Bab 8
"Mas, kamu basah gini kita pulang aja. Nggak usah makan di sini. Yuk!" ajakku yang tak bernafsu untuk makan. Malas jadinya melihat mereka bermesraan, sekarang harus menunggu yang bersih-bersih dan Mas Radit juga bajunya basah.
"Beneran kamu nggak mau makan di sini?"
"Iya lagian bajumu basah."
"Aku bisa ganti di sini kok, kan ada bajuku juga di sini," katanya.
Aku mencebik mendengar perkataan suamiku. Ia memandangku datar.
"Ya sudah, Mas ganti dulu. Tapi kita pulang dari sini."
Mas Radit menurut. Dia hanya berganti pakaian, lalu kami pulang. Aku menunggu Mas Radit di mobil, biar dia yang bicara dengan Seli.
Di perjalanan, aku tak mau bicara. Berharap banget dia memarkirkan kendaraannya ke rumah makan. Mungkin karena melihatku masih mencebik, akhirnya Mas Radit mengajakku makan di salah satu rumah makan favorit kami.
Wajahku langsung semringah, ternyata dia tau perasaanku.
"Asyiiik Mas Radit mengajakku ke sini."
"Iya, kan aku tau seleramu, Dek."
Aku langsung memesan masakan Sunda kesukaanku. Mas Radit ikut saja. Dia juga suka masakan Sunda.
Tak lama datanglah hidangan yang kami pesan. Ada sayur asam, sambal, ikan asin, gurame asam manis. Semua sungguh menggugah selera.
"Yuk, Mas, makan!"
"Iya, kamu duluan."
Mas Radit hanya diam, dia memandangiku yang sedang makan. Aku jadi tak enak kalau dilihat seperti itu. Rasanya kesedihanku hilang dengan makan enak dan berada di samping suamiku.
"Cepat makan, Mas!"
"Iya ... "
Mas Radit menyendok nasi, ia pun makan dengan nikmat.
Setelah puas, aku mengajaknya berbincang. Aku bilang padanya jangan terlalu memanjakan Seli.
"Memangnya kenapa, Dek?"
"Kamu memanjakannya, Mas. Kulihat barang-barang di rumahnya bagus-bagus semua. Sementara aku tak tega mengeluarkan uangku untuk membeli barang-barang sebagus itu," kataku pada Mas Radit.
Dia terdiam. Mungkin merasa kalau aku mengungkit harta kami. Dan memang benar, aku sebagai investor tunggal dari lima toko yang dikelola suamiku. Aku yang memiliki modal, Mas Radit yang mengelola semua. Berawal dari memiliki dua buah toko, sekarang total ada lima toko herbal yang kami miliki.
Kuakui kinerja suamiku bagus, sehingga toko-toko kami berkembang pesat, walau banyak pesaing.
"Iya, Dek. Dia yang memilih sendiri furniture rumahnya."
"Nanti aku minta laporan keuangan toko dilaporkan juga padaku. Jatahmu hanya gaji yang semestinya saja, Mas. Jangan sampai Mas sembarang pakai uang toko," ucapku yang takut kehilangan semua uangku karena perempuan itu.
"Iya. Nanti kamu akan tau semua laporan keuangan. Kalau perlu, kamu saja yang mengelola semua, Kania!" ucapnya dengan nada tinggi.
"Oke. Setelah lahiran nanti aku akan ikut mengelola semua."
Mas Radit diam. Aku mulai menyerangnya lagi.
"Mas harusnya ingat saat dulu dia mencampakkanmu, Mas. Orang tuanya memilih Angga, karena orang tua Angga lebih berada daripada Mas."
Wajah Mas Radit berubah. Ia tampak kecewa. Ya, intinya dia lupa kejadian itu.
"Iya, aku sudah melupakannya, Kania."
"Harusnya kamu ingat itu dan jangan sampai terulang kembali saat kamu dibuang oleh keluarga Seli," ucapku. Entah Mas Radit sakit hati atau tidak dengan ucapanku. Tapi itu fakta, dan ia harusnya tak sembarangan menikahi seseorang yang sudah membuangnya.
"Udah, ah, Dek. Sudah kubilang aku sudah melupakannya. Tak mau mengingat itu. Biar saja kejadian dulu." Mas Radit malas menanggapi peringatanku. "Kamu kenapa sih? Cemburu pada Seli? Nggak usah lah, Dek. Sudah kubilang cintaku padamu takkan pernah berkurang sedikitpun," katanya mencoba merayuku.
Aku mengerutkan kening. Akhirnya kami sama-sama bergeming, sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
***
Aku mengecek m-banking rekening khusus bagi hasil toko yang masuk, Alhamdulillah jumlahnya meningkat. Berarti toko mengalami kemajuan.
'Baiklah, nanti akan ku cek semua, Mas. Agar kau tak sesuka hati memberikan uang pada perempuan itu. Kalau mau punya uang, otomatis dia harus kerja sendiri, jangan ngandelin uangmu aja,' aku bermonolog.
Bab 10Rencana nanti akan kucek perputaran modal di bagian keuangan.Saat bergumam sendiri, tiba-tiba ingat kalau sekarang sudah awal bulan."Mas, mana gajimu bulan ini?" Pagi-pagi di awal bulan aku sudah bertanya mengenai gaji bulanannya."Sebentar ku transfer, ya!" Katanya sambil duduk di sampingku.Dia mentransfer gaji yang didapatnya sebagai pimpinan toko. Lalu aku mengecek m-bankingku.Aku memicingkan mataku ketika melihat angka yang tertera di m-bankingku."Aku dapat segini, Mas?Jangan dikurangi banyak gini dong, Mas! Harusnya Mas cari saja tambahan lain buat nafkahin Seli, bukannya memotong jatahku." Aku kecewa dibuatnya."Maaf, Dek. Kan tau sendiri, kemarin sudah terpakai buat sewa rumah dan beli isi rumah. Aku pinjam sebagian ke toko, makanya sekarang tinggal sisanya." "Duh, Mas. Pokoknya bulan depan jatahku harus sama. Nggak boleh dikurangi. Kalau buat Seli, pakai saja jatahmu. Mulai sekarang aku akan memikirkan diriku dan anakku, Mas!""Kamu nggak memikirkanku?""Masih, ha
Aku kenal suara yang datang. Ternyata Ibu Mertua yang datang. Dia datang sendiri diantar sopir. Ibu mertuaku kaya, suka sombong, tapi pelit. Makanya Mas Radit selalu nampak sederhana. Tak pernah menggunakan uang darinya.Orang tua Seli pun dulu tak percaya kalau Radit anak orang kaya, karena penampilan dia selalu sederhana. Taunya Angga yang kaya, sehingga hubungan mereka tak direstui."Assalamualaikum. Radit, Kania. Aku datang ini." Ibu Mertua selalu terlihat rempong."Iya, Bu. Sebentar." Radit membukakan pintu untuknya."Owalah kamu, Nak. Lama sekali bukanya. Mana Kania menantu Ibu yang cantik dan baik hati?" "Ini, Bu. Ibu gimana kabarnya, sehat?""Alhamdulillah sehat. Kamu gimana kehamilanmu?""Alhamdulillah sehat juga, Bu."Terlihat ibu sejak datang tak menyapa Mas Radit. Dia malah mencariku. Entah apa yang dipikirannya.Bu Rani, nama Ibunya Mas Radit. Sekarang Ibu duduk di sebelahku. Dia mengelus kandunganku. "Duh, ibu sudah nggak sabar nunggu kelahiran bayi ini. Mudah-mudahan
"Kamu sakit kepala gara-gara Ibuku kan?"Aku mengangguk. Mas Radit memelukku. "Maaf ya, Sayang. Ibuku memang gitu selalu saklek. Nanti kucoba komunikasikan lagi padanya.""Baik, Mas." Aku menyetujuinya."Sekalian Mas mau bilang pada Ibu kalau Mas sudah menikah lagi. Takutnya Ibu tau dari orang, nanti malah marah padaku.""Ya udah, Mas. Gimana baiknya saja." Aku setuju.Kuberharap Ibu Mertua menolak pernikahan kedua suamiku.***Malam ini, kami sedang bercengkrama di ruang TV. Mas Radit akan memulai percakapan serius dengan Ibunya."Bu, maaf Radit mau jujur sama Ibu.""Ada apa, Nak?""Radit sudah menikah lagi, Bu."Ibu yang terlihat sudah mengantuk, tiba-tiba matanya terbuka lebar kembali. Ia memandang anaknya dengan tatapan tak percaya."Kenapa bisa seperti itu? Ibu nggak setuju! Dimana muka ibu simpan nanti kalau orang-orang tau anak Ibu poligami?"Radit menelan salivanya. Ia gugup untuk melanjutkan bicaranya, tapi ia mengumpulkan semua kekuatannya."Bu, poligami yang Radit lakukan
Siang ini, Ibu Mertua mengajakku ke rumah Seli. Lalu aku mengantarnya ke sana. Perjalanan ditempuh sekitar satu jam, walau sama-sama Bogor, tapi perjalanan dari Kota ke Kabupaten cukup jauh.Di sini, Bu rumahnya. Yang cat warna kuning itu." Aku menunjuk salah satu rumah tak jauh dari kami. "Eh, udah ada mobil Mas Radit. Kok jam segini sudah pulang aja dari toko?" Aku melihat jam yang masih menunjukkan pukul dua siang."Keterlaluan ya Radit! Memangnya tokonya dekat dari sini, Kania?"Iyaa, dekat. Mungkin Mas Radit langsung ke sini.""Yuk, kita turun!" ajak Ibu.Ibu Mertua membukakan pintu mobilku untuk segera turun. Sebenarnya aku tak mau berurusan dengan Seli, apalagi ada Mas Radit di sana, mereka pasti sedang bermesraan. Tapi berhubung Ibu memaksaku, aku ikut mengetuk rumahnya."Assalamualaikum." Kami mengucapkan salam di depan, tak ada jawaban."Sepertinya di dalam, suamimu sedang bercanda dengan perempuan itu," sahut Ibu sambil memasang kuping di tembok rumah Seli.Kami pun mencoba
"Mas, kamu tega menceritakan semua pada Seli. Apa maksudmu menceritakannya pada dia? Kamu puas, Mas?" Aku bicara pada Mas Radit yang memperlihatkan wajah marahnya.Aku melihat ke arah ibu."Bu, Kania tak bermaksud membohongi Ibu. Ini semua rencana Mas Radit. Kemarin saat ibu bertanya, Kania sudah mau menjawab jujur kalau hasil USG anak kami perempuan. Tapi, Mas Radit yang meyakinkan Ibu kalau anak kami laki-laki. Maafkan Kania, ya, Bu!"Ibu masih diam mematung. Aku menghampirinya, lalu berjongkok di hadapan Ibu. Ibu tetap bergeming."Jika memang Ibu tak mau menerima anakku sebagai cucu, maka mulai saat ini aku akan mengajukan cerai padamu, Mas! Bolehkah?"Mas Radit mengambil kedua tanganku untuk berdiri. Aku tak mau, tetap berjongkok, meminta maaf pada Ibu agar Ia memaafkanku.Kemudian posisi kami sejajar, ia menatapku dalam. Aku pun demikian."Tidak, aku takkan pernah menceraikanmu!"Aku tak terima, aku pun berlari ke luar. Mas Radit belum bisa mengejarku. Ia harus berpakaian dulu. S
"Bang Haris." Aku memanggilnya. "Iya, Kania. Ini aku. Selamat ya, anakmu cantik. Aku sudah lihat tadi di ruang bayi. Ini kubawakan buah-buahan untukmu biar cepat sehat." Bang Haris menyimpan buah-buahannya di atas nakas."Terima kasih, Bang. Nggak usah repot-repot.""Aku bersalah padamu. Maaf aku tak lihat-lihat saat itu." Bang Haris menarik kursi untuk ia duduki di samping ranjang."Iya, Bang. Nggak apa-apa. Sudah semestinya terjadi." Kukatakan apa yang ada dalam pikiranku saat ini.Bang Haris seperti mencari sesuatu. Matanya menyapu ke semua sudut ruangan."Kenapa, Bang?" Aku bertanya karena penasaran dengan sikapnya. Ia mencari apa kira-kira?"Suamimu mana, Kania?" tanyanya. Ternyata ia mencari Mas Radit. Mungkin ia kasihan padaku saat ini."Nggak tau, Bang. Mungkin sedang keluar," jawabku."Kamu sedih? Harusnya senang karena mendapat seorang putri yang cantik." Bang Haris berceloteh.Aku mengulas senyum. Tak mungkin kuceritakan kalau aku tak bahagia. Bisa-bisa orang tuaku tau dar
Kemudian kuambil gawai itu. Ternyata panggilan dari Seli. Kubuka pesan di aplikasi hijau.[Aa cepat. Aku sudah nggak sabar menunggumu. Jadi kan kita ke toko Mas?]Jadi mereka janjian akan ke toko Mas? Aku skroll pesan sampai ke bawah. Ternyata Seli minta dibelikan pengganti mas kawin. [Saat akad kemarin kan Aa hanya memberikan uang tunai seratus ribu rupiah. Aku ingin tambahan mas kawin.][Mau dibeliin apa, Sayang?][Seperangkat perhiasan emas. Kalung, cincin dan anting, Aa Sayang.][Banyak amat, Neng?][Sebanyak cinta Neng buat Aa. Jadi Aa pun harus ngasih banyak buat Neng.][Tapi nanti ya Neng, Kania harus pulang dulu sekarang.][Pokoknya Aa janji, setelah mengantar Kania pulang, Aa harus ajak Neng ke toko mas. Neng selama ini belum minta macem-macem ke Aa. Tapi Aa udah Neng kasih semua.][Iya deh, Neng. Aa bakal bahagiain Neng seperti Aa bahagiain Kania. Kalian berdua sama-sama berharga di hati Aa.][Iya, A. Neng percaya. Ditunggu ya, A. Neng cinta sama Aa.]Sungguh, Seli sudah ke
"Assalamualaikum, teh. Teteh udah lahiran ya? Kok nggak bilang-bilang sama Mama?" Mama bertanya di telepon."Udah Ma, tiga hari yang lalu. Itu juga ngedadak, Ma. Tanpa persiapan.""Kok bisa gitu sih, teh? Pasti ada penyebabnya kalau lahiran lebih cepat dari perkiraan." Mama mulai curiga."Nggak ada apa-apa, Ma. Cuma pengen keluar cepet aja dedek bayinya. Alhamdulillah Kania udah di rumah, Ma. Doakan agar Kania cepet pulih ya, Ma!""Iya, Teh. Mama selalu doakan kamu. Nanti Mama ke sana ya. Ada acara apa nanti di rumahmu? Aqiqahnya kapan?""Belum tau, Ma. Nanti Kania tanya sama Mas Radit dulu, ya!""Iya, sok tanyain. Insya Allah nanti Mama bawa simping yang banyak buat Radit. Dia kan doyan simping dari sini.""Iya, Ma. Banyakin yang rasa kencur ya, Ma!""Iya, teteh. Mau dibawain apa lagi? Nanti Mama buatin galohgor ya, kamu makan itu. Anggap aja cemilan. Bagus buat ibu baru lahiran," kata Mama."Iya, Ma.""Udah ya, Teh. Mama mau nerusin masak dulu. Teteh ada yang bantuin kan di rumah?"