Share

MEMBUNTUTI SUAMI

"Sebenernya kita nih ngapain sih Ray disini? Yuk pulang yuk, gerah tauk siang-siang pake beginian." 

 

Mbak Luna mulai ngomel. Tadi memang aku memaksanya untuk mengantarku karena kebetulan dia sedang ada di tempat orang tua kami untuk berkunjung. 

 

Setelah menitipkan Keanu ke ibu, aku langsung mengirim pesan ke Mas Arman.

 

[Hari ini pulang jam berapa, Mas?]

 

[Biasa Ray, jam 5, kenapa?]

 

[Nggak papa. Cuma tanya kok.]

 

Dan aku harus sampai di sana sebelum Mas Arman pulang. Kuseret Mbak Luna untuk memboncengkanku motor ke kantor Mas Arman, bahkan aku pun belum sempat memberitahunya apa yang akan kami lakukan disana. 

 

Sesampainya di dekat kantor Mas Arman, aku mengajak Mbak Luna nongkrong di depan minimarket yang kebetulan berada tak jauh dari kantor suamiku itu. Sengaja aku menyuruh kakakku memakai jaket hoodie dan masker saat kami berangkat tadi.

 

Bisa dibayangkan betapa rewelnya dia kusuruh pake kostum begitu. Jiwa bebasnya sontak meronta-ronta. Tapi biarlah aku tak punya pilihan lain selain minta bantuannya. 

 

"Udah Mbak jangan rewel aja. Tolonglah adikmu ini sekali saja, pliss," pintaku memohon.

 

"Iya, tapi setidaknya bilang dulu lah ini kita mau ngapain? Kayak detektif gini di depan kantor suamimu. Kenapa sih Ray? Si Arman selingkuh?" todongnya.

 

"Sepertinya begitu, Mbak."

 

"Serius kamu, Ray? Kurang apa Kamu memangnya? Bisa bisanya ya dia. Tapi, Kamu tau dari mana dia selingkuh? Atau jangan-jangan perasaanmu saja?"

 

"Nggak mungkin, Mbak. Banyak hal aneh yang aku temui akhir-akhir ini dari Mas Arman."

 

"Kalau gitu ceritakan dulu. Baru aku mau bantu."

 

Akhirnya dengan mata terus tertuju ke gerbang kantor Mas Arman, aku ceritakan semuanya pada Mbak Luna. Mulai dari bayangan wanita di cermin saat kami sedang video call, lalu akun manajer dia yang memiliki mobil sama persis dengan yang dipakai Mas Arman saat ini, lalu dia membelikanku kalung mahal, ponsel mahalnya, sampai dia setengah menyanggupi untuk melunasi cicilan rumah.

 

"Bukankah itu aneh, Mbak?"

 

"Iya banget sih menurutku. Jangan-jangan suami kamu simpenannya boss-nya, Ray? Naudzubillahimindzalik." Mbak Luna menutup mulutnya setelah mengatakan kalimatnya. 

 

"Mbak, aku bukan mau su'udzon. Tapi aku juga menduganya begitu. Aku takut, Mbak."

 

"Dah nggak usah takut. Kita cari tau dulu. Kalo memang terbukti, kamu harus bertindak. Jangan diem aja."

 

"Bertindak bagaimana? Aku nggak punya apa-apa untuk melawan, Mbak."

 

"Kamu punya Keanu. Itu kekuatanmu, Ray. Jangan lemah. Pokoknya kita cari tau dulu. Perkara nanti gimana kita pikirkan nanti," tegas Mbak Luna.

 

Alhamdulillah, entah bagaimana aku berterima kasih padamu Ya Allah. Tapi ucapan kakakku adalah dukungan yang benar-benar tak ternilai. Aku memang tidak boleh lemah, aku harus berjuang. Jika tidak bisa menyelamatkan rumah tanggaku, setidaknya aku tidak boleh dibodohi dengan cara seperti ini. 

 

"Tuh dia Mbak mobilnya!" Aku terpekik saat sebuah mobil yang sudah kukenal keluar dari gerbang kantor. 

 

Tanpa banyak bicara, Mbak Luna segera menyeretku ke motornya. Kakakku yang satu ini memang tomboy. Dia cantik tapi tingkahnya dari kecil memang seperti lelaki, galak dan kuat. Teman-temannya juga dari kecil kebanyakan laki-laki. Dia sangat berbeda denganku yang sangat manja dan serba nggak bisa. 

 

Jam masih menunjuk pukul 4 dan Mas Arman ternyata sudah keluar dari kantor. Tepat seperti dugaanku. Dengan wajah dan tubuh kami yang tertutup, Mas Arman tidak akan tahu kalau kami yang sedang mengikutinya. 

 

Dan seperti yang kuperkirakan, suamiku tak langsung pulang ke arah rumah kami. Dia menuju ke sebuah rumah cukup besar di salah satu pinggir jalan utama di kota kami. Mobilnya diparkirkannya di halaman rumah itu dan saat dia turun, seorang wanita juga ikut turun dari mobil tadi. Tidak salah lagi, dia adalah wanita yang aku lihat di akun sosmed dengan nama Anggita Mardiana itu. Dia manajer pemasaran di kantor tempat Mas Arman bekerja. 

 

"Ray, kamu nggak papa kan? Jangan pingsan!" kata Mbak Luna menoleh ke belakang motor.

 

Meskipun jantungku berdebar sangat kencang saat melihat mereka bergandengan mesra memasuki rumah, tapi aku masih bisa mengendalikan diri.

 

"Aku nggak papa, Mbak." 

 

"Sekarang gimana? Kita langsung masuk saja atau ...?"

 

"Aku bingung, Mbak. Menurut Mbak gimana?"

 

"Aku sih nurut kamu. Kamu mau aku hajar suamimu disini sekarang ya boleh. Tapi kalau kamu punya rencana lain, ya nggak papa."

 

"Kita pulang saja, Mbak."

 

"Serius pulang?"

 

"Iya. Semuanya sudah jelas. Aku ingin berpikir dulu sekarang."

 

"Ya sudah kalau gitu." 

 

Mbak Luna kembali menstarter motornya. Diraihnya kedua tanganku untuk berpegangan pada pinggangnya dengan erat.

 

"Jangan pingsan ya? Pegangan yang kuat," katanya. Dan aku pun mengangguk. Dari balik kaca helmku aku yakin Mbak Luna tidak menyadari aku sudah meneteskan air mata.

 

 

Aku menarik tangan Mbak Luna saat kami berdua sampai di rumah bapak dan ibu.

 

"Kenapa?"

 

"Jangan ceritakan pada mereka dulu ya Mbak tentang masalahku. Kasian nanti ibu ikutan mikir," pintaku.

 

"Iya, tenang. Aku bantu pikirkan masalah ini nanti."

 

"Makasih, Mbak."

 

Aku memeluk kakak perempuanku itu erat-erat. Ternyata sudah sangat lama saat kami tak pernah lagi saling bicara serius. Dia masih tetap kakak yang menyayangi adiknya meskipun kami kini punya kehidupan masing-masing.

 

 

***

 

 

Rasanya sangat malas saat hari ini melihat Mas Arman pulang. Dia sampai di rumah wanita tadi sekitar jam 5. Dan sekarang ini sudah jam 8 malam dia baru sampai di rumah kami. Entah apa yang dia lakukan di rumah wanita itu tadi. Sesak dadaku membayangkannya. 

 

"Kenapa kamu Ray, tumben anteng?" katanya di sela-sela acara TV yang sedang kami tonton malam itu.

 

"Nggak papa, Mas. Lagi kurang enak badan aja."

 

"Marah?"

 

"Enggak," jawabku.

 

"Kirain marah aku pulangnya telat."

 

"Enggak. Pulang telat karena ada kepentingan kan?"

 

"Iya lah. Kalau nggak ada kepentingan ngapain aku pulang telat. Mendadak ada meeting tadi sama boss."

 

Hmm ... meeting di rumah boss kan Mas? Bukan di kantor. Perih sebenarnya. Ini pertama kalinya aku mengetahui bahwa suami yang aku percaya ternyata berkhianat. Tapi jika kali ini aku selesaikan dengan  cara bar-bar, apa yang akan aku dapatkan? Paling-paling dia juga akan mengelak seperti biasanya. Bukti-bukti yang aku miliki juga belum cukup kuat untuk membuatnya bungkam. 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
chairul amri
bagus ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status