Bang Haris membawaku ke tempat lain. Katanya agar aku bisa bersilaturahmi dengan orang-orang yang pernah mengisi hidupku.Pertama kami ke rumah Mas Radit. Saat ini rumahnya sederhana sekali. Kata Bang Haris, dia bekerja di toko herbal sainganku.Aku dan Bang Haris turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumahnya."Assalamualaikum. Permisi.""Waalaikumsalam." Terdengar suara dari dalam.Mas Radit terkejut melihat aku dan Bang Haris datang. "Mas, gimana kabarnya?" Bang Haris menyalami Mas Radit."Baik. Ayo masuk yuk ke dalam," kata Mas Radit."Nggak usah, kita di sini saja, Mas!" jawabku.Kami duduk di kursi yang tersedia di luar. Mas Radit ke dalam untuk sekedar mengambilkan air putih untuk kamu."Oh, ya sudah. Maaf ya rumahku sekarang amat sangat sederhana," sahut Mas Radit. Sesekali ia menunduk, mungkin merasa tak pede saat ini."Nggak apa-apa, Mas. Bisa diusahakan lagi," kata Bang Haris.Mas Radit mengangguk pelan."Ada angin apa nih pada ke sini sekarang?" tanyanya."Mau silaturahmi
"Di rumahmu aja, Kanda. Ini nanti dikontrakkan saja," ucapku."Okey. Kita harus mulai pindahan. Eh, tapi barang-barangnya gimana, nih? Masa mau ditimpa?""Di jual saja gimana?""Kania, aku ada usul untukmu. Bagaimana jika dijadikan pusat toko-tokomu. Jadi kamu bisa jualan juga di sini," usul Bang Haris.Aku mengangguk."Boleh juga usulnya!"Aku langsung membuat rencana ke depan. Jika jadi, ini menjadi cabang ke tujuh kami.***Rumahku menjadi toko herbal pusat plus kantor. Ternyata seru juga punya kantor sebelahan dengan rumah. Aku tak harus lama-lama di jalan."Kanda, terima kasih, ya! Atas usulmu, sekarang usahaku semakin berkembang. Banyak yang beli juga di sekitar sini.""Sama-sama, Dinda. Kamu adalah segalanya bagiku. Apa sih yang enggak buat kamu?""Ah, Kanda bisa aja!"Dia langsung mengecup dahiku. "Sayang, aku kan selalu mencintaimu.""Percaya, deh, Sayang!""Makasih ya, Dinda!""Sama-sama, Kanda!"***Hari ini Bang Haris libur nggak ada jadwal di rumah sakit maupun di tempat
Aplikasi hijauku berbunyi. Kubuka pesan yang masuk. Dari sepupuku di Bandung. Dia mengirimkan sebuah video padaku.'Deg.' Aku tersentak saat melihatnya.Video itu berisi akad nikah suamiku di sebuah ruangan, tapi entahlah itu ruangan apa. Ternyata sebuah kamar di rumah sakit.'Ya Allah, Mas Radit. Kamu menikahinya!' sontak mulut ini ditutup oleh telapak tangan kananku.Tak lama ia kirimkan lagi video Mas Radit sedang resepsi di pernikahan itu. Gawai ini tak kuasa terpegang lagi olehku, aku terkulai lemas menepi di pojok kamarku.Hati ini terasa teriris melihat video itu. Pernikahan Mas Radit dengan Seli. Tapi ... bukannya Angga yang menikahi Seli? Kenapa malah suamiku yang jelas-jelas sudah punya istri.Aku menangis tersedu sembari mengelus-elus jabang bayi yang ada di kandunganku. Saat ini aku sedang mengandung usia delapan bulan, dan ini anak pertama kami.Suara telepon membuatku terperanjat."Halo, Kania. Kamu nggak ke
Mas Radit dan Seli berjalan menuju pintu. Aku menghela napasku terlebih dahulu agar merasa tenang. Ku seka sisa-sisa air mata ini agar tak terlihat aku habis menangis."Assalamualaikum, Dek!" Suamiku memanggil dari luar."Waalaikumsalam, iya Mas. Sebentar!" sahutku.Terlihat wajahnya yang redup, kurasa Mas Radit sedang capek.Ku pasang ekspresi sebiasa mungkin menghadapi mereka. Mas Radit menatap wajahku, kami saling berpandangan sesaat. Aku langsung tersadar, lalu mengambil tangannya untuk kusalami."Eh, kok Mas ke sini dengan Seli?""Sebentar, Dek. Biarkan Seli duduk dulu, ya. Kamu sekarang siapkan minum dan makanan buat Seli. Kasian dia sudah perjalanan jauh," kata Mas Radit.Aku menghela napas kembali. Dada ini rasanya gemetar, Mas Radit masih belum menjelaskan semua. Aku diminta memberinya makanan?Aku bergeming di tempatku."Dek, kamu kenapa? Tolong buatkan minum dulu. Aku juga capek," katanya lagi."B
Aku kembali ke kamar. Mas Radit ternyata sudah tertidur. Aku pandangi wajahnya yang biasa kujahili kalau dia tidur. Tapi sekarang, rasanya tak mood untuk melakukannya.Kutinggalkan saja dia sendiri di kamar, biar ku tidur di sofa saja. Di satu sisi aku kasihan padanya, di sisi lain rasanya ingin marah saja kalau berada di sebelahnya.Aku juga harus siap dengan pernyataan suamiku nanti dan mengambil keputusan apakah tetap di sisinya atau akan pergi meninggalkannya.***Aku terbangun karena merasakan sentuhan di kedua pipiku. Ternyata Mas Radit sudah bangun dan baikan."Eh, Mas. Udah sehat?" tanyaku."Alhamdulillah udah baikan. Kamu kenapa tidur di sini?" tanyanya."Oh ... Mungkin ketiduran setelah menerima telepon, Mas."Mas Radit mengambil kedua tanganku agar aku segera bangun. Aku menyambut tangannya, lalu bangkit dari sofa."Terima kasih, Mas," kataku tanpa senyuman."Kok kamu masih cemberut? Mas lihat dar
"Kania ... kamu nggak apa-apa kan?"Ketika ku buka pintu, Lia langsung menanyaiku."Ya Allah, Lia sepupuku yang baik hati. Sepagi ini kamu dah sampai Bogor. Aku nggak apa-apa, Lia! Hanya hatiku yang sakit. Ayo masuk!" ajakku pada Lia.Aku dan Lia duduk di ruang tamu, kami berdampingan.Iya. Aku beli ini makanan kesukaanmu. Sengaja beli, biar kamu ngemil. Kayanya kamu bakal nggak napsu makan," ujarnya sok tau."Iya, Lia. Makasih ya. Aku masih mau makan kok, Li. Hanya aku bingung ke depan seperti apa."Coba kamu ceritakan bagaimana Radit membawa Seli ke sini?""Sebentar, aku mau kasih kamu minum. Kamu pasti capek!"Nggak usah, aku ambil aja nanti ke belakang. Lagian ini ada air mineral gelas, aku minum ini aja!" katanya setelah melihat minuman itu di meja.Aku pun setuju, lalu mulai bercerita."Iya, kemarin Mas Radit membawa Seli ke rumah. Tapi mereka pergi lagi, Mas Radit mencarikan Seli kontrakan
Mas Radit tak pulang pagi-pagi. Mungkin dia langsung ke toko. Baiklah Mas, tak apa-apa, aku sangat tau kesibukanmu.Aku mencoba mengafirmasi kalimat-kalimat positif. Kalimat-kalimat itu kutulis di kertas, lalu kutempel di cermin. Saat memandang cermin di depanku, aku membaca semuanya dan mengafirmasi kalimat-kalimat itu."Kamu harus kuat, Kania!""Kamu berharga!""You are amazing!"Itulah kalimat-kalimat yang kutuliskan di cermin. Semoga menjadikan diri ini lebih baik dan lebih bisa menyingkirkan hal negatif.Saat sedang sibuk mengafirmasi diri, tiba-tiba gawaiku berbunyi."Halo Kania, Sayang. Maaf, Mas belum bisa pulang. Mas sudah di toko sekarang. Insya Allah nanti pulang lebih cepat, karena toko lainnya tak perlu Mas kunjungi hari ini," katanya penuh semangat."Iya, Mas.""Kamu tunggu ya, Sayang. Mas kangen deh sama kamu. Sehari nggak ketemu rasanya seperti setahun. Tunggu Mas di rumah ya, Sayang!""Iya, Mas."
Aku menghela napas kasar. Pernyataan suamiku membuatku terpancing."Mas, aku juga butuh kamu. Walau segala kebutuhan sudah kau penuhi, tapi aku merasa kosong jika kamu lebih mementingkan Seli daripada aku, Mas! Aku terluka," kataku jujur."Kania ... Selama ini ku lihat kamu wanita yang kuat, Kania. Berbeda dengan Seli yang mudah rapuh. Jadi maafkan atas kesalahanku. Mudah-mudahan aku bisa adil dengan kalian berdua. Kamu masih mencintaiku, kan Sayang?"Aku diam, walau masih cinta, untuk saat ini aku tak mau menjawab pertanyaannya. Harusnya Mas Radit tau dengan sikap seperti ini, berarti aku memang mencintainya.Mas Radit mengulang pertanyaannya, "Apakah kamu masih mencintaiku, Dek? Jawab Kania, aku menunggu jawabanmu sekarang.""Aku masih mencintaimu Mas, tapi sejak Selly ada, aku merasa kamu sudah berubah, tidak seperti dulu lagi," jelasku."Sayang, aku tak mau kehilanganmu. Aku janji, kalau hal kemarin tak membuatmu bahagia, aku