Daya jangkau suara gemuruh dan tanah bergetar sampai ke tempat Feng Yi dan Feng Ju berkemah. Dua pria dari dua sekte berbeda itu saling pandang, kecemasan terpancar jelas dari mata mereka. Perwakilan dari sekte Lingyin, Feng Ju seakan bersiap mengambil kuda dan pergi ke arah asal suara. Namun langkahnya ditahan oleh Feng Yi.
“Kita tidak boleh ikut campur!”
“Tapi dia hanya seorang perempuan. Bahkan kita jelas tahu kalau inner qi gadis itu tidak terbuka. Dia bisa mati, Kak Feng Yi!”
Pria paruh baya itu tetap diam, lebih mempertahankan perintah dari hati nuraninya. Bukan dia tidak punya hati, jelas Feng Yi sadar bahwa tindakan ini penuh resiko dan kejam tentunya. Namun perlu digaris bawahi, keputusan tidak rasional dari sembilan sekte menunjukan, betapa mereka tengah diambang keputus asaan.
“Kita akan menunggu di sini. Jika gadis itu tidak kembali, maka dia memang bukan gadis dalam ramalan.”
“Kak Feng Yi–”
“–Aku paham Feng Ju,” sebelum pemuda di depannya protes lebih lanjut, dia lebih dulu memotong. “Tapi kita tidak bisa berbuat banyak. Pergi menyelamatkannya hanya akan membahayakan kelompok. Jadi kita tetap di sini untuk mengawasi dan pergi memberikan laporan pada pemimpin, jika ternyata dia bukan yang kita cari.”
Feng Ju diam, enggan menyetujui.
Dentuman keras terdengar di kejauhan, sontak membuat pemuda itu menoleh ke asal suara. Dari arah dibalik anak tebing, awan nampak keruh berwarna kelabu dengan cahaya kuning kemerahan. Kilat petir sesekali menyambar tanah di sana, membuat perasaan Feng Ju semakin gusar.
***
Huanglong menerjang ke arah Jiu, menggunakan moncongnya yang panjang. Gadis itu melompat ke kiri, berguling beberapa kali, berhasil menghindar. Napas jiu terengah, dan saat dia mengangkat kepalanya. Naga kuning penghuni wilayah Lembah Suoxi tengah menatapnya tajam.
“Lompat sana, lompat sini. Kau lebih mirip kelinci daripada manusia yang aku tahu.” Dengusan dari naga kuning itu terasa panas menerpa wajah Jiu. “Mana teman manusiamu? Apa mereka meninggalkanmu sendiri di sini?”
Leher Huanglong meliuk, kepalanya berdiri tegak dengan mata emasnya terlihat berpendar pelan. “Hah! Namanya juga manusia. Mereka bersatu dengan tekad sekecil korek api kayu. Nyalanya cuma sebentar, lalu padam dan tak pernah bangkit lagi. Tapi lagaknya bagai penguasa bumi dan lautan, sungguh tidak tahu diri.”
Jiu menggunakan pedang sebagai tumpuan untuk berdiri. Kedua lututnya lemas, lelah dipakai untuk berlari dan melompat sana sini. Namun gadis itu tidak berniat menyerah, dia masih harus pulang meski hanya ada Tante Dwi yang menunggu.
“U-untuk ukuran ular sawah, kau banyak bicara.” Jiu menyeka kotoran tanah di sudut bibir. “Tapi apa kau cukup cerdas untuk memberitahu cara aku pulang?!”
Rahang naga itu terbuka lebar, memperlihatkan deretan gigi tajamnya beserta raungan keras. Huanglong adalah tipe naga yang memiliki harga diri tinggi, tidak suka dikritik, terlebih dengan seorang manusia.
“Kenapa kau mau pulang? Memang siapa yang menunggumu di rumah?” Huanglong menyerang Jiu dengan mengibaskan ekornya. “Melihatmu seorang diri disini, bukankah itu artinya kau dibuang oleh mereka? Seperti sampah yang sudah tidak ada gunanya.”
Meski berhasil menghindar dari ekor besar Huanglong. Angin keras tetap mampu membanting Jiu beberapa meter ke belakang. Gadis itu terbatuk beberapa kali, pandangannya tidak fokus, semua terlihat bergoyang dan membuatnya mual.
Untuk kesekian kalinya, Jiu berusaha bangkit kembali. Pedang di tangan digenggam erat, kemudian diayunkannya ke arah Huanglong. Sayangnya tajamnya pedang tak pernah bertemu dengan kerasnya sisik kuning kemerahan itu. Pertemuan selalu terjadi pada punggung Jiu dengan kerasnya tanah bebatuan. kali ini gadis itu memuntahkan darah segar.
“Akui saja kalau kau ditinggalkan mereka! Mengapa masih menaruh cahaya harapan ketika kau bisa memeluk gelapnya malam?” Huanglong kembali meraung keras, kali ini mengeluarkan kekuatannya.
Tanah bergetar keras, seakan gempa bumi hendak terjadi. Tidak lama kemudian retakan tanah terbentuk, dan seperti tercongkel, bongkahannya mengambang di udara. Jiu melihat dengan tawa tipis, jika situasinya lebih baik mungkin dia akan berseru penuh semangat melihat hal bagai sihir di depan mata.
Namun sayangnya, seluruh badannya sakit. Pandangannya mulai kabur dengan segelintir ingatan lama terus berusaha menerobos masuk. Tiap kali naga kuning itu bicara, semakin kuat ingatan yang berusaha Jiu kubur muncul ke permukaan.
“Manusia malang, masih tidak sadar kalau kau telah ditinggalkan mereka!”
***
‘Ma, Papa dimana?’
Tangan kecil Jiu digandeng seorang wanita muda dengan senyum tipis menawan. Mereka berdiri di depan sebuah rumah berlantai dua dengan cat merah bata. Seorang perempuan keluar dari balik pintu gerbang, terkejut dengan kedatangan ibu dan anak.
‘Kak Linda!’
Jiu kecil menatap dua perempuan yang tengah berpelukan sambil menangis. Entah apa yang mereka tangisi, dia terlalu kecil untuk memahami. Dwi mengajak Linda dan Jiu masuk ke dalam rumah, sambil membantu bawakan koper mereka.
Ingatan lain datang secara acak. Kobaran api dari tumpukan pakaian yang dikeluarkan dari lemari oleh sang ayah. Entah apa lagi masalahnya, hingga membuat pria muda berambut hitam itu membakar seluruh isi lemari di kamar Jiu. Asap mengepul tebal, sementara Jiu duduk diam bersama sang ibu.
‘Ini tidak akan berhasil, mari kita berpisah!’
Dua orang paling Jiu sayangi, saling memunggungi, menolak satu sama lain. Meninggalkan gadis kecil itu sendiri, memilih sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
‘Ma, Pa…, Jiu kangen.’
***
Jiu membuka mata lebar-lebar, dan menemukan cakar tajam siap mencabik tubuh jika dia tidak segera menghindar. Gadis itu berguling ke kanan, kembali berdiri dengan peluh sebesar biji jagung.
“Sialan, terima kasih sudah membuatku ingat kenangan buruk, ular sawah!” Jiu mengayunkan pedang, tangannya sedikit bergetar. “Mau ditinggal sendiri pun, buktinya aku masih bisa tumbuh besar dan sehat sampai sekarang!”
Jiu mulai berlari, siap menyerang balik pada naga besar di depan. Huanglong menamparnya dengan ujung ekor yang berhasil ditepis Jiu. Akhirnya denting pedang bertemu dengan sisik Huanglong terdengar. Kali ini Jiu tidak akan membiarkan dirinya jadi bulan-bulanan seekor naga cerewet.
“Mau ditinggal berapa kalipun, aku akan terus bertemu orang-orang baru!” Jiu mengayunkan pedang secara vertikal. “Karena memang sudah seperti itu roda kehidupan! Bertemu, berpisah dan bertemu lagi!”
Jiu meluncur di tanah, menghindari cakar Huanglong yang tepat satu senti hampir mengenai kepalanya. Gadis itu berteriak keras, mengayunkan kembali pedang panjang untuk menebas salah satu cakar Huanglong. Tentu saja hasilnya nihil, pedang itu tidak cukup kuat untuk melukai sang naga.
“Memang kenapa kalau papa pergi meninggalkan aku dan mama?!” Jiu mengayunkan pedang lebih kencang.
“Memang kenapa kalau mama meninggal saat usiaku lima belas tahun?!” Sekali lagi, Jiu berguling menghindari cakaran Huanglong.
“Aku masih punya Tante Dwi, aku masih punya teman, dan sahabat yang menungguku pulang!” Jiu menyeka darah yang membasahi salah satu matanya akibat pelipisnya tergores.
“Jadi cepat beritahu aku, bagaimana caranya aku pulang!” Jiu mengarahkan pedang pada Huanglong yang menatapnya lekat.
Sejenak Jiu dan Huanglong saling pandang, menatap satu sama lain dengan pemikiran berbeda. Sampai naga bersisik kuning kemerahan itu kembali meraung keras. Membuat puluhan tanah membentuk batu keras, sebelum dilempar ke arah Jiu. Gadis itu tidak gentar meski dihadapi puluhan hujan batu bagai meteor yang siap menghantamnya tanpa ampun.
‘Tuhan selalu memiliki rencana di setiap tindakannya.’
Jiu selalu ingat kata-kata mendiang sang ibu. Dia jatuh ke dunia lain ini pasti ada alasannya, sebelum dia mendapatkan jawaban. Jiu menolak menyerah. Gadis itu memasang kuda-kuda, menggenggam pedang erat. Dia akan mencoba menangkis hujan batu itu sebisanya. Lebih baik mencoba daripada tidak sama sekali.
“Haaa!!”
Tiga batu berhasil ditangkis, satu menggores paha. Dua terbelah, tiga lain melukai pipi dan bahu. Sampai akhirnya Jiu tidak bisa lagi menangkis banyaknya hujan batu. Mungkin memang inilah akhir perjalanannya, Jiu mulai menutup mata.
‘Kalau aku mati disini, aku berharap Mama yang menjemputku.’
“Jiu…”
Suara seorang laki-laki yang tidak asing ditelinga terdengar. Kehangatan mendadak datang bersama sekelebat bayangan. Ketika rasa sakit tidak kunjung dia rasakan, Jiu membuka mata. Manik coklat bertemu dengan sepasang batu keemasan yang menatapnya penuh rindu.
“Siapa?”
Jiu mengerjapkan mata, kali ini pandangannya lebih fokus dan menyadari sosok di depannya. Seorang pemuda tampan dengan rambut hitam sepunggung bermata emas. Dia mengenakan pakaian berwarna biru dongker dan memeluknya erat.
“Terima kasih sudah bertahan sampai aku datang.” Kata pemuda asing itu.
Jiu tidak mengerti, dia mengerutkan kening sampai akhirnya tersadar kalau mereka berada di atas langit. Mereka melayang di udara.
“A-apa?! A-aku jatuh!” Jiu berubah panik, sensasi dari kakinya yang tidak menapak membuatnya takut.
Gadis itu mengalungkan kedua lengan pada leher pemuda itu. Tidak ada waktu untuk malu, atau tidak tahu malu. Melihat Jiu ketakutan seperti itu membuat senyum tipis hadir pada wajah rupawan pemuda misterius itu. Entah kesempatan dalam kesempitan, atau memang laki-laki itu tidak sengaja. Namun lengan kekar yang melingkar di pinggang kecil Jiu semakin erat.
“Tidak usah takut, tidak lama kau juga bisa sendiri.”
Perkataan pemuda itu berhasil menenangkan Jiu. Gadis itu kini mulai berani menatap manik emas yang hanya berjarak satu jengkal darinya.
“A-apa ka-kau penyihir?” Tiba-tiba Jiu menggeleng cepat. “Tidak, jelas sekali ini bukan London. Tidak ada peron 9¾ ataupun mobil terbang dan tidak ada tongkat sihir! Jadi kau siapa?!”
Pemuda misterius itu terkekeh pelan, sungguh suara tawanya bahkan terdengar renyah ditelinga Jiu.
“Namaku Shenlong, dan aku merindukanmu, Jiu.”
Manik coklat itu mengerjap beberapa kali, bahkan pemiliknya sudah menahan napas. Ketika pemuda yang mengaku bernama Shelong itu mendekatkan wajahnya. Dua kening saling terantuk, Jiu memejamkan mata. Perasaan tegang kini berangsur hilang, terganti dengan kehangatan yang menjalar hingga ke dada. Seperti ada sesuatu yang terbuka, membuat gadis itu merasa lebih mudah bernafas dan tubuhnya ringan.
Shenlong menjauhkan diri, menatap hangat pada sepasang manik coklat yang kini terbuka. Jiu memandang pemuda itu tidak mengerti, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya.
“A-apa yang kau lakukan?”
“Aku membuka aliran qi milikmu. Dengan ini aku bisa menyalurkan sedikit kekuatanku agar kau bisa mengalahkan Huanglong.” Shenlong memutar kepala, menoleh pada sosok naga kuning kemerahan yang sibuk mencari keberadaan mereka.
“kau siap?” Tanyanya pada Jiu.
Continue…
Shenlong mengalihkan atensinya dari Naga Huanglong ke pedang di genggaman Jiu. Tangannya terulur dan bersandar di atas punggung tangan Jiu. Tubuh mungil dalam pelukan sang pria tersentak pelan, agaknya terkejut dengan sentuhan tiba-tiba. Shenlong tersenyum tipis, kemudian menatap lekat pada sosok besar di depannya.“Ini akan sedikit sakit,” katanya menarik perhatian Jiu. “Karena aku hanya membuka aliran qi untuk sementara. Cukup untuk mengalahkan Huanglong. Tapi tidak cukup untuk membuatmu baik-baik saja setelah ini.” Manik emas itu beralih ke arah sepasang manik coklat yang menatapnya lekat.“Mengapa kau mau melakukan ini? Menolongku yang bukan siapa-siapa.” Tanya Jiu setelah lama terdiam.“Kau lebih dari yang dirimu pikirkan, Jiu.” Shenlong mulai mengalirkan kekuatannya sedikit demi sedikit melalui sentuhan tangan.“Bagaimana kau tahu namaku? Aku belum memberitahukannya padamu!”Jiu merasakan adanya suatu energi merambat naik di bawah nadi. Dia sontak menoleh ke arah tangan yang men
“Kak He Ting!”Gadis bermata hitam itu mengerjap, tersentak pelan, lalu menoleh ke belakang. Seorang anak perempuan berusia delapan tahun, berlari sedikit tertatih ke arahnya. Wajahnya pucat, air mata mengalir deras dari mata bulatnya.“Kak He Ting! Tolong…,” katanya terisak pelan. Dia jatuh berlutut di depan He Ting dan menarik rok sambil tersedu-sedu. “Tolong selamatkan nenek!”“Adik, ada apa dengan Nenek Tao Lan?” Wanita muda dengan rambut hitam panjang sepunggung itu berlutut. Bertanya lembut sambil menyeka wajah dengan ujung lengan. “Bicaralah pelan-pelan, Kakak mendengarmu.”“Ta-tadi ada beberapa pria dewasa datang ke rumah. Nenek keluar untuk bicara dengan mereka, tiba-tiba terdengar suara ribut. A-aku segera keluar untuk melihat, ternyata mereka membawa paksa nenek dan menuduhnya telah mencuri.”Tangan He Ting yang sejak tadi mengusap punggung gadis kecil itu seketika terhenti. Dia berusaha mengatur kembali ekspresi kagetnya.“Apa adik tahu, mereka membawa nenek kemana?”Gadis
“...Jiu.”Suara hilang-timbul tidak asing itu terdengar sayup-sayup. Memanggilnya berulang kali, seakan memberitahu sudah waktunya dia kembali. Gadis itu menoleh untuk terakhir kali, pada seorang perempuan muda tengah meregang nyawa sendirian di ranjang jerami. Air mata jatuh membasahi pipi. Hatinya sakit, semakin sakit saat seorang laki-laki muda menerobos masuk dan memeluk He Ting yang telah tiada. Pemuda itu memiliki mata kuning cerah, rambut hitam yang diikat tinggi. Dia menangis tersedu-sedu, beberapa kali membelai hati-hati wajah putih kian memucat itu. “Tidak, jangan tinggalkan aku, He Ting!” Pria itu memohon, suaranya serak dan bergetar.“Mengapa… harus berapa kali lagi kau menderita karena manusia?!” Pria itu mencium kening dan pipi He Ting. Pundak lebarnya bergetar pelan, mencoba menahan rasa sakit di dada dan amarah yang kian menumpuk. “Maaf…” Jiu tiba-tiba berucap. Matanya merah dan sembab, “Maafkan aku… maaf….”“Jiu…”Sekali lagi suara itu memanggilnya. Jiu menoleh, b
Dua hari sebelumnya…Feng Ju tidak beranjak dari tempatnya sejak melepas kepergian Jiu. Pemuda itu menunggu dengan sabar dan diam-diam berharap. Semoga dewa berbelas kasih pada sang gadis, dan membiarkan Naga Huanglong tidak membunuhnya. Namun doa dalam diam itu terpaksa pupus. ketika gemuruh langit, dan tanah bergetar tidak lagi nampak. Feng Ju menatap cemas, apakah itu artinya pertempuran telah usai? Lalu bagaimana kabar sang gadis dalam ramalan?Feng Yi menghampiri, begitu juga para anggota dua klan ternama saat ini. Mereka memandang jauh pada lembah di belakang bukit. Mereka semua menunggu, sampai bulan purnama tepat di atas kepala. “Inilah jawabannya, wahai saudaraku.” Feng Yi menepuk pundak Feng Ju. “Dia bukan yang kita cari. Mari pergi tidur. Besok kita harus kembali dan melaporkannya pada sembilan pemimpin sekte.”Feng Ju tidak kunjung bergeming, kakinya seakan mengakar di tanah. Tak lama dia menghela napas panjang. Mengapa pula dia keras kepala seperti ini? padahal gadis it
Perjalanan menuju kota Shihezi membutuhkan waktu satu hari bagi para pejuang murim. Untuk manusia biasa, tentu saja lebih lama. Terlebih selama perjalanan ini, Shenlong menggunakan waktu untuk mengajari Jiu mengenai inner ki. Pemuda itu juga membimbing sang gadis melakukan Teknik Enam Kombinasi. Sehingga perjalanan ini menjadi lebih panjang dari yang seharusnya. “Cara mempelajari inner ki bagi pemula adalah melalui latihan pernapasan. Sebab saluran pernapasan adalah kunci tubuh bisa mendapatkan asupan oksigen dengan maksimal.” Shenlong menaruh kedua telapak tangannya di punggung Jiu. “Selain itu dengan pernapasan yang baik, kau bisa membangun fondasi dasar yang kuat untuk menara tenaga dalam dalam tubuhmu.”Jiu menarik napas panjang selama tujuh detik, tahan napas lima detik, lalu menghembuskannya perlahan selama tujuh detik. Dia melakukannya berulang kali sesuai arahan Shenlong. Sementara pemuda itu menyalurkan energi pada tubuh sang gadis. Dia memastikan secara tepat membersihkan e
Suara guntur semakin sering terdengar, perubahan cuaca ekstrim ini kerap terjadi di wilayah sekitar Gunung Tianzi. Padahal tidak sampai setengah jam lalu, sinar matahari terasa hangat. Kini udara dingin disertai angin kencang menerpa. Sebagian pedagang sudah menutup jualan mereka, tidak ingin terlambat berteduh. Suara langkah kaki kecil bertalu cepat, dalam gendongannya terdapat bingkisan daging dan keranjang bunga. Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua itu sesekali menoleh kebelakang. Dia berlari seakan dikejar sesuatu. Zhang Xue, gadis penjual bunga itu belok kiri, masuk ke gang sempit. Napasnya sudah putus-putus akibat lelah berlari. Namun dia harus secepatnya pergi ke tempat aman. Sayangnya, kaki kecil itu terantuk batu, membuatnya jatuh tersungkur. Belum sempat Zhang Xue beranjak, sesuatu memegang kedua kakinya. “Ti-tidak!! Lepaskan aku!” Dia meronta, kedua tangan menggapai apapun yang bisa dijadikan pegangan. “Tolong! Tolong aku!!” Namun kekuatan tangan besar yang mencengkr
Langit senja berubah penuh bintang tak lama setelah Jiu dan Shenlong sampai di depan penginapan. Jiu menikmati jalan-jalan sorenya bersama Shenlong. Udara di kota Shihezi sejuk, mengingat wilayah ini terletak tepat di bawah Gunung Tianzi. Tidak hanya itu lampu-lampu gantung sepanjang perjalanan juga menambah keindahan malam kota ini. Namun kedamaian itu seakan ilusi, ketika seorang wanita mondar-mandir di depan penginapan. Bertanya pada pejalan kaki. “Maaf, Kakak. Apakah kalian melihat anak kecil perempuan penjual bunga?” “Maaf, aku tidak lihat.” “Ah! Maaf, Kak! Apakah kau melihat putriku, Zhang Xue?” “Tidak, aku tidak lihat sejak kemarin.” kening Jiu mengerut samar, mengapa nama itu terdengar tidak asing ditelinganya? “Hei, kalian sudah kembali!” Huanglong tiba-tiba menyapa, entah darimana pemuda itu. Muncul begitu saja, mengejutkan Jiu. “Apa terjadi sesuatu, Huanglong?” Jiu bertanya sambil berbisik pelan dan menunjuk wanita di depan penginapan. “Siapa wanita itu?” “Kau ingat
Matahari sudah tenggelam sejak lima menit yang lalu. Udara sejuk kini menjadi sedikit dingin ketika Jiu berjalan di salah satu distrik kumuh. Pertengkaran kecil yang terjadi membuat gadis itu memutuskan untuk berjalan-jalan untuk mendinginkan kepalanya. Seperti yang dikatakan Huanglong, tidak seharusnya Jiu mendesak Shenlong. “Sebenarnya aku paham betul, ini ulah manusia. Tapi karena tidak ada petunjuk apapun, membuatnya terlihat ini ulah Shenlong.” Jiu menendang kaleng bekas saking kesalnya. “Jika aku tidak mengenal Shenlong, mungkin aku juga sepemikiran dengan Huang Jiang.” Suara kaleng yang ditendang Jiu menimbulkan suara gaduh. Gadis itu berjengit, baru sadar dia tidak kenal lingkungan sekitar. Terlebih banyak mata memandangnya ingin tahu, juga melihatnya dengan tajam. Sang gadis menelan ludah gugup, mencoba untuk tetap tenang. Bodoh sekali dia berjalan tanpa tahu arah dan berakhir tersesat di gang kecil. “Kau yakin barangnya sudah siap?” Suara samar-samar terdengar menarik per