Share

Akupun Memaafkannya

Aku menghela napas kasar. Pernyataan suamiku membuatku terpancing.

"Mas, aku juga butuh kamu. Walau segala kebutuhan sudah kau penuhi, tapi aku merasa kosong jika kamu lebih mementingkan Seli daripada aku, Mas! Aku terluka," kataku jujur.

"Kania ... Selama ini ku lihat kamu wanita yang kuat, Kania. Berbeda dengan Seli yang mudah rapuh. Jadi maafkan atas kesalahanku. Mudah-mudahan aku bisa adil dengan kalian berdua. Kamu masih mencintaiku, kan Sayang?"

Aku diam, walau masih cinta, untuk saat ini aku tak mau menjawab pertanyaannya. Harusnya Mas Radit tau dengan sikap seperti ini, berarti aku memang mencintainya. 

Mas Radit mengulang pertanyaannya, "Apakah kamu masih mencintaiku, Dek? Jawab Kania, aku menunggu jawabanmu sekarang." 

"Aku masih mencintaimu Mas, tapi sejak Selly ada, aku merasa kamu sudah berubah, tidak seperti dulu lagi," jelasku.

"Sayang, aku tak mau kehilanganmu. Aku janji, kalau hal kemarin tak membuatmu bahagia, aku kan memperbaikinya. Sekarang, kamu buka pintunya. Biar aku memelukmu. Aku takkan menyakitimu lagi, Dek!" Mas Radit terus membujukku.

"Baiklah, Mas. Aku buka pintunya. Tapi, kamu janji ya jangan seperti kemarin lagi, aku tak sanggup ditinggalkan olehmu, Mas!" Aku membuka pintu kamar, lalu berhambur memeluknya. Mas Radit memelukku erat.

"Mas janji takkan pernah meninggalkanmu, kecuali memang jadwal Mas di sana. Meski ada Seli, Mas tetap mencintaimu. Cinta ini tak berkurang, Dek. Kamu percaya, kan?" Mas Radit mengangkat daguku dengan kedua telapak tangannya. 

Mata kami saling bertemu, terlihat kejujuran dari pancaran kedua matanya. Aku percaya itu. 

Mas Radit mengec*pku lembut, lalu kami sama-sama merengkuh manisnya cinta. Mas Radit sangat manis memperlakukanku. Ya, dia memang orang yang lembut.

***

Seusai menunaikan ibadah bersama, kami saling bercerita dibalik selimut.

"Mas, semalam perutku mengalami kontraksi palsu. Tolonglah, Mas harus menjadi suami siaga saat aku hamil besar seperti ini." Kutumpahkan uneg-unegku saat dia tak di sisiku.

"Bagaimana ya, cara mensiasatinya menurutmu, Dek? Atau kita cari ART saja, kalau aku sedang di kontrakan Seli, takutnya kamu seperti semalam. Gimana menurutmu? Aku nggak mau kamu dan bayiku kenapa-napa," kata Mas Radit.

"Mmm ... Boleh Mas. Tapi, Mas. Untuk pembagian jadwal itu bagaimana? Mas sudah dua malam di sana, berarti Mas juga harus dua malam di sini. Atau justru aku yang harus lebih diperhatikan, Mas! Dalam seminggu, Mas di sini lima malam, di sana hanya dua malam. Gimana?" usulku sambil memegang kedua pipinya.

"Duh, istri Mas manja sekali. Kayaknya rindu sekali dengan Mas. Baiklah sayang, karena kamu sedang hamil besar, aku ikuti maumu. Lagian kalau ditotal sudah empat malam kita tak bersama. Aku sangat kangen padamu," katanya sambil kembali mendekatiku.

"Kenapa, Mas?"

"Lagi, yuk!"

Saat kami akan memulai, perutku kembali kesakitan. 

"Mas, aku kontraksi palsu lagi sepertinya. Perutku tegang, Mas." Aku merasa kesakitan. 

Kusenderkan badanku di ranjang, lalu mengatur napas sehingga lebih teratur. Mas Radit ke dapur, katanya mau mengambilkan air hangat untuk diminum.

Aku meminum air hangat tersebut. Mas Radit membawakan juga cemilan. Alhamdulillah semua mereda dan lebih lega.

"Makasih, Mas. Udah mendingan sekarang," kataku.

Mas Radit lalu mengelus perutku.

"Dedek Sayang, udah nggak sabar ya mau melihat Ayah dan Bunda? Sabar ya sayang, sekarang belum waktunya. Insya Allah nanti kita ketemu, ya!" Ternyata sang bayi merasakan sentuhan Ayahnya. Ia bergerak-gerak di dalam, menyundul tangan Mas Radit hingga dia merasa bahagia direspon bayi kami.

"Dek, dia gerak-gerak. Katanya iya." Mas Radit semringah.

"Iya, Mas. Dia selalu merespon apa yang kita katakan."

Mas Radit lalu mengingat sesuatu. 

"Dek, hari ini kita USG ya, kan waktu bulan kemarin belum jelas laki-laki atau perempuan. Yuk kita ke dokter!" ajaknya.

"Iya, Mas. Aku buat jadwal dulu ya sama dokter. Mudah-mudahan dokter Farah praktek hari ini."

"Iya, Mas mandi duluan, ya!"

"Iya, Mas."

Aku tak tinggal diam, aku langsung ke dapur menyiapkan makan siang untuk kami. Hari ini hari Jumat, jadwal libur di toko. Jadi, kami akan kontrol nanti sekitar pukul satu siang.

***

"Sepertinya bayinya perempuan nanti, Bu, Pak. Tuh lihat di sini tak ada tanda kalau dia laki-laki," kata Dokter Farah yang sedang meng-USG.

"Masya Allah, Alhamdulillah. Terima kasih, Dok! ucapku. "Gimana, Mas?" Aku menoleh pada Mas Radit.

"Eh, oya perempuan ya? Iya ... Nggak apa-apa, yang penting sehat," kata Mas Radit.

"Iya, Dok. Kata suami saya yang penting sehat."

"Bu, kontrolnya seminggu sekali ya kalau menjelang persalinan seperti ini! Alhamdulillah posisi dedek sudah pas. Mudah-mudahan dia nggak muter lagi," ucap Dokter Farah.

"Iya, Dok. Terima kasih, ya!"

"Sama-sama, Bu. Jangan lupa diminum vitaminya agar HB-nya tinggi, karena HB ibu ketika tes tadi rendah." Dokter menasehatiku.

"Baik, Dok. Kami permisi dulu, ya!" 

Saat menunggu obat, Mas Radit menerima telepon. Ia terlihat resah setelah menerimanya. 

"Dek, habis ini kita ke kontrakan Seli dulu, ya. Dia katanya nggak bisa pasang gas dan galon. Biar aku ajarin dulu dia." Mas Radit akhirnya mengungkapkan keresahannya.

"Bukannya dari kemarin sudah Mas urusin?"

"Udah, Dek. Tapi sepertinya udah habis air galon dan gasnya," jawab Mas Radit.

Aku berpikir sejenak, lalu aku menganggukkan kepalaku. Ia tersenyum dan berterima kasih.

'Huh sampai segitunya Seli. Bisa-bisanya hubungi Mas Radit buat hal sepele seperti itu,' batinku.

Tak lama, namaku dipanggil. Obat sudah kudapatkan. Lalu kami pergi menuju kontrakan Seli.

Ketika dijalan, aku merasa perut ini keroncongan. Sudah laper lagi rasanya, padahal baru tadi siang diisi.

"Mas, cari tempat makan dulu, yuk!"

"Nanti saja makan di kontrakan Seli. Katanya dia habis masak."

"Gasnya habis gitu kok habis masak, Mas?"

"Iya, justru habisnya setelah dia selesai masak, katanya, Dek!" 

Aku tak asing sekali ke daerah ini. Kontrakannya ternyata dekat dengan salah satu toko Mas Radit. 

'Pantas saja, dia biar sekalian mampir ke sini,' batinku.

Kamipun tiba di kontrakan Seli. Mas Radit turun lebih dulu, aku masih mencari sandalku yang kulepaskan saat duduk tadi.

Kulihat Seli langsung berhambur memeluk Mas Radit. Mas Radit tak berlama-lama memeluknya, ia lepaskan. Lalu kembali ke mobil, untuk membuka pintu mobil untukku.

Seli terbelalak karena aku ikut dengan Mas Radit. Sepertinya suamiku tak bilang padanya kalau aku akan ikut. Lalu kugandeng tangan suamiku untuk masuk ke dalam kontrakan lumayan besar itu.

"Bagus juga kontrakan ini!" kataku. "Berapa setahun ini, Mas?"

"Dua puluh juta," jawabnya.

"Wow ... Mahal juga, ya!"

"Silahkan duduk, Kania, Aa Radit!" katanya.

"Kamu dipanggil Aa, Mas?" Aku tersenyum mendengar panggilan Seli.

"Iya, biar nggak sama," jawab suamiku.

"Okey." Aku mengangguk.

Kulihat barang-barang di rumah Seli bagus-bagus. Kursi, lemari, nakas, televisi, sampai penanak nasi menggunakan barang-barang berkualitas. Luar biasa Seli ini seleranya.

Saat Seli sedang bersama kami, tiba-tiba dia muntah-muntah ke belakang. 

"Mas, kenapa Seli? Hamil? Kan baru nikah seminggu ini sama Mas?" tanyaku.

Mas Radit melebarkan matanya.

Bersambung

Comments (1)
goodnovel comment avatar
syamsinar 70
istri kayak ini cuma ada di kisah ini, ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status