Hai dears, berikan juga vote, komen dan ulasan bintang untuk buku ini, ya ... Terima kasih,
Setelah mengantar Zico ke sekolah, Beyonce tak langsung pulang ke ruko. Melainkan meminta sopir untuk mengantarnya ke kebun sayuran miliknya yang berjarak satu kilometer dari ruko. Tiba di sana, pekerjanya yang hilir mudik memanen di kebun dan mengangkut sayur–sayuran ke mobil pick up menyapanya saat Beyonce berjalan menghampiri Agatha yang sedang bersama mandor. "Bagaimana hasil panen pagi ini Orlando?" tanya Beyonce kepada mandor itu, sambil mengecek daun lobak dan kol yang tampak berlubang karena hama. "Lancar Nyonya, semua akan dikirim seperti biasanya. Ke pasar, restoran, supermarket dan dikirim ke kota," papar Orlando. Beyonce menoleh ke arah Orlando yang memberinya buku catatan pengiriman. Sementara itu, Agatha berpamitan untuk mengangkat telepon dan Beyonce mempersilakannya. "Semuanya sudah okey. Tapi tolong, kau urus sayur kol dan lobak, Orlando. Karena jika terus–terusan diserang hama. Nanti pertumbuhan sayuran ini terganggu dan terancam gagal panen," suruh Beyonce begi
Aldrich tahu bagaimana perangai bibinya yang di luar prediksi. Selain cerewet, wanita tua itu adalah tipe pemaksa. Sehingga Aldrich malas bertemu dengannya. Seraya meminum teh di cangkirnya lagi. Aldrich menatap William. “Begini saja, Willy. Katakan pada Bibi Halves, kalau aku akan pergi ke Miami atau ke mana saja untuk urusan bisnis.”Itu merupakan keputusan yang tepat. Setidaknya, bukan menolak secara terang–terangan tapi secara halus dan Halves tak akan tersinggung. “Eee ….”“Dua Minggu. Oh, tidak–tidak! Satu bulan saja!" putus pria itu meralat ucapan.Tapi dia tak mendengar sahutan dari asisten pribadinya itu yang membuat Aldrich heran."Willy, apa kau mendengarku?!” seru Aldrich terdengar marah dengan kening berkerut dalam. “Saya mendengarkan Anda.”"Bagus. Kalau begitu, siapkan semua yang aku perlukan untuk berangkat!"William menarik napas dalam–dalam begitu mendengar Aldrich kembali bersin. Serba salah dirasakan pria itu, karena terganjal sesuatu yang segera ingin disampai
“Kemarin saat istirahat siang di sekolah, anak dari Ibu kepala sekolah melihatku bermain bola, ups!” Keceplosan, Zico membulatkan matanya.Dia lekas membekap mulutnya sendiri, takut mamanya marah karena dia sudah melanggar janjinya untuk tidak bergiat dalam jenis olahraga apapun.“Mama, tolong maafkan aku, ya? Aku salah sudah bohong pada mama, kalau diam–diam di sekolah … aku … aku suka main bola.” Zico mengakuinya dengan ekspresi menyesal.Tangannya disatukan ke depan dada, dengan mata berkaca–kaca itu membuat hati Beyonce teriris. ‘Aku harus bagaimana dan berkata apa pada Zico untuk menjelaskan semuanya?’ Dalam hati Beyonce bermonolog sendiri, memejamkan matanya lalu memijat kening untuk meredam kepalanya yang mulai didera pusing. Beyonce selama ini bekerja mencari nafkah dengan bekerja keras dan bertahan hidup hanya semata–mata demi Zico. Meski dulu ia pernah menentang kehadirannya, bahkan ingin memberikan buah hatinya itu untuk diadopsi orang lain. Nyatanya, dia sampai tak seteg
"Pertanyaan macam apa itu, Pak Vincent?" Dengan mimik tersinggung, Beyonce bertanya balik kepada Vincent. Bingung juga apa yang sebenarnya dia maksud. Vincent melirik Zico ketika dia merasa serba salah untuk tahu siapa lawan bicaranya. "Siapa?" tanyanya dengan gerakan bibir saja. Zico mendekati Vincent, menutup wajah dengan sebelah telapak tangan. "Mama, Coach. Dia mamaku.Kedua netra hitam Vincent sontak terbeliak, napasnya sesaat terhenti karena terkejut.Sementara itu, Beyonce heran kenapa sang putra bisa seakrab itu dengan Vincent walau hanya kemarin bertemu di sekolah."Mama?" ulang Vincent lagi dengan nada kurang percaya. "Iya, Mamaku yang aku ceritakan kemarin kalau dia pasti sulit memberi izin aku berlatih sepak bola," jawab Zico. Oh, Tuhan. Vincent tak menyangka tebakannya meleset, kali ini dia menjadi rikuh pada wanita cantik itu. Apalagi Beyonce yang terus menatapanya dengan tajam. "Maafkan saya jika salah bicara, Bu. Tapi saya tak ada niat apapun, hanya saja. Mulanya
"Aldrich, kembali ke meja makan sekarang!" pekik Halves menyuruh pria itu, namun tak dipedulikan Aldrich sama sekali yang tetap melenggang ke tangga atas menuju kamarnya. Halves benar–benar kesal, bibirnya mengerucut dengan helaan napas kasar. Di sebelahnya, Veneta menenangkan Halves. "Bibi tenanglah, ingat tekanan darahmu," ucap Veneta disertai usapan lembut di bahu Halves.Halves kemudian menarik napas dalam–dalam, pikirannya belarian ke masa lampau saat Aldrich remaja. "Dulu, padahal Adrich tidak begitu. Dia selalu menurutiku, entah kenapa sekarang dia berubah?" tukas Halves merasa sedih. "Maaf kalau aku lancang, Bibi Halves. Tapi aku rasa, Bibi memperlakukan Aldrich seperti anak kecil. Jadi, dia tak suka."Kilat tajam langsung terpancar dari mata Halves yang melotot. "Jadi kau pikir aku yang kekanak–kanakan?!"Wanita berpakaian seksi itu langsung menggelengkan kepala. Cepat menepis sebelum Halves salah paham, 'dasar wanita gendut penuh lemak! Sedikit–sedikit marah!' ejeknya da
‘Kenapa anak ini sedikit mirip wajahku saat kecil? Warna matanya hitam tegas sepertiku? Dia juga suka bermain sepak bola sama sepertiku dulu waktu kecil atau ini hanya perasaanku saja?’ Aldrich terus menatap wajah tampan Zico yang amenggemaskan. ‘Siapa sebenarnya anak ini?’Tanpa dikomando tangan Aldrich, bergerak sendiri menyentuh pipi gembul Zico. Pipinya seperti squishy, lembut, empuk dan menjadikan siapapun betah untuk menyentuh. Aldrich tak tahu kalau bocah itu menahan kesal, karena Zico paling tak suka kalau ada yang menyentuh wajahnya. “Dia yang paling kecil di sini, Pak. Tapi juga paling semangat, bahkan kemampuannya setara dengan kakak tingkatnya,” ucap Vincent mempromosikan.Sementara Zico yang sejak tadi memendam kekesalan sebab Aldrich tak melepas jarinya dari pipinya itu, kini tak tahan mulai memprotes.“Hai, Pak Ketua Federasi yang saya hormati. Bisakah Anda melepas pipi saya?” pinta Zico dengan gaya bicara seperti orang dewasa. “Aku paling tidak suka pipiku disentuh s
"Kau bicara apa Aldrich?" Halves sadar kalau yang dimaksud sang keponakan adalah dirinya. "Dasar kurang ajar!" "Mmm, Bibi. Tenang dulu. Jangan marah." Aldrich menggosok keningnya, dia baru menyadari kalau masih menelepon dengan Halves dan menyesali tindakannya yang gegabah. "Halo? Halo ... aduh! Kenapa suara bibi Halves tak terdengar? Halo, Bi." Halves mengerutkan keningnya di sana, Veneta memandanginya dan masih berharap kalau wanita gemuk itu berhasil membujuk Aldrich untuk mengajaknya dinner. "Sialan! Kau pikir aku tak tahu kalau kau hanya berpura–pura mengalami sinyal buruk?! Lagu lama!" tuding Halves dengan suara keras. Setelah rencana basinya ketahuan, Aldrich mati gaya. Begitupun suaranya yang mendadak hilang. Mampus, kau Aldrich. Bersiaplah diseruduk oleh Halves. "Maaf, Bi. Ini sungguhan—" "Aku benar–benar tersinggung dengan ucapanmu, Al." Nada suara Halves terdengar serak, membuat Aldrich merasa bersalah. "Kedua orang tuamu tak pernah memperlakukanku seperti ini. Tapi
"Pak, tolong dijaga bicaranya. Aku sudah minta maaf, tapi kenapa malah menghinaku?" Zico sama sekali tak takut, dia membalas tatapan sengit pria itu yang menatapnya tajam. Dia tak seperti anak lain yang cengeng dan menangis jika menghadapi suatu masalah. Tapi menghadapinya lebih dulu. "Dasar anak kecil tidak tahu sopan santun! Bicara dengan orang tua seenak jidat!" "Mamaku selalu bilang. Kita harus menghormati orang yang lebih tua dari kita, tapi kalau mereka keterlaluan menghina yang muda. Aku boleh membela diri," tukas Zico menatapnya dengan berkacak pinggang. "Brengsek! Awas kau, ya!" umpat pria itu malas berurusan dengan Zico, apalagi dia tampak dipanggil seseorang dari dalam restoran. Zico mendengkus kesal dengan ucapannya yang kasar. Dia merekam wajah pria itu dalam otaknya. Suatu hari kalau bertemu, dia akan membuat perhitungan. Setelah pria angkuh itu meninggalkannya sendiri, Zico memungut dompet milik Aldrich yang telah terbuka menjadi dua bagian. Mata Zico menat