Share

Chapter 7. Mengatur Rencana Kedua

"Bagus, Andrina. Ini yang aku suka darimu, sikap tegasmu." Mutia memuji tulus gadis yang ada di hadapannya.

"Sekarang, duduklah! Aku akan menjelaskan semuanya," sambung wanita baya itu.

Andrina menurut saja, dia menjatuhkan bobot tubuhnya pada kursi yang ada di hadapan Mutia. Wanita itu tampak memanggil pelayan untuk memesan makanan dan minuman untuk gadis yang ada di depannya.

"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Andrina dengan wajah datar.

"Ooo, rupanya kau sudah tidak sabar." Mutia terkekeh kecil.

"Cepat katakan, Nyonya. Saya harus segera kembali ke rumah sakit," kata Andrina dengan menahan kesal.

"Baiklah, jadi...."

Andrina mendengar dengan seksama penjelasan demi penjelasan dari Mutia, hingga beberapa menit kemudian, matanya terbelalak ketika mendengar ucapan terakhir dari wanita itu.

"Apa saya harus melakukan itu, Nyonya?" tanya Andrina untuk memastikan jika dia tidak salah dengar.

"Iya, kau harus melakukannya. Pastikan! Lakukan sampai berhasil. Karena aku sangat menginginkan hasilnya," jawab Mutia dengan tenang.

Andrina menggigit bibir bawahnya, ingin rasanya dia menolak keinginan terakhir wanita itu. Tapi, dia takut Mutia kembali menarik uang yang sudah masuk dalam rekeningnya, lalu dia gagal membayar biaya perawatan sang ayah. Dia menggeleng pelan, sungguh dia tidak ingin itu terjadi.

"Setelah kau berhasil melakukan itu dengan putraku. Kau boleh mundur dari misi ini dan aku aku akan bertanggung jawab penuh atas hidupmu, Andrina."

Andrina mendongak mendengar ucapan Mutia. "Bagaimana caranya?"

"Menikahkanmu dengan putraku. Aku janji."

Andrina menatap lekat mata wanita itu untuk memastikan tidak ada kebohongan di dalamnya.

"Baiklah. Untuk menolak pun aku tidak bisa, 'kan?"

Mutia tersenyum puas mendengar jawaban gadis itu. "Gadis cerdas. Sekarang, nikmati makananmu, baru setelah itu kau boleh pergi. Nanti, aku akan mengabari waktunya."

Andrina menurut, lalu mereka menikmati hidangan yang ada di depan mereka dengan hening.

"Apa permintaan Anda tidak terlalu berlebihan, Nyonya?" tanya Freddy setelah kepergian gadis itu.

Kini, di tempat itu hanya ada Mutia dan Asistennya.

"Berlebihan bagaimana?" Mutia balik bertanya sembari menyesap minumannya.

"Saya rasa itu sangat keterlaluan untuk gadis itu, Nyonya." Freddy memberanikan diri mengutarakan pendapatnya.

"Apa pekerjaanmu sekarang beralih mencampuri urusanku, Freddy," sindir wanita baya itu dengan melirik sinis asisten setianya.

Pria berjas rapi segera mengatupkan mulut rapat-rapat karena merasa salah bicara.

"Maaf, Nyonya. Tidak lagi."

Terdengar hembusan nafas berat dari bibir Mutia. "Andai kau tau, Freddy. Sebenarnya, aku juga tidak tega berbuat seperti ini pada Andrina." Mutia membuka suara dengan nada rendah.

"Dia wanita yang tepat untuk putraku. Dia wanita tangguh yang rela melakukan apa saja untuk keluarganya. Seperti halnya dia, aku pun juga akan melakukan hal yang sama demi putraku."

"Kau pasti tau, alasanku sebenarnya meminta Andrina melakukan itu. Sudahlah! Kita pulang sekarang." Mutia mengakhiri pembicaraan, kemudian beranjak dari tempatnya diikuti si Asisten setia.

________

"Dhika, tolong jaga bapak." Andrina membuka suara setelah selesai membersihkan tubuh sang ayah, "mungkin selama beberapa waktu ke depan. Kakak hanya akan berkunjung setiap akhir pekan atau mungkin jika ada waktu senggang," lanjutnya lagi sembari merapikan alat-alat yang baru saja dia gunakan.

"Kak Na, mau kemana?" tanya Andhika tanpa mengalihkan pandangan dari layar gadget-nya.

Pemuda itu masih asik dengan game online yang ia mainkan.

"Bos kakak ada urusan di luar kota dan kakak harus ikut. Untuk sementara, kakak harus menetap di sana sampai urusannya selesai." Andrina memberi penjelasan pada adiknya.

Tentu saja, itu hanya sebuah alibi untuk melancarkan misinya.

Semalam, Freddy menghubungi dirinya untuk meminta gadis itu tinggal di apartemen Gavin sampai rencana kedua berhasil ia jalankan. Mutia juga akan memberi kompensasi besar, selain memenuhi janjinya waktu itu.

Andrina hanya bisa mengiyakan, ia tidak ingin mencari masalah lagi dengan wanita tua sombong itu. Lagi pun, Andrina merasa berhutang budi karena Mutia masih bersedia membantunya, bahkan wanita itu memberi ruang rawat VIP untuk ayahnya.

"Kira-kira sampai berapa lama, Kak?"

"Kakak kurang tau, tergantung urusan si bos serius apa tidak."

"Kamu kalau bekerja yang jujur, Na. Jangan kecewakan atasan, terlebih ibu-ibu yang telah menolongmu. Jarang-jarang, zaman sekarang ada wanita sebaik dia." Sandi membuka suara setelah sejak tadi hanya menjadi pendengar.

"Iya, Pak. Na akan berusaha menjadi yang terbaik untuk mereka."

"Kapan kamu akan berangkat?" tanya Sandi dengan nada lemah menahan batuk.

"Lusa."

"Bapak sehat-sehat ya, selama Na tidak ada. Bapak harus minum obat dengan teratur. Sebenarnya, aku berat meninggalkan bapak dalam kondisi seperti ini," ucap Andrina dengan mata berkaca-kaca.

"Bapak baik-baik saja. Kamu bekerjalah dengan tenang!" Pria baya itu berusaha menunjukkan senyum terbaiknya.

"Dhika, nanti kakak kasih resep obat bapak yang harus ditebus. Jangan sampai lupa!" ujar Andrina dengan nada penuh peringatan.

"Iya...."

"Jangan lupa juga, ingatkan bapak untuk minum obat tepat waktu."

"Hmmm."

"Kamu dengar kakak tidak? Gadget mulu," ujarnya dengan kesal karena adiknya terus menghabaikannya.

"Dengar, Kak Na yang cerewet," jawab pemuda itu dengan gemas sekaligus geram karena dia kalah dalam permainannya.

_____

Waktu yang dinanti pun tiba....

Andrina sudah berdiri di depan sebuah gedung apartemen mewah. Dia menghembuskan nafas berat sebelum memasuki gedung itu. Berulang kali, dia berusaha meyakinkan diri jika dia pasti bisa melalui semuanya.

Andrina juga sudah pasrah jika nanti hidupnya akan berubah setelah keluar dari neraka berkedok gedung mewah ini.

"Saya hanya bisa mengantar sampai disini. Ingat! Lantai 5 unit 201. Jangan sampai salah kamar!" Suara pria yang berdiri di sampingnya menginterupsi.

Andrina hanya mengangguk, kemudian melangkah mantap memasuki gedung itu. Setelah sampai di lantai tujuan, dia melangkah perlahan dengan mata meneliti setiap nomor yang tertera yang tertera pada pintu. Hingga pada akhirnya, dia menemukan unit yang dicari terletak di bagian paling ujung.

Andrina hanya mendengus kesal, "Pasti ada alasan terselubung memilih tempat pojok seperti ini," batinnya.

Tak menunggu lama, dia langsung memencet bel. Satu kali dua kali, tak ada respon oleh si pemilik, hingga dia harus mengulang beberapa kali. Baru sepuluh menit kemudian, telihat ada pergerakan pintu yang sepertinya akan terbuka.

"Kamu di sini?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status