiu memperhatikan sekitar dengan rasa penasaran. Bangunan tua dengan arsitektur bangunan China kuno. Dia merasa tengah menjejakan kaki di lokasi syuting drama prasejarah. Sungguh indah sekaligus mengesankan.
Gadis muda itu membawanya ke sebuah rumah sederhana, lalu berbelok ke kanan menyusuri lorong. Mereka tiba di sebuah ruangan luas dengan sedikit perabotan. Di sana sudah duduk dua orang laki-laki yang dikenal Jiu. Mereka adalah pria yang memberi perintah untuk menangkapnya.
Mendadak perut Jiu mulas karena tegang. Dia segera bersikap waspada dan menurunkan wajahnya. Tidak mau menambah masalah dan dituduh tidak sopan karena berani bersitatap. Setidaknya, Jiu berharap mereka adalah orang yang bisa membantunya di dunia asing ini.
“Bukankah aku sudah bilang untuk memberikannya pakaian ganti?” Suara serak dari pria paruh baya terdengar.
“Saya sudah memberikannya, Kak! tetapi perempuan ini tidak memakainya dengan benar.” Gadis itu berusaha membela diri.
“Kau bisa mengajarinya jika dia tidak mengerti,” pria lain menimpali.
“Kalian tidak usah memarahinya. Aku memang tidak mau pakai karena ribet!” tukas Jiu sambil bersedekap dada.
Lupa kalau dia seharusnya menjaga sikap.
Kedua pria itu saling bertukar pandang, tidak mengerti harus menghadapi Jiu seperti apa. Terlebih mereka telah mendapatkan perintah dari sembilan pemimpin sekte untuk menguji gadis ini.
‘Bawa gadis itu ke lembah Suoxi. Bila perlu, beri dia pedang untuk menghadapi Naga Huanglong!’
“Siapa namamu, Nona?” Zhang Feng Yi, pria paruh baya itu bertanya.
“Shi Jiu.”
“Sembilan?” kening Feng Ju mengerut samar.
“Bukan, namaku Shi Jiu, Ji-U. Memang artinya sembilan tapi bukan itu! Namaku Jiu!” Dengan susah payah, gadis itu berusaha menjelaskan namanya.
“Baik, baik. kami paham, Nona Jiu.” Feng Ju segera memotong sebelum percakapan mereka semakin panjang hanya karena masalah nama.
“Sebelumnya kami mohon maaf karena menangkapmu tiba-tiba. kami mencoba menjalankan tugas kami sesuai protokol. Kami harap, Nona Jiu mau mengerti.”
“Tidak masalah.” Jiu menjawab santai, “Kalau boleh tahu, ini di mana?”
“Nama desa ini adalah Desa Qingxin, perbatasan wilayah Suoxi dan Tianzi.” Kali ini Feng Yi yang menjawab, “Namun seperti yang Nona lihat, desa ini hanya tinggal nama. Setelah Naga Shenlong dan Naga Huanglong datang dan menghancurkan tempat ini.”
Jiu menelan ludah gugup, tiba-tiba teringat pada dua ekor naga sebesar anak gunung yang hampir membunuhnya. Nasibnya masih baik karena tidak mati terinjak ataupun tewas terkena serangan nyasar dari dua naga itu. Sekarang bagaimana cara gadis itu bisa pulang, sudah jelas ini bukan dunianya.
“Mu-mungkin kalian tidak akan percaya.” Jiu memulai sedikit terbata. “Tapi aku bukan orang sini, bukan dari dunia ini. Aku berasal dari dunia lain dan di tempat asalku tidak ada naga. Keberadaan mereka bahkan menjadi perdebatan sampai berpuluh abad!”
Sorot mata coklatnya terlihat sendu, memelas dan hampir menangis. “Apa kalian tahu cara pulang?”
Keheningan menyelimuti, Feng Yi dan Feng Ju saling tatap untuk kesekian kali. Mereka terlihat berpikir keras, sebelum akhirnya menggeleng lemah. Menghempaskan harapan Jiu dan memberikannya rasa kecewa. Gadis itu tertunduk, hampir menangis. Feng Yi menatapnya kasihan dan merasa bersalah. Namun dia harus menyingkirkan perasaan pribadinya dan mengemban tugas dari sembilan pemimpin sekte.
“Kau datang saat Naga Shenlong dan Naga Huanglong bertarung.” Feng Ju membuka suara, menarik perhatian Jiu. “Mungkin dengan kau mengalahkan salah satu dari mereka, kau bisa pulang.”
Jiu membulatkan mata, “Apa kau gila?!” Sontak dia berseru, mengejutkan Feng Ju dan Feng Yi.
“Benar, aku bisa pulang. Tapi bukan ke duniaku, melainkan ke dunia akhirat! Aku jelas akan mati bahkan sebelum dua naga itu sempat bilang ‘Cheese’. Terima kasih, solusimu sangat membantu, Tuan!”
Dua perwakilan sekte itu terdiam, mencoba menunggu Jiu untuk kembali tenang. Gadis itu gusar bukan kepalang, dan mereka memahaminya.
“Ada sebuah ramalan mengenai kedatanganmu, Nona.” Perkataan Feng Yi sontak menarik perhatian Jiu. “Dikatakan bahwa seorang gadis dengan matahari di kepala dan bulan di bawah kakinya, akan membawa mahkota sembilan bintang di kepalanya. Kami percaya bahwa gadis itu adalah Nona Jiu.”
Jiu menatap dua pria itu lekat-lekat, lalu mengangkat bahu. “Maaf telah mengecewakan kalian. Tapi kalian bisa lihat sendiri, aku tidak punya matahari di kepala maupun bulan di bawah kakiku.”
Feng Ju menghela napas pelan. “Naga Shenlong dan Naga Huanglong kerap kali dilambangkan sebagai matahari dan bulan. Kedatangan Nona Jiu seperti tengah berdiri di antara mereka berdua. Bukankah itu suatu kebetulan yang aneh?”
Jiu kembali terdiam, perkataan Feng Ju terasa benar dan sulit dibantah. Sampai akhirnya gadis itu memutuskan untuk mencobanya. Dia menyetujui ajakan dua wakil sekte untuk pergi ke Lembah Suoxi, menemui Naga Huanglong. Setelah cukup lama berunding, Jiu dipersilahkan untuk istirahat di kamar yang telah disiapkan.
Mereka akan berangkat ke lembah pagi-pagi buta, karena butuh sekitar lima hari perjalanan untuk sampai ke sana.
Untuk pertama kali, Jiu bepergian jauh dengan mengendarai seekor kuda. Sungguh pengalaman mengesankan dan juga melelahkan. Bokongnya seperti mati rasa, dan hatinya mencelos memikirkan pantatnya semakin rata.
Tepat hari kelima, mereka tiba.
Lembah Suoxi memiliki pemandangan indah, rerumputan hijau dengan dua tebing tinggi di kedua sisi. Jiu sampai lupa sudah berapa kali dia berdecak kagum.
“Nona Jiu.” Feng Ju memanggil setelah mereka memutuskan untuk berkemah.
Jiu menghampiri Feng Ju, pemuda itu ternyata menyerahkan sebuah pedang panjang padanya. Sejenak gadis itu menatap tidak mengerti, lalu akhirnya menerimanya walau ragu. Manik coklatnya menatap Laki-laki muda di depannya, menuntut jawaban.
“Kami hanya bisa mengantar Nona sampai di sini.” Feng Ju menunjuk arah yang harus diikuti Jiu. “Di balik anak tebing itu, ada sebuah lapangan luas dengan Gua besar di ujungnya. Di sana tempat Naga Huanglong beristirahat.”
Feng Ju membungkuk hormat, “Kami semua mendoakan keselamatan Nona Jiu. Mohon berhati-hati dan kembalilah dengan selamat.”
Gadis itu hampir tertawa, dia tidak yakin dirinya bisa kembali dengan selamat. Rencana ini lebih mirip bunuh diri ketimbang pemecah masalah. Jiu tidak yakin, kalau jawaban untuk kembali adalah mengalahkan seekor naga. Namun dia tidak memiliki pilihan lain. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.
Jiu menarik napas panjang, “Baiklah, aku pergi dulu. Terima kasih sudah mengantar.”
Feng Ju dan Feng Yi membungkuk sekali lagi untuk memberi hormat. Seluruh anggota pejuang murim melepas kepergiannya. Mereka tidak mengalihkan tatapan mereka dari Jiu sampai gadis itu menghilang, masuk semakin dalam menuju tempat peristirahatan Naga Huanglong.
“Semoga memang ini jawaban yang kita cari.” Feng Yi bergumam pelan.
Angin berhembus pelan, membelai anak-anak rambut Jiu dengan nakal. Gadis itu melangkah pelan namun pasti. Pedang panjang digenggamnya se-erat tekad dalam hati. Setibanya dia di lapangan luas, maniknya mengedar mencari keberadaan Gua besar.
“Kau lagi!” Seru sebuah suara yang Jiu kenali.
Sedetik kemudian tanah bergetar pelan, Jiu sontak menggenggam erat pedang dengan kedua tangan. Oh tidak, dia akan mati! Seharusnya dia tidak menyetujui rencana ini.
Huanglong bergerak keluar dari mulut gua, tubuhnya tinggi dan besar. Sisiknya berwarna kuning kemerahan dan berkilau terkena pantulan bias mentari. Jiu menelan ludah gugup, alangkah besarnya naga ini. Oh tentu saja, Shi Jiu! Memang begitulah ukuran naga yang sesungguhnya. Mereka bukan komodo di Pulau Bali.
“Se-selamat siang, Tuan Huanglong…” Jiu mencoba menyapa ramah.
“Simpan saja basa basimu! Lebih baik kau pergi dari tempatku, wahai anak manusia!”
“Percayalah, aku berharap demikian.” Jiu mengangkat bahu, tertawa hambar. “Tetapi tempatku bukan disini, dan mungkin kau tahu bagaimana caraku pulang?”
Huanglong meraung panjang, membuat Jiu menutup kedua telinganya. Naga ini benar-benar memiliki kesabaran seperti tisu dibagi dua. Tidak mau mendengar, dan hanya bisa membentak dan meraung seperti ular kepanasan.
“Diamlah, dasar ular jelek!” Maki Jiu yang juga habis kesabaran. Dia mengangkat pedang ke arah Huanglong. “Aku datang kemari dan bertanya baik-baik! Bukankah naga itu terkenal dengan kecerdasannya? Tapi lihat, kau malah lebih mirip cacing kepanasan!”
“Tutup mulutmu!” Huanglong menerjang penuh amarah ke arah Jiu.
Continue…
Daya jangkau suara gemuruh dan tanah bergetar sampai ke tempat Feng Yi dan Feng Ju berkemah. Dua pria dari dua sekte berbeda itu saling pandang, kecemasan terpancar jelas dari mata mereka. Perwakilan dari sekte Lingyin, Feng Ju seakan bersiap mengambil kuda dan pergi ke arah asal suara. Namun langkahnya ditahan oleh Feng Yi.“Kita tidak boleh ikut campur!”“Tapi dia hanya seorang perempuan. Bahkan kita jelas tahu kalau inner qi gadis itu tidak terbuka. Dia bisa mati, Kak Feng Yi!”Pria paruh baya itu tetap diam, lebih mempertahankan perintah dari hati nuraninya. Bukan dia tidak punya hati, jelas Feng Yi sadar bahwa tindakan ini penuh resiko dan kejam tentunya. Namun perlu digaris bawahi, keputusan tidak rasional dari sembilan sekte menunjukan, betapa mereka tengah diambang keputus asaan.“Kita akan menunggu di sini. Jika gadis itu tidak kembali, maka dia memang bukan gadis dalam ramalan.”“Kak Feng Yi–”“–Aku paham Feng Ju,” sebelum pemuda di depannya protes lebih lanjut, dia lebih du
Shenlong mengalihkan atensinya dari Naga Huanglong ke pedang di genggaman Jiu. Tangannya terulur dan bersandar di atas punggung tangan Jiu. Tubuh mungil dalam pelukan sang pria tersentak pelan, agaknya terkejut dengan sentuhan tiba-tiba. Shenlong tersenyum tipis, kemudian menatap lekat pada sosok besar di depannya.“Ini akan sedikit sakit,” katanya menarik perhatian Jiu. “Karena aku hanya membuka aliran qi untuk sementara. Cukup untuk mengalahkan Huanglong. Tapi tidak cukup untuk membuatmu baik-baik saja setelah ini.” Manik emas itu beralih ke arah sepasang manik coklat yang menatapnya lekat.“Mengapa kau mau melakukan ini? Menolongku yang bukan siapa-siapa.” Tanya Jiu setelah lama terdiam.“Kau lebih dari yang dirimu pikirkan, Jiu.” Shenlong mulai mengalirkan kekuatannya sedikit demi sedikit melalui sentuhan tangan.“Bagaimana kau tahu namaku? Aku belum memberitahukannya padamu!”Jiu merasakan adanya suatu energi merambat naik di bawah nadi. Dia sontak menoleh ke arah tangan yang men
“Kak He Ting!”Gadis bermata hitam itu mengerjap, tersentak pelan, lalu menoleh ke belakang. Seorang anak perempuan berusia delapan tahun, berlari sedikit tertatih ke arahnya. Wajahnya pucat, air mata mengalir deras dari mata bulatnya.“Kak He Ting! Tolong…,” katanya terisak pelan. Dia jatuh berlutut di depan He Ting dan menarik rok sambil tersedu-sedu. “Tolong selamatkan nenek!”“Adik, ada apa dengan Nenek Tao Lan?” Wanita muda dengan rambut hitam panjang sepunggung itu berlutut. Bertanya lembut sambil menyeka wajah dengan ujung lengan. “Bicaralah pelan-pelan, Kakak mendengarmu.”“Ta-tadi ada beberapa pria dewasa datang ke rumah. Nenek keluar untuk bicara dengan mereka, tiba-tiba terdengar suara ribut. A-aku segera keluar untuk melihat, ternyata mereka membawa paksa nenek dan menuduhnya telah mencuri.”Tangan He Ting yang sejak tadi mengusap punggung gadis kecil itu seketika terhenti. Dia berusaha mengatur kembali ekspresi kagetnya.“Apa adik tahu, mereka membawa nenek kemana?”Gadis
“...Jiu.”Suara hilang-timbul tidak asing itu terdengar sayup-sayup. Memanggilnya berulang kali, seakan memberitahu sudah waktunya dia kembali. Gadis itu menoleh untuk terakhir kali, pada seorang perempuan muda tengah meregang nyawa sendirian di ranjang jerami. Air mata jatuh membasahi pipi. Hatinya sakit, semakin sakit saat seorang laki-laki muda menerobos masuk dan memeluk He Ting yang telah tiada. Pemuda itu memiliki mata kuning cerah, rambut hitam yang diikat tinggi. Dia menangis tersedu-sedu, beberapa kali membelai hati-hati wajah putih kian memucat itu. “Tidak, jangan tinggalkan aku, He Ting!” Pria itu memohon, suaranya serak dan bergetar.“Mengapa… harus berapa kali lagi kau menderita karena manusia?!” Pria itu mencium kening dan pipi He Ting. Pundak lebarnya bergetar pelan, mencoba menahan rasa sakit di dada dan amarah yang kian menumpuk. “Maaf…” Jiu tiba-tiba berucap. Matanya merah dan sembab, “Maafkan aku… maaf….”“Jiu…”Sekali lagi suara itu memanggilnya. Jiu menoleh, b
Dua hari sebelumnya…Feng Ju tidak beranjak dari tempatnya sejak melepas kepergian Jiu. Pemuda itu menunggu dengan sabar dan diam-diam berharap. Semoga dewa berbelas kasih pada sang gadis, dan membiarkan Naga Huanglong tidak membunuhnya. Namun doa dalam diam itu terpaksa pupus. ketika gemuruh langit, dan tanah bergetar tidak lagi nampak. Feng Ju menatap cemas, apakah itu artinya pertempuran telah usai? Lalu bagaimana kabar sang gadis dalam ramalan?Feng Yi menghampiri, begitu juga para anggota dua klan ternama saat ini. Mereka memandang jauh pada lembah di belakang bukit. Mereka semua menunggu, sampai bulan purnama tepat di atas kepala. “Inilah jawabannya, wahai saudaraku.” Feng Yi menepuk pundak Feng Ju. “Dia bukan yang kita cari. Mari pergi tidur. Besok kita harus kembali dan melaporkannya pada sembilan pemimpin sekte.”Feng Ju tidak kunjung bergeming, kakinya seakan mengakar di tanah. Tak lama dia menghela napas panjang. Mengapa pula dia keras kepala seperti ini? padahal gadis it
Perjalanan menuju kota Shihezi membutuhkan waktu satu hari bagi para pejuang murim. Untuk manusia biasa, tentu saja lebih lama. Terlebih selama perjalanan ini, Shenlong menggunakan waktu untuk mengajari Jiu mengenai inner ki. Pemuda itu juga membimbing sang gadis melakukan Teknik Enam Kombinasi. Sehingga perjalanan ini menjadi lebih panjang dari yang seharusnya. “Cara mempelajari inner ki bagi pemula adalah melalui latihan pernapasan. Sebab saluran pernapasan adalah kunci tubuh bisa mendapatkan asupan oksigen dengan maksimal.” Shenlong menaruh kedua telapak tangannya di punggung Jiu. “Selain itu dengan pernapasan yang baik, kau bisa membangun fondasi dasar yang kuat untuk menara tenaga dalam dalam tubuhmu.”Jiu menarik napas panjang selama tujuh detik, tahan napas lima detik, lalu menghembuskannya perlahan selama tujuh detik. Dia melakukannya berulang kali sesuai arahan Shenlong. Sementara pemuda itu menyalurkan energi pada tubuh sang gadis. Dia memastikan secara tepat membersihkan e
Suara guntur semakin sering terdengar, perubahan cuaca ekstrim ini kerap terjadi di wilayah sekitar Gunung Tianzi. Padahal tidak sampai setengah jam lalu, sinar matahari terasa hangat. Kini udara dingin disertai angin kencang menerpa. Sebagian pedagang sudah menutup jualan mereka, tidak ingin terlambat berteduh. Suara langkah kaki kecil bertalu cepat, dalam gendongannya terdapat bingkisan daging dan keranjang bunga. Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu sesekali menoleh kebelakang. Dia berlari seakan dikejar sesuatu. Zhang Xue, gadis penjual bunga itu belok kiri, masuk ke gang sempit. Napasnya sudah putus-putus akibat lelah berlari. Namun dia harus secepatnya pergi ke tempat aman. Sayangnya, kaki kecil itu terantuk batu, membuatnya jatuh tersungkur. Belum sempat Zhang Xue beranjak, sesuatu memegang kedua kakinya. “Ti-tidak!! Lepaskan aku!” Dia meronta, kedua tangan menggapai apapun yang bisa dijadikan pegangan. “Tolong! Tolong aku!!” Namun kekuatan tangan besar yang mencengkr
Langit senja berubah penuh bintang tak lama setelah Jiu dan Shenlong sampai di depan penginapan. Jiu menikmati jalan-jalan sorenya bersama Shenlong. Udara di kota Shihezi sejuk, mengingat wilayah ini terletak tepat di bawah Gunung Tianzi. Tidak hanya itu lampu-lampu gantung sepanjang perjalanan juga menambah keindahan malam kota ini. Namun kedamaian itu seakan ilusi, ketika seorang wanita mondar-mandir di depan penginapan. Bertanya pada pejalan kaki. “Maaf, Kakak. Apakah kalian melihat anak kecil perempuan penjual bunga?” “Maaf, aku tidak lihat.” “Ah! Maaf, Kak! Apakah kau melihat putriku, Zhang Xue?” “Tidak, aku tidak lihat sejak kemarin.” kening Jiu mengerut samar, mengapa nama itu terdengar tidak asing ditelinganya? “Hei, kalian sudah kembali!” Huanglong tiba-tiba menyapa, entah darimana pemuda itu. Muncul begitu saja, mengejutkan Jiu. “Apa terjadi sesuatu, Huanglong?” Jiu bertanya sambil berbisik pelan dan menunjuk wanita di depan penginapan. “Siapa wanita itu?” “Kau ingat