"Ayuk?!”
Heranku meraja saat perempuan yang jasadnya terbujuk kaku itu kini ada di hadapan. Ia terlihat segar dan cantik. Mengenakan gaun putih panjang dengan pita mungil berwarna hijau di dada. Rambutnya tergerai indah dan bergelombang.Kuedarkan pandangan sekeliling. Tetap hening. Semua pergerakan dan waktu masih berhenti.“Jangan takut. Ayuk titip Amanda sama kau, Rin.”“Amanda?” Kuulang kalimatnya dengan lidah kelu.Ayuk Fatma mendekat, menggeser duduk hendak meraba bayinya. Aku mengkerut. Takut setengah mati.“Dak usah takut, Rin. Kasih nama bayi ini Amanda Fatma Samsuari. Aku titip nian sama kau anak-anak dan suami aku. Dak ada orang lain yang bisa ayuk percaya, Rin. Cuma kaulah satu-satunya. Ayuk pamit.” Matanya merebak meski seulas senyum terukir di bibirnya. Ia mengelus pipi mungil dalam dekapanku pelan sekali. Ayuk Fatma lalu berdiri, berjalan ke arah pintu dan kembali berbalik. Sementara aku masih kaku di tempat.Sekali lagi ia tersenyum dan melangkah keluar. Bau harum tiba-tiba menyeruak ke dalam hidung, seiring waktu yang kembali bergerak.Orang-orang saling bergumam dan berbisik. Sepertinyq, aroma wangi yang lembut itu ternyata juga mereka rasakan. Aroma yang belum pernah kucium sebelumnya.“Harum nian.” Sebuah suara mampir di telinga.“Itu tanda orang baik meninggal,” timpal yang lain.Sementara aku masih terpana dengan apa yang baru saja terjadi. Tidak. Ini bukan mimpi. Nyatanya badanku yang awalnya menghadap jenazah sekarang posisi dudukku menjadi membelakanginya. Tadi, Ayuk Fatma menepuk pundak dan membuatku berpaling ke belakang.Kutelan ludah sekali lagi dan mengatur napas yang masih tak beraturan. Bapak dan ibu yang juga turut hadir memandangku dengan tatapan nelangsa. Mereka kuberi tahu sesaat setelah Ayuk Fatma meninggal dan langsung menempuh dua jam perjalanan ke rumah duka.Meski belum pernak bertemu muka, cerita tentang Ayuk Fatma dan kebaikan-kebaikannya sudah tidak asing di telinga mereka berdua. Sering berkirim salam dan berucap terima kasih karena telah membantu aku, putri mereka.Sekonyong-konyong, laki-laki yang kemarin mengamuk dan memarahiku atas meninggalnya sang putri--bapak Ayuk Fatma--duduk di sampingku. Matanya masih merah, gurat luka tercetak jelas di wajah tuanya.“Kau, Airin, kan?” intonasi suaranya sudah melunak. Ia merengkuh pundakku.“Iya, Pak.” Aku tergagap.“Kau luluskanlah permintaan terakhir anak aku itu. Toloong.”Badanku kaku dengan dada yang berdentam bertalu-talu. Bapak ibu yang duduk tidak jauh memperhatikan lekat. Barangkali, melihat kegugupan dan kebingungan putrinya, membuat mereka mendekat dan duduk di sampingku.Ayah Ayuk Fatma kemudain menceritakan semuanya, apa wasiat putrinya sebelum menghadap Ilahi kepada Bapak dan Ibu. Semua pasang mata menatap dan menjadi saksi peristiwa ini.Lalu, bapak mengangkat suara.“Tapi anak saya sudah dikhitbah, Pak. Insyaallah bulan depan akan menikah.”“Toloong nian, Pak. Khitbah bisa dibatalkan asal calon anak Bapak izinkan. Biar saya yang meminta langsung sama dia. Kasihan pula bayi ini. Kalau bidan yang ngurus akan lebih baik pula.”“Pak?” Kutatap bapak dengan air mata merebak.“Kek mana, Rin?” Bapak justru bertanya kepadaku yang kebingungan.“Airin dak tahu, Bapak.” Kugelengkan kepala kuat-kuat. Satu sisi aku kasihan, sisi lain hati sungguh tidak tega menggagalkan begitu saja lamaran yang sudah diterima.“Iya, Nak. Batalkan bae lah. Kasihan dedek bayi tuu.” Beberapa suara di sekeliling menimpali. Aku tertunduk dengan lidah kelu dan dada membadai oleh perasaan bingung.Bang Sam baik, meski sudah sedikit berumur, ia laki-laki yang patut diperhitungkan. Bang Idam, laki-laki yang telah mengkhitbahku itu juga tidak kalah baik. Kami beberapa kali bertemu di badan kerohaniawan islam kampus. Ia juga merupakan mahasiswa ekstensi dari fakultas keperawatan.Cinta? Aku tidak tahu. Jujur belum ada cinta di hati dengan calon suamiku itu, tidak ada pendekatan apa pun sebelumnya. Aku hanya yakin ia laki-laki yang bisa menjadi imamku. Bang Sam? Aku pernah membayangkan bisa memiliki suami sepertinya, meski tidak pernah terbersit sedikit pun untuk jatuh hati kepada suami sahabatku itu.Hatiku diliput bimbang. Sementara bisik-bisik pelayat makin santer terdengar di telinga.“Ha, macam ini be, mana nomor telepon calon kau tu, biar bapak yang ngomong.” Bapak Ayuk Fatma memutuskan sepihak. Di bawah hujan tatap mata puluhan orang yang hadir, aku tidak punya pilihan lain selain memberikan hape yang ada di saku baju.Lalu, terjadilah pembicaraan yang cukup panjang dengan perangkat elektronik itu. Semua mata mengawasi dengan mulut terkunci. Sementara bayi dalam gendonganku bergerak-gerak mencari puting susu.Aku hanya bisa menangkap sedikit dari apa yang mereka bicarakan. Bagaimana bapak Ayuk Fatma memohon dan bernegosiasi dengan Bang Idam di seberang sambungan. Hingga akhirnya laki-laki itu menutup telepon dengan berujar,“Makasih nian Nak Idam. Makasih nian. Bapak yakin kau akan dapat perempuan sebaik Airin untuk jadi istri kau nanti.”Kalimat pemungkas itu memberi satu kesimpulan bahwa Bang Idam merelakan pembatalan khitbah yang dua bulan lalu kami selenggarakan.Kuremas telapak tangan yang di sana tersemat cincin yang ia berikan. Sementara rasa bersalah membingkai di dalam dada.Harus seperti inikah akhirnya?“Idam lah boleh, Nak Airin. Nanti proses pengembalian omongan bapak temani ke rumah mereka.” Bapak Ayuk Fatma seperti memonopoli keadaan. Tidak ada yang berinisiatif membantah. Semua orang sedang dalam keadaan berduka.“Kek mana kalau akad nikah kita langsungkan sekarang be? Mumpung masih ada Fatma di sini.”Heh?! Bagai halilintar yang bertasbih memuji Allah karena takut kepada-Nya, kalimat itu telak menghantam jantungku. Bapak menghela napas panjang, ibu menatapku sambil berkaca-kaca. Sementara air mataku sudah luruh semenjak tadi.**Ruangan sontak bergemuruh oleh lantunan takbir.“Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar!”Semua mata tertuju padaku, bagai seorang pesakitan yang harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Dosa yang sama sekali tidak dilakukan. Sanksi sosial. Begitu hukum masyarakat berlaku.Badanku bergetar-getar. Ini bukan perkara main-main. Sementara umur belum bisa dikatakan dewasa untuk mengemban amanah yang begitu berat. Menjadi ibu sambung dari tiga orang anak sekaligus, diantaranya masih bayi merah. Tetapi melihat wajah-wajah yang penuh harap, terutama bapak Yuk Fatma yang sampai menangkupkan tangan di dada, membuatku tidak berkutik.‘Bismillah, kuatkan hamba ya Allah, tegakkan punggung, dan kokokkan pundakku untuk memikul amanah ini. Jika ini memang takdir yang telah Engkau janjikan semenjak aku di dalam garba ibu perkara rezeki, jodoh, dan ajal,’ bisikku dalam hati.Kupandang bayi mungil yang masih nyaman tidur di dadaku, lalu berpaling menatap Bang Sam yang salah tingkah, ia membalas mataku sekilas saja sebelum menunduk menekuri lantai.Aku menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk. Lantunan hamdalah dan takbir lantas memenuhi ruangan.Sementara, kecemasan meraja di dada. Semua terjadi begitu mendadak dan di luar rencana**Suasana kemudian menjadi sedikit gaduh saat orang-orang seperti dikomando mempersiapkan segala sesuatunya. “Panggil Tuan Kadi,” titah Bapak Ayuk Fatma pada seseorang. (Tuan kadi adalah istilah untuk penghulu).Bapak tertunduk sementara ibu erat menggenggam sebelah tanganku yang sudah basah oleh keringat sejak tadi.“Kau yakin, Nak?” Sejenak Bapak mendongakkan wajah dan memandangku lekat.“Insyaallah, Pak.” Bibirku berat menjawab meski hati sendiri masih tidak yakin. Meski spontan, kepala juga menggeleng karena keberatan.Seharusnya Bapak membelaku, bukan? Ia adalah laki-laki yang memiliki hak prerogatif atas putrinya. Tapi ada saat di mana pertimbangan perasaan, situasi, dan keadaan mengalahkan ego dan kepemilikan. Hukum sosial sedang berlaku.Kami lalu didudukkan bersebelahan, menghadap meja kayu rendah yang dialasi taplak seadanya, di samping jenazah Ayuk Fatma yang terbujur kaku. Bang Sam tampak kikuk, wajahnya terlihat lelah, dan tertekan. Perlahan ia mencondongkan badan dan
Dadaku tiba-tiba dipenuhi ketakutan dan pengandaian. Jangan-jangan laki-laki yang selama ini aku kenal sebagai pribadi yang baik dan santun adalah penganut masokisme? (Kelainan yang puas setelah menyiksa pasangan.)Hiii …! Aku bergidik seketika.Namun, selama ini Ayuk Fatma tampak baik-baik saja. Apa mungkin mereka berdua adalah pelaku? Jantungku berdetak-detak tak keruan. Bisikan buruk dan suudzon berkelindan memenuhi ruang benak.Menjelang melahirkan, Ayuk dan Bang Sam memang memutuskan kembali ke rumah orangtua laki-laki itu, agar lebih mudah merawat bayi dan ibunya. Siapa sangka semua berjalan di luar kehendak manusia.Tetapi, kami kembali ke kediaman mereka, rumah Ayuk dan Bang Sam sendiri Abah dan Amak Bang Sam juga iya iya saja saat di rumah duka. Ketika bapak Ayuk Fatma mencetuskan ide gila demi meluluskan wasiat putrinya sebelum meninggal.Aku melirik bayi yang masih pulas tertidur dan pandangan beralih ke tali yang terikat menakutkan di ujung sana.Karena didorong rasa pena
Tali di kepala ranjang dan bercak darah itu kembali menari-nari di pelupuk mata, sementara dada dihantam badai kengerian.“Abaang?” panggilku takut-takut.“Heem?” Dia menatapku, teduh. Sisa air wudhu yang masih membasahi wajah dan rambutnya meninggalkan aura segar. Bang Sam memang sangat tampan.Hatiku berdesir, campur aduk. Ngeri dan juga … entah. Sulit otakku mencerna dan mendeskripsikan.“Cu-ma sholat, kan?” Aku membalas tatapannya sekilas lalu menunduk, pura-pura membersihkan kuku. “Pergilah wudhu, Abang tunggu,” ujarnya sekali lagi. Aku mendongak. Dia tersenyum lagi dan mengangguk. Dadaku berdesir lagi.Ragu-ragu aku beranjak ke kamar mandi dan menyempurnakan bersuci, sedangkan jantungku sungguh tak hendak diajak kompromi. Ritmenya semakin naik dan membuat ujung-ujung anggota gerakku terasa dingin.Perlahan, aku menghirup dan melepaskan napas sekedar mengurangi tekanan dalam dada.Betapa khawatirku bertambah besar saat keluar dari berwudhu, pintu kamar sudah tertutup rapat.Iyu
Lepasnya jeritan dari mulut seakan melepas juga kelumpuhan yang aku rasakan baru saja. Kesadaranku pulih seketika.Aku masih dalam ikatan, tapi dua lengan kokoh dengan bau feromon yang memabukkan. Pelukan Bang Sam.“Adek kenapa? Mimpi apa?” tatapnya penuh keheranan. Ah, mata itu.Aku bernapas lega dan membenamkan wajahku ke dadanya, mencari ketenangan. Meski sebenarnya detak riuh kecemasan masih menghantui pikiran.“Baca taawuz dan meludahlah ke kiri tiga kali, mimpi buruk datangnya dari setan,” ujarnya lembut sambil mengelus kepalaku.Aku beringsut dari pelukannya, membaca taawuz dan meludah ke kiri tiga kali.“Adek pasti tertekan dengan pernikahan ini. Maafkan Abang,” ujarnya lembut dan kembali membenamkanku dalam pelukannya.Ya Allah. Perlakuannya sungguh membuatku meleleh.Detak jantung kembali riuh, tapi dengan irama yang berbeda.“Abang harusnya tegas bilang idak kalau hanya buat Adek tersiksa seperti ini. Tapi, semua memang salah Abang. Maaf.”Aku mendengar ia menarik napas ber
Lepasnya jeritan dari mulut seakan melepas juga kelumpuhan yang aku rasakan baru saja. Kesadaranku pulih seketika.Aku masih dalam ikatan, tapi dua lengan kokoh dengan bau feromon yang memabukkan. Pelukan Bang Sam.“Adek kenapa? Mimpi apa?” tatapnya penuh keheranan. Ah, mata itu.Aku bernapas lega dan membenamkan wajahku ke dadanya, mencari ketenangan. Meski sebenarnya detak riuh kecemasan masih menghantui pikiran.“Baca taawuz dan meludahlah ke kiri tiga kali, mimpi buruk datangnya dari setan,” ujarnya lembut sambil mengelus kepalaku.Aku beringsut dari pelukannya, membaca taawuz dan meludah ke kiri tiga kali.“Adek pasti tertekan dengan pernikahan ini. Maafkan Abang,” ujarnya lembut dan kembali membenamkanku dalam pelukannya.Ya Allah. Perlakuannya sungguh membuatku meleleh.Detak jantung kembali riuh, tapi dengan irama yang berbeda.“Abang harusnya tegas bilang idak kalau hanya buat Adek tersiksa seperti ini. Tapi, semua memang salah Abang. Maaf.”Aku mendengar ia menarik napas ber
Kami makan dalam kehangatan sebuah keluarga. Bisa dipahami jika Bang Sam memiliki pribadi yang santun dan penuh perhatian. Barangkali sikap Amak yang seperti itu dicontoh oleh putra tampannya itu.Tiba-tiba ponselku berdering.Rumah sakit mengabarkan bahwa audit maternal perinatal (Serangkaian kegiatan penelusuran sebab kematian atau kesakitan ibu, bayi, dan bayi baru lahir guna mencegah kesakitan dan kematian serupa di masa yang akan datang) akan segera dilakukan.Lidahku mendadak kelu. Hari-hari di mana aku dan tim akan menjadi pesakitan akan di gelar dua hari dari sekarang.Sementara, aku sama sekali tidak dilibatkan dalam pembuatan laporan.“Ada apa?” Bang Sam heran melihatku terpaku sambil memeluk ponsel di dada.“Audit.”“Tentang Ayuk?”Aku mengangguk sementara air mata spontan luruh.**Semua kenangan berkelindan menyerbu kepala. Wajah Ayuk Fatma, persahabatan kami, dan wasiat terakhirnya.Beberapa hari ke depan, aku dan tim akan duduk di kursi pesakitan, ditanya layaknya terdak
Waktu merambat perlahan hingga masing-masing pamit undur diri ke peraduan. Zain dan Zidan juga sudah beberapa waktu lalu diantar papanya. Mendongeng dulu, begitu kebiasaan mereka, cerita Si Pahit lidah atau Malin Kundang. Jika bosan papanya diminta membacakan buku cerita favorit mereka. The Little Prince. Kisah petualangan seorang pilot yang terdampar di padang gurun dan bertemu pangeran kecil dari planet lain. Bang Sam menceritakan ini padaku kemarin malam.Aku masih terpaku di tempat dengan bayi yang terlelap dalam pangkuan. Kamar mana yang harus kutuju? Kamarku dan Amanda atau kamar utama?Ada debar yang makin meningkat di dalam dada. Sejujurnya, aku belum siap untuk satu ruang semalaman dengan laki-laki penuh pesona itu.“Dek?” panggilnya.Aku terhenyak kaget karena sedang membayangkan sesuatu yang menggoda. Bahasa gaulnya, sesuatu yang iya iya. Bang Sam pasti telah selesai menidurkan buah hatinya“Kok masih di sini?” Bang Sam mengambil posisi duduk di sampingku.“Belum bisa tidur
Bang Sam seperti tidak peduli. Dia menangis dalam sedu sedang yang panjang dan menyayat. Membuat suasana pagi semakin mendung.Bang Sam lalu meletakkan kepalanya di pangkuanku yang terduduk di sisinya. Dia yang selama ini mencoba tegar, akhirnya tumbang juga dihajar kepahitan.“Menangislah, Abang. Menangislah. Tumpahkan saja semua yang mengganjal,” ucapku sambil membelai kepalanya. Hatiku pilu melihat kondisinya.Tidak lama kemudian tangis itu reda. Aku lalu membimbingnya ke kamar untuk mandi, memutar shower unuk menyiapkan air mandi hangat, dan Bang Sam menurut masuk untuk membersihkan diri.Aku tutup pintu itu, mencarikan ganti baju, dan keluar kamar. Secepat kilat menyiapkan sarapan dan teh panas. Sejujurnya aku tidak pandai memasak. Ayuk yang bantu-bantu di rumahlah yang mengerjakan.“Kenapa Abang kau, Rin?” Amak bertanya penasaran.“Airin juga belum tahu, Amak. Abang sedang mandi,” jawabku dengan kegusaran yang sama.Bang Sam sudah bergelung di atas tempat tidur saat aku kembali