“Tentu saja aku akan menceraikan Anna, sesegera mungkin.”
“Jangan bercanda, Lexi!”
“Apa kau berpikir semua perasaanku padamu juga candaan?” Suara Alexi meninggi, membuat urat-urat di lehernya menegang. Kedua matanya memancarkan kekecewaan.
“Alexi Millard, apa kau sudah kehilangan kewarasanmu? Anna baru saja melahirkan seorang Putri, darah dagingmu. Semudah itu kau ingin meninggalkannya?”
“Itu sebuah kesalahan. Aku bahkan tak yakin, bayi itu Anakku atau bukan!”
“Kau ...” Gwen menahan amarah, ia tahu bahwa jalan yang terlalu berisiko telah ia pilih, tapi dirinya juga seorang wanita yang harus memikirkan perasaan Anna saat ini.
“Kami hanya sekali melakukannya dan itu karena kecerobohanku.” Alexi menunduk, tak berani menatap Gwen. “Itu sebuah kesalahan besar.”
“Lalu karena itu kau tak yakin bahwa bayi itu Anakmu?”
“Ya, aku sangat tidak yakin.”
“Kemungkinan bisa saja terjadi, Lexi.”
“Tidak ada kebetulan dalam hidupku, Gwen.” Mata Alexi berkilat penuh amarah, ia terlihat frustrasi karena Gwen tidak berniat mendukung rencananya.
Gwen menghela napas pasrah, sulit berdebat dengan Alexi yang menyangkal kemungkinan padahal ia menyadari pasti, bahwa pria ini tidak lah sebodoh remaja belasan tahun yang tak paham bahwa melakukan hubungan suami istri tidak perlu sampai berkali-kali untuk bisa hamil.
Gwen percaya pada satu kemungkinan itu. Dia yakin, bayi mereka adalah Anak kandung Alexi. Bibi Martha—pengurus rumah tangga di keluarga Van Dick—yang dulunya adalah tetangga di rumah lama Gwen, pernah menuturkan, bagaimana Zanna Van Dick, begitu menginginkan Alexi.
Perjodohan dengan alasan klasik, memang selalu terdengar berlebihan, tapi itulah kenyataan yang harus dihadapi Alexi Millard dua setengah tahun yang lalu. Menikahi Putri satu-satunya dari keluarga Van Dick yang memberi pinjaman milyaran pada Ayah Alexi—Allan Millard—yang kini menghilang bak ditelan bumi.
Bisnis Allan Millard benar-benar habis total dengan sisa hutang yang masih menumpuk. Alexi satu-satunya keluarga tersisa, harus melunasi hutang sang Ayah dalam kurun waktu dua bulan. Nasib sial benar-benar sedang memayungi hidup Alexi saat itu.
Mau tak mau, karena tidak dapat melunasi hutang dalam waktu sesingkat itu, Alexi terpaksa menerima tawaran Zacky Van Dick—Ayah Anna—untuk menikahi Putri cantiknya. Zacky juga senang membuat orang-orang terdekat Alexi menderita, sehingga pria berlesung pipi ini selalu merasa tertekan.
“Baiklah, terserah apa pendapatmu. Tapi kuharap kau pikirkan lagi sebelum semuanya menjadi penyesalan di akhir cerita,” himbau Gwen.
“Tidak akan ada penyesalan. Itulah yang kuinginkan,” bantah Alexi. Penuh keyakinan.
“Kau membuatku terlihat buruk, Lexi,” gumam Gwen. Ia menggeleng pelan.
“Bukan kau, tapi aku. Tidak masalah. Karena aku ingin mewujudkan impian kecilku yang belum tercapai.”
“Impian kecil?”
“Kau tidak ingin tahu?” goda Alexi.
Gwen mengangguk, ia menatap Alexi, menunggu bibir Alexi memberitahunya.
“Tapi ... lakukan ini dulu,” tunjuk Alexi ke salah satu pipinya, tersenyum dengan kedipan mata, ada lesung pipi yang tercipta di sana.
Gwen tertawa pelan, lagi-lagi menghela napas. “Sepertinya kau tertular Piter, Lexi.”
“Karena itu Piter, aku tidak terlalu cemburu. Untung saja. Jika tidak ...” Alexi meletakkan satu jari telunjuk di leher dan menggeseknya berulang kali dengan gerakan maju mundur.
Gwen tersenyum kecut. Jika tidak, Alexi pasti akan menebas leher pria yang berani mendekati Gwen. Entah kenapa Gwen tak kesal apa lagi marah. Seolah Gwen membiarkan Alexi terobsesi pada dirinya.
“Ayo cepat ...” rengek Alexi, kini pipinya sudah ia dekatkan ke bibir Gwen.
Dengan perasaan penuh cinta, Gwen mengecup kedua pipi Alexi. Meski pria itu hanya menginginkan sebelah pipi yang tersentuh bibir Gwen, nyatanya, Gwen memberi lebih.
“Sekarang cepat katakan,” desak Gwen. Mendorong pundak Alexi dengan perlahan.
“Aku ingin menikahimu,” ungkap Alexi.
Kedua mata Gwen berkaca-kaca, ia berusaha menyembunyikan kegembiraannya. Takut itu hanya kebahagiaan semu.
“Itu impianmu?” Gwen ragu-ragu.
Alexi mengangguk yakin. “Tak ada hal yang lebih kuinginkan selain menikah dan membangun keluarga kecil bersamamu.”
Gwen memeluk Alexi. Membiarkan dirinya tetap menggunakan jubah mandi yang membuat Alexi kini tersentak. Ia menginginkan Gwen, tapi wanita ini selalu menolak.
Alexi merasa Gwen selalu berhasil membuatnya menderita. Memancing, tapi tak pernah bertanggung jawab atas perbuatannya pada diri Alexi yang terlanjur gelisah.
“Jika kau tidak menggunakan pakaianmu sekarang, aku jamin sedetik kemudian, aku tak bisa menahannya lagi.”
Gwen segera melepas pelukan eratnya. Wajahnya bersemu merah, ia menjadi salah tingkah.
“Sekarang keluarlah, tunggu aku di meja makan,” perintah Gwen sambil membalik arah tubuh Alexi, mendorong punggungnya menjauhi kamar.
*****
“Ada angin apa yang membawamu ingin pulang ke rumah?” Inez melirik pria putih pucat di sampingnya yang terus sibuk berselancar di dunia maya melalui ponselnya.
“Hanya ingin,” sahutnya dengan sebelah bahu terangkat. Tangan dan kedua mata tak lepas dari benda pintar di hadapannya itu.
“Ayahmu sudah mulai membaik, tapi kakinya masih belum bisa digerakkan.”
“Aku sudah tahu.”
Inez menoleh sekilas, sedikit terperangah. “Sungguh?”
“Ibumu yang memberitahuku tadi.”
“Aaa ...” Inez mengangguk, ia teringat ketika saat di kafe tadi, pria ini sempat sibuk dengan ponselnya.
“Maaf ....”
“Untuk apa?” Inez tak mengalihkan pandangan dari pria yang menumpang di mobilnya ini.
“Untuk segalanya.”
“Itu keputusan Ayahmu dan Ibuku. Tak masalah jika mereka saling sepakat untuk bersama.”
“Kau bisa menerima semua itu?”
“Tentu saja,” angguk Inez, “Ayahmu memberikan keuntungan yang luar biasa untukku dan Ibu. Aku tak tahu apakah ada orang lain yang mampu menolak kesepakatan dengan Tuan Edwin Fagan?”
“Beruntung sekali orang itu adalah kau, salah satu sahabatku.”
“Benarkah? Kenapa begitu?”
“Jika tidak, tentu saja aku akan merencanakan pembunuhan diam-diam terhadapmu.”
“Jangan bercanda, Eric,” tawa Inez geli, ia tahu sahabatnya ini senang mengatakan hal gila.
“Aku tidak bercanda,” sanggah Eric dengan suara datar, terpancar ekspresi serius dari wajah putih pucat dan mulus miliknya.
Tawa Inez segera menghilang, ia berdeham sebagai bentuk menetralkan kecanggungan suasana di antara mereka. Inez sadar, lima belas tahun bersahabat, baru kali ini Eric terlihat berbeda.
“Yah, kau benar. Betapa beruntungnya aku. Tapi apa kau tetap ingin mencoba membunuhku?” goda Inez.
Bukan Inez Gianina namanya, jika ia tak berani menantang maut.
“Yah, dari pada itu, mungkin aku butuh pelampiasan dalam bentuk hal lain.” Eric tersenyum sinis.
“Apa aku perlu menjadi pelayanmu?”
“Pelayan?” Kening Eric mengerut. “Pelayan apa yang kau maksud?”
“Yah, bisa jadi kau menginginkan aku menyiapkan makan siangmu selama sebulan,” tawar Inez.
“Oh, tidak. Masakanmu sama sekali tak enak. Aku hanya menyukai masakan Gwen,” tolak Eric dengan wajah menunjukkan kengerian.
“Hei ... apa-apaan ekspresimu itu? Apa masakanku semengerikan yang kau kira?”
“Yang jelas tidak, Inez! Tawarkan hal yang lebih menguntungkan padaku.”
“Hmm ... bagaimana dengan memberi kau kemudahan untuk memiliki akses keluar masuk hotel bersama wanita-wanita cantik dari penjuru dunia? Kau bisa menikmati dan merasakan perbedaan dari tiap wanita berbeda negara yang menemanimu.” Tawaran menggiurkan itu, langsung ditolak Eric dengan gelengan kuat.
“Tidak, tidak. Aku membenci wanita penghibur!”
Bersambung.
Inez tertawa keras, meski sudah mengetahui bahwa Eric bukanlah pria menggebu akan cinta dan hasrat terpendam, tetap saja Inez senang memancing amarah Eric.“Di antara sekian banyak pria kaya, mengapa harus Eric Fagan? Oh, ya ampun!” tawa Inez hampir menyerupai kekehan Nenek sihir.“Kenapa? Apa aku tak pantas untuk itu?” Eric terlihat tersinggung. “Saat aku merasa beruntung kau yang menjadi saudara tiriku, kenapa kau justru mengeluh?”“Jangan salah sangka dulu, Eric. Aku hanya merasa bersalah jika seperti kenyataan dan keadaannya seperti ini.”“Haa ...” Eric mendengus, ia tersenyum miring, alias sinis, “untuk apa kau merasa bersalah? Bukan kau yang sepakat untuk menikah dengan Ayahku.”“Bukan itu, Eric,” geleng Inez. Ada senyum manis menggoda darinya yang sengaja ia peruntukan untuk sang sahabat, “karena itu kau, aku jadi semakin sulit untuk berbuat ulah.”“Berbuat ulah? Kali ini apa
“Bercandamu lucu sekali, Eric.” Inez tidak memperlihatkan betapa ia terkejut dan berharap sahabatnya itu benar-benar sedang melakukan aksi balas dendam karena hal tadi.“Jawab saja, ya atau tidak?” Eric masih bertahan dengan tujuannya.Inez bungkam. Ia diam tanpa berani menjawab sebelum benar-benar menemukan jawaban yang tepat. Karena Eric tidak pernah seperti ini sebelumnya.Tidak, tidak pernah selama ia mengenal sosok Eric sejauh persahabatan mereka.“Kuberi kau waktu sampai besok pagi.” Eric memutuskan sendiri karena sadar Inez kesulitan untuk menjawab.Inez mengangguk dan berharap agar Eric lupa menagih jawabannya besok pagi.Setelah empat belas menit berlalu dalam kesibukan Eric dengan ponselnya dan Inez pada fokus mengemudinya, mobil memasuki gerbang King and Queen Residence.Rumah kedua dari gerbang utama sebelah kanan, mengambil konsep mediterania deng
Sepeninggal Misca dari rumahnya, Jupiter kalang kabut. Ia berjalan mondar-mandir di kamar. Menjambak rambutnya sambil memutar otak, memaksa berpikir jernih di bawah tekanan dan ancaman Misca.Sudah lewat tengah malam, tapi Jupiter tidak merasa harus sungkan menghubungi satu nama itu. Ia segera meraih ponsel dari sakunya dan menunggu panggilan dijawab.“Halo?” Suara di seberang.“Aku menganggu tidurmu?”“Tidak. Aku masih terjaga dengan setumpuk pekerjaan. Jadi ada apa?”“Aku ingin bertemu.”“Besok setelah jam kantorku selesai, bagaimana?”“Aku tidak bisa menunggu ...” Jupiter mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas pangkuan, “bisakah kita bertemu sekarang?”“Sekarang? Ini sudah hampir pukul dua belas malam, Piter.”“Yap. Aku tahu, tapi aku butuh kau sekarang. Aku ingin mengajakmu bicara hal penting.” Suara percaya diri Jupiter terde
“Apa kau tidak tahu?” Jupiter balik bertanya.“Tentu saja tidak.”“Sama. Aku juga tidak tahu siapa wanita itu, Gwen.” Dengan polosnya Jupiter tersenyum.Gwen meraih bantal kecil dari sofa ruang tamu, melemparkannya ke wajah Jupiter.“Aww!” Jupiter mengaduh dengan senyum seringai di wajahnya. “Jadi, lupakan ide itu. Sekarang tolong bantu aku dengan satu hal yang lebih pasti.”“Kau pikirkan saja sendiri!” gerutu Gwen. Padahal jantungnya sudah terpompa lebih dulu sejak tadi. Tapi ternyata, Jupiter hanya sedang mengganggunya dengan anggapan konyol tentang Alexi.Jupiter tiba-tiba menggeser duduknya, ia sadar satu hal bahwa Gwen sudah mulai terlihat kesal padanya. Posisi Jupiter benar-benar menjadi sangat dekat dengan Gwen, hingga wanita itu sedikit terkejut dan memundurkan tubuhnya perlahan-lahan.“Ada apa?” Gwen merasa Jupiter sedang ingin mengganggunya lagi.
“Baiklah. Akan kupikirkan, nanti. Sekarang aku harus menyelesaikan pekerjaanku sebelum Zeev Curtis memenggal kepalaku, besok.” Gwen menghindari tatapan lekat Jupiter, ia menggeser tubuhnya, mendekati meja dengan cara mengesot. Ambal berbulu segera menjadi tidak karuan akibat ulahnya itu.“Biar kubantu.” Jupiter merasa sedikit tak enak hati, ya sedikit, karena ulahnya yang terus memaksakan kehendak pada Gwen.“Kau bantu kerjakan ini, bisa?” Gwen menyorongkan laptopnya sedikit, sehingga kini Jupiter duduk bersentuhan bahu dengan Gwen.Itu hal biasa, sentuhan yang wajar bagi mereka. Justru dulu, saat masih berusia sembilan belas tahun, mereka pernah tidur satu tenda bersama, berlima. Saat memutuskan berkemah di halaman belakang rumah Eric yang luas. Serasa hidup bebas tanpa perlu mencemaskan sesuatu yang salah.Waktu itu mereka merayakan ulang tahun Inez dan tidak memiliki rencana lain, selain berkemah dan makan daging
“Lama tidak bertemu, Ayah.” Eric membuka percakapan saat berkunjung ke kamar Edwin pagi ini.“Setelah empat tahun, kukira kau sudah mati.” Terdengar sindiran sekaligus dengusan kecil dari Edwin.Eric berencana menjawab, mungkin dengan keras, tapi Renata buru-buru menghalangi niat Anak tirinya itu dengan masuk ke tengah pembicaraan mereka.“Bagaimana jika kau dan Inez, ikut kami berlibur minggu depan ke luar negeri?” Renata mengambil posisi duduk di bawah kaki Edwin di tepi ranjang.“Tidak, terima kasih, Bi,” tolak Eric dengan wajah datarnya yang mulai mengusut.“Ada apa kau kembali?” tanya Edwin. Tidak peduli meski ia tahu jelas Renata sedang berusaha menghentikan saling lempar ucapan pedas antara ia dan sang Anak.Eric diam tanpa menjawab. Lalu mengambil langkah cepat untuk segera pergi dari kamar sang Ayah.“Eric!” teriak Edwin.Tentu saja p
Gwen masih tegak berdiri, lemas dan bergetar. Dirinya bahkan tidak sempat untuk sekedar menggigit selembar roti sembari berjalan menuju ke kantor, tadi.Pikiran Gwen terus sibuk dengan penyesalan dan menu-menu sarapan yang ia lewatkan, sedangkan Zeev Curtis terlihat berjongkok, tepat di belakang Gwen.Zeev memperhatikan betis berbentuk sedang, tidak besar, tidak terlalu kecil, tapi pas, milik Gwen yang mulus tak tertutup rok pensil hitamnya.Dengan senyum sinis, ia melibas dasi hitam itu ke udara, lalu bersiap untuk mengikat kedua betis berbentuk indah itu menggunakan dasi.Zeev mengakui dalam hati, bahwa Sekretaris Umum perusahaannya ini, memang luar biasa.“Oh!” pekik Gwen tertahan. Wanita ini merasakan ada elusan dingin telapak tangan di kedua betisnya secara bergantian. Gwen hendak menoleh, memutar kepalanya.“Jangan menoleh! Tetap berdiri dengan tegak!” perintah Zeev, ses
Zeev tidak tahan melihat Gwen yang tak sekalipun berhasil, meski sudah mencoba berulang kali untuk membuka ikatan di bagian bawah kedua kakinya.Zeev tidak pernah tahu bagaimana Gwen menahan lapar saat ini. Merasakan perih di perut dan kering di tenggorokan. Tangannya terus bergetar, tubuhnya kini benar-benar lemah.“Bibirmu saja yang tajam saat bicara! Tapi kekuatan kecil untuk membuka ikatan seperti ini saja, tak ada sama sekali, payah!” bentak Zeev dengan tangan yang menepis Gwen, lalu membuka ikatan dasinya.Gwen terdiam, di pikirannya hanya lapar, haus, dan surat pengunduran diri. Ia bahkan hampir tidak sadar bahwa saat ini, Zeev telah menggendongnya menuju sofa, kemudian dibaringkan dengan cara yang lembut oleh sang atasan.“Tunggu di sini! Jangan coba-coba bangun dari tempatmu!” perintah Zeev, kasar.Zeev berlalu dari ruangannya. Tidak lupa mengunci pintu dari luar, Zeev segera menuju p