Share

Calon Adik Madu

#2 Calon Adik Madu

"Jangan-jangan kamu memang nggak mau hamil dan punya anak, Ras. Mengingat profesimu yang seorang biduan itu!" ketus Bu Intan mendelik tajam ke arah menantunya, Laras.

Laras hanya menghembuskan napasnya perlahan. Mencoba lebih bersabar dengan umpatan dan makian yang dilontarkan ibu mertuanya. Mereka sudah kembali pulang ke rumah. Tapi, Bu Intan masih saja mengomeli Laras dengan berbagai macam kata-kata yang tak enak didengar.

"Pokoknya ibu nggak mau tahu, kamu harus bisa cepat hamil, Laras!" oceh Bu Intan tanpa henti. Mengabaikan perasaan Laras yang pasti akan terluka dengan ucapannya itu.  Keduanya kini sudah sampai di depan rumah.

Angga memang sengaja membangun rumahnya agar berdampingan dengan rumah ibunya. Sebagai anak sulung dia merasa bertanggung jawab atas kehidupan ibu dan adiknya. Apalagi Tasya yang beranjak dewasa, gadis itu harus mendapat perhatian lebih agar tidak terjerumus pergaulan yang salah.

"Ibu … Laras dan Mas Angga sudah berusaha sebisa kami. Tapi, kalau Tuhan belum menghendaki, kami bisa apa? Apa yang bisa kami lakukan sekarang selain berdoa dan berusaha." Laras menyahut omelan ibu mertuanya dengan suara yang dibuat setenang mungkin. Ia tak mau emosinya tersulut menghadapi Bu Intan.

"Pasti kamu yang mandul, Ras! Coba kalian periksakan ke dokter, biar jelas siapa yang mandul!" ketus Bu Intan menatap tajam wajah anggun milik Laras.

"Ibu …." Laras ingin membela diri dan meyakinkan jika rahimnya sama sekali tidak bermasalah, tapi Bu Intan segera memotong ucapannya yang tak selesai.

"Sudahlah! Jangan banyak alasan! Ibu muak!" Bu Intan lalu segera masuk ke rumahnya. Ia meninggalkan Laras mematung di tempatnya. Wanita itu menutup pintu dengan kasar hingga menimbulkan bunyi berdebam yang cukup keras.

'Ya allah, Ibu ...,' bisiknya seraya menekan kuat dadanya yang berdebar karena bunyi nyaring pintu yang ditutup kasar itu.

*

Angga pulang ke rumah malam itu dengan wajah masam dan ditekuk lesu. Tampangnya yang rupawan terlihat kuyu. Lelaki itu masuk ke rumahnya dengan langkah gontai. Menjatuhkan diri di atas sofa yang ada di ruang tamu.

Laras langsung membawa langkahnya menghampiri suaminya yang sedang bersandar di sofa dengan wajah menengadah ke atas.

"Mas, kamu sudah pulang?" sambutnya dengan senyuman yang hangat. Tangannya terulur untuk sekedar memberi pijatan kecil di bahu suaminya. Itu adalah kebiasaan Laras sejak menikah.

"Hm," sahutnya tak bersemangat. Laras mengernyit heran dengan sikap suaminya itu.

"Mas sedang ada masalah di kantor? Kenapa?" tanya Laras halus.

"Nggak ada," jawabnya singkat.

"Terus kenapa, Mas?"

Angga membenarkan posisi duduknya lalu menatap lekat wajah jelita yang begitu dikaguminya sejak dulu.

"Kenapa kamu bertengkar lagi sama ibu?" tanya Angga menohok. Laras yakin pasti mertuanya yang telah mengadu pada suaminya.

"Bertengkar gimana, Mas? Aku nggak ngerasa bertengkar sama Ibu. Aku cuma …."

"Cuma apa, hah! Kamu selalu bantah kalau Ibu bahas masalah anak, 'kan? Kenapa kamu nggak diam saja dan iyakan semua kata Ibu." Angga mulai meninggikan suaranya.

"Masalahnya Ibu curiga di antara kita ada yang mandul, Mas. Aku nggak mau diam, karena aku baik-baik saja."

"Dan kamu curiga itu aku, hah! Hei, jangan gila! Aku bisa buktikan kalau aku nggak mandul!" sergah Angga dengan mata berkilat marah.

"Maksud kamu apa, Mas?" Laras meremas ujung bajunya karena ia tahu arah pembicaraan suaminya.

Angga tersadar jika dirinya telah salah bicara. Lelaki itu membuang wajahnya ke arah lain demi menghindari tatapan menyelidik dari Laras.

"Kenapa diam, Mas? Apa yang membuatmu yakin kalau kamu nggak mandul, hah!" Laras mencelos. Walaupun dia sudah tahu perselingkuhan suaminya, tapi dia mau kejujuran itu datang dari mulut Angga sendiri.

"Sudahlah! Jangan dibahas lagi! Aku capek!" kelitnya, tanpa berniat menjawab pertanyaan Laras.

"Kenapa, Mas? Apa yang bisa kamu buktikan kalau kamu nggak mandul, sedangkan selama ini kamu nggak pernah mau memeriksakan diri ke dokter. Hanya aku! Aku yang selalu pergi ke dokter untuk memastikan kalau aku baik-baik saja." Laras menumpahkan semua keluh kesahnya selama ini.

"Diamlah! Sudah kubilang jangan membahasnya lagi." Angga segera beranjak meninggalkan Laras. Lelaki itu tak memedulikan teriakan Laras yang terus memanggil namanya.

Laras lelah, lantas menjatuhkan bobotnya di atas sofa. Ia meraup wajahnya dengan kasar. Tak tahu lagi bagaimana agar membuat Angga mengaku telah berselingkuh. Dengan begitu ia tak akan merasa bersalah jika meninggalkan rumah ini saat dirinya memiliki alasan untuk pergi.

Pertengkaran yang terjadi malam itu membuat keduanya perang dingin hingga berhari-hari. Baik Laras maupun Angga, keduanya sama-sama gengsi untuk berbicara lebih dulu. Namun, Laras tetap melakukan kewajibannya sebagai istri. Menyiapkan sarapan dan pakaian kerja Angga, minus tidak ada obrolan hangat lagi di antara mereka.

Suasana rumah yang mereka tinggali menjadi lebih dingin dari biasanya dan mereka juga tidur di tempat yang terpisah. Seminggu lamanya mereka saling diam, dan tak berusaha menyelesaikan masalah dengan bicara dari hati ke hati. Malam itu justru Angga menjawab semua kecurigaan Laras. Ia memberikan kejutan tak terduga saat datang bersama ibunya dan seorang gadis muda ke rumahnya.

"Siapa gadis itu, Mas? Dan ada keperluan apa dia datang ke rumah ini?" Pikiran Laras  mulai kalut. Ketiganya saling melempar senyum yang terlihat sangat menyebalkan bagi Laras.

"Laras, perkenalkan, ini Aluna calon istri kedua suamimu," ucap Bu Intan lantang.

Laras terpelongo. Melirik ke arah gadis yang bernama Aluna itu. Gadis itu justru membalas tatapan Laras dengan seulas senyum, tidak tahu diri!

Laras memang sudah mengetahui jika Angga berselingkuh, tetapi ia belum pernah mengenali wajah selingkuhan suaminya. Karena Laras tak pernah mencari tahu saat suaminya telah bermain api di belakangnya. Hingga wajar saja Laras tak dapat mengenali wajah Aluna.

"Jelaskan apa maksud semua ini, Mas!" Laras menatap nanar suaminya. Berpura-pura terkejut dengan kenyataan jika suaminya telah berlaku serong.

"Sudah jelas bukan? Apa kamu tuli? Aku akan menikahi Aluna dengan atau tanpa persetujuanmu," sahut Angga tegas.

Laras tampak menghela napasnya sesaat untuk menetralkan amarahnya. "Menikahlah! Asal ceraikan aku dulu. Aku nggak sudi dimadu!" ujar Laras tenang namun penuh penekanan di setiap kata yang diucapkannya.

"Tidak! Aku tidak akan menceraikanmu! Sampai kapan pun, Laras," bentak Angga meninggi. Ini kesekian kalinya Laras mendengar bentakan dari mulutnya dalam kurun waktu lima tahun pernikahannya.

"Egois kamu, Mas!" ketus Laras. Wanita itu menatap tajam ke arah ketiga orang yang duduk di hadapannya.

"Sudah! Nggak usah banyak drama kamu, Ras. Terima aja nasibmu punya adik madu!" Bu Intan menimpali tak kalah sengit. Laras melempar senyuman sinis.

"Kalau Ibu jadi aku, apakah akan setuju juga kalau suami ibu minta izin untuk menikah lagi, hm?" Laras bertanya sarkas. Sengaja menyindir ibu mertuanya.

Selama ini dia selalu diam karena begitu menghormatinya sebagai seorang mertua. Tapi sekarang rasanya Laras menyesal. Karena diamnya serasa tak berguna. Satu-satunya hal yang Laras miliki adalah dirinya sendiri. Ia tak akan membiarkan siapa pun merundungnya lagi.

"Kamu...!"

Plakk!

Bu Intan lantas berdiri lalu tanpa ragu melayangkan tamparan cukup keras pada Laras. Wanita itu memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan ibu mertuanya. Ia mendelikkan mata tajam menatap ke arah suaminya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status