Share

SAHABAT MBAK LUNA

"Ray, bisa ke tempat bapak sekarang nggak?" suara Mbak Luna dari seberang telepon. 

 

"Ada apa Mbak? Bapak sama ibu nggak kenapa-napa kan?" tanyaku cemas.

 

"Nggaak! Udah Kamu kesini aja, aku mau ngajak Kamu ke suatu tempat. Cepet ya? Aku tunggu." 

 

Dan sebentar kemudian aku pun sudah siap dengan motor melaju ke rumah orang tuaku. 

 

Sesampainya disana, Mbak Luna sudah menungguku di teras rumah, duduk santai bersama ibu. 

 

"Kalian berdua ini mau kemana sih? Kok tumben kompak banget. Kemarin pergi berdua, sekarang berdua," tanya ibu penasaran. 

 

"Ada deh Bu, bisnis penting," sahut Mbak Luna santai. "Yuk, langsung cabut, Ray. Aku nggak bisa sore-sore pulangnya. Mas Denny nanti nyariin aku," katanya lagi. Aku mengangguk tanpa banyak bicara. Meskipun sebenarnnya aku bingung kemana kakak perempuanku ini akan mengajakku, tapi aku menurut saja saat dia menyuruhku memakai helm.

 

"Bu, titip Keanu bentar ya," pintaku pada ibu sebelum kami berdua berlalu pergi. 

 

***

 

Setengah jam kemudian aku baru mengerti jika Mbak Luna ternyata melajukan motornya ke arah kantor Mas Arman. 

 

"Mbak, kita mau kemana sih?" 

 

"Kantor suami kamu," sahutnya.

 

"Ngapain?" tanyaku keheranan karena ini sangat tiba-tiba.

 

"Udah lah, diem dulu. Nanti kamu juga tau."

 

Aku tak lagi banyak bicara setelah itu. Namun baru merasa aneh saat kami sudah mendekati kantor Mas Arman, Mbak Luna justru berbelok ke samping lalu berputar ke arah belakang gedung kantor. Dan kemudian berhenti tepat di depan sebuah warung kopi yang ada persis di belakang kantor itu.

 

"Kok kesini, Mbak? Kita mau ngapain? Buntutin Mas Arman lagi?" tanyaku sedikit berbisik. Takut kalau-kalau ada seseorang di dekat kami yang mengenal Mas Arman melihatku. 

 

"Hei, Lun! Sini!" suara seseorang memanggil kakakku. Bahkan sebelum sempat dia menjawab pertanyaanku yang nerocos tadi. 

 

Seorang laki-laki berseragam serba hitam berdiri di dekat salah satu bangku warung kopi sedang melambaikan tangan ke arah kami. Mbak Luna segera menyeretku mendekati orang itu. 

 

"Hei, Lang. Kukira kamu lupa sama aku?" Mbak Luna terkekeh saat kami sudah mencapai orang tersebut.

 

"Haissh! Mana mungkin lupa sama kamu, Lun." Lelaki itu dan Mbak Luna nampak berjabat tangan sangat akrab, lalu bersalaman dengan kode 'entahlah' aku sendiri tak mengerti. 

 

"Gimana? Gimana? Ada yang bisa kubantu?" tanya lelaki itu setelah menyuruh kami berdua duduk dan memesankan dua cangkir kopi. 

 

Aku duduk dengan ragu, sesekali menengok ke kanan dan ke kiri Ada perasaan cemas kalau-kalau ada seseorang yang mengenaliku di sekitar situ.

 

"Nggak usah cemas, Mbak. Orang kantor nggak biasa makan disini kok, ini tempat makan khusus pegawai rendahan kayak saya," kata lelaki berperawakan tinggi kurus berkulit sawo matang dan berwajah jenaka itu padaku sambil terkekeh. Kemudian ditimpali kekehan juga oleh Mbak Luna.

 

"Gayamu, Lang! Sopir pribadi direktur bilangnya pegawai rendahan." Mbak Luna menonjok pelan sang sahabat hingga mereka berdua tergelak bersama.

 

Aku menatap lelaki yang kata Mbak Luna bernama Gilang itu dengan sedikit heran. Darimana dia tahu kalau aku sedang cemas memperhatikan sekeliling?

 

"Tenang Ray, Gilang ini bisa dipercaya. Dia sahabatku di karate dulu. Aku sudah cerita garis besarnya sama dia. Insya allah dia bisa bantu. Ya kan, Lang?" Mbak Luna mengedipkan mata ke arah Gilang. 

 

"Bantu apa dulu nih? Kalau kasih-kasih info aja sih insya allah aku bisa, Lun. Tapi kalau bantu finansial, nah itu yang susah," kelakar lelaki itu, membuat aku dan Mbak Luna sontak terbahak. 

 

"Jadi seperti yang aku ceritakan semalam di telepon, Lang. Ini adik aku, Raya. Dia lagi nyelidikin suaminya, kayaknya ada main deh sama atasannya."

 

"Suaminya Raya namanya siapa?" tanya Gilang.

 

"Arman, Mas. Arman firmansyah."

 

"Kamu kenal, Lang?" tanya Mbak Luna.

 

"Tau sih, tapi nggak kenal. Banyak kan karyawan disini soalnya. Bagian pemasaran kan?" tanya lelaki itu mencoba meyakinkan. Aku dan Mbak Luna mengangguk bersamaan.

 

"Kalau managernya. Siapa kemarin Ray namanya?" Mbak Luna menoleh ke arahku.

 

"Anggita Mardiana," sahutku.

 

"Bu Anggi? Manajer pemasaran?" Lelaki itu justru menebak.

 

"Iya Mas, itu."

 

"Kalau itu nggak ada yang nggak kenal. Dia janda. Siapa yang nggak tau dia di kantor ini. Huuu .. seksi dia, cuy," kata lelaki bernama Gilang itu berkelakar lagi pada kakakku.

 

"Jadi gimana? Aku bisa bantu apa?" lanjut lelaki itu bertanya.

 

"Mereka berdua bisa gak sih dilaporin gitu, Lang? Kalau misal ada affair di perusahaan gitu, bisa nggak dilaporin?"

 

"Nggak tau juga sih, Lun. Belum pernah tau kejadian yang kayak gini soalnya aku. Coba deh nanti aku tanya boss dulu. Tapi, itu beneran mereka punya affair? Bukan cuma tuduhan kan?" tanya si lelaki.

 

"Beneran gila. Masa' aku bohong? Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri pas aku buntutin, Cuy," jelas Mbak Luna.

 

"Wahhh, hebat donk Kamu, Lun. Cita-citamu jadi detektif akhirnya kesampaian juga." Gilang tertawa keras.  

 

"Ya gimana ya, demi adek. Gak rela dong harga diri adekku diinjak-injak sama lelaki begituan," sungut Mbak Luna.

 

"Ya udah gini aja. Nanti aku tanya boss dulu. Kalau memang bisa dilaporin dan bisa membuat mereka dipecat, nanti aku kabarin. Tapi kalau sampai dipecat bukannya Raya malah rugi nanti? Suaminya nggak kerja lagi dong ntar." Lelaki itu nampak terdiam, menimbang sambil menatapku. 

 

"Yaa minimal, ada ganjaran lah buat mereka berdua itu, Lang. Enak bener kalau dibiarin."

 

"Oke, oke. Nanti aku cari infonya dulu, Lun. Segera kukabari kamu."

 

"Jangan ember ya, Lang? Jangan sampai beritanya nyebar di kantor duluan sebelum kita bikin jera dua orang itu.," kata Mbak Luna.

 

"Lah ... kayak nggak kenal aku aja Kamu, Lun."

 

"Oke, oke. Aku percaya kok Lang sama Kamu. Thanks ya. Hubungi aku nanti untuk kelanjutannya."

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status