"Sekarang, sedikit saja aku tak mau dia bersedih. Tak mau dia menangis apalagi menderita. Sudah cukup kepedihan yang aku buat di hidupnya. Aku akan lakukan apa saja agar Wuri selalu tersenyum." "Aning ..." Rudy merasa ada yang mencekat lehernya. Sulit sekali dia berbicara. "Kumohon, maafkan aku ... Aku sungguh jahat pada kalian berdua. Aku memang laki-laki pengecut." "Aku tak pernah berpikir akan melihatmu lagi. Bagiku dan Wuri, kamu sudah mati. Tiba-tiba kamu muncul. Aku sangat tidak siap. Kurasa Wuri juga sama. Tanpa kamu, dia baik-baik saja." Tatapan tajam menghujam dari Ratu pada mata berair Rudy. "Aku ... aku meninggalkan kalian karena tidak siap harus menjadi suami dan ayah. Aku baru … selesai kuliah dan masih mencari pekerjaan. Rasanya duniaku runtuh ketika kamu katakan kamu hamil. Orang tuaku … akan mencampakkan aku jika tahu apa yang terjadi. Aku sangat takut membayangkan semuanya." Rudy mulai bicara. Mungkin tidak pantas dia memberikan pembelaan, tetapi Rudy akan mengataka
"Ayahku ini memang ganteng. Pantas ibu jatuh cinta padanya. Cinta mati, sampai ga bisa move on," bisik hati Wuri. "Nanti siang aku jemput lagi. Aku mau tahu kamu sekolah di mana. Jadi nanti aku langsung bisa temui kamu di sekolah.” Rudy mengutarakan rencananya. "Baiklah. Saya keluar jam 2 siang," kata Wuri. Wuri tidak mungkin menolak bertemu ayahnya. Sekalipun dia tahu, ibunya pasti tidak akan suka. "Ya, oke." Rudy tersenyum. Wajahnya terlihat gembira mengetahui Wuri tidak menolaknya. "Terima kasih sudah mengantar, Om." Wuri melepas seatbelt, membuka pintu mobil, keluar dan menutup kembali pintu mobil. Rudy masih memperhatikan Wuri sampai dia masuk ke gerbang sekolah. Lalu dia jalankan mobil menuju ke kantor. "Hei, Wuri! Siapa yang antar kamu?" Dela teman Wuri bertanya. "Eh ... itu, ayahku," jawab Wuri. Dia tersenyum sendiri. Ayahku ... Akhirnya dia bisa mengatakan itu pada temannya. Yang tak pernah kepikir seumur hidupnya satu kali dia akan tahu siapa ayahnya. "Ga pernah lih
"Iya. Aku mau ayah dan ibu bisa berteman," jawab Wuri.Rudy mengelus kepala Wuri. "Kamu mau belikan ibu apa?""Kira-kira apa yang paling ibu sukai? Ayah mungkin masih ingat?" tanya Wuri."Ibumu wanita yang sederhana. Dia tak pernah minta macam-macam sama ayah. Tapi dia pernah pingin beli gaun warna salem, dan ayah belum sempat membelikannya." cerita Rudy."Hm, apa mungkin masih ada gaun seperti yang ibu ingin?" ujar Wuri."Yang mirip saja kali. Persis sekali pasti ga ada. Beda zaman." Rudy tersenyum."Baiklah. Abis belanja langsung cari hadiah buat ibu, boleh?" pintta Wuri."Tentu, Nak." Rudy lagi tersenyum memandang Wuri.Betapa banyak waktu yang hilang dengan anaknya itu. Anak yang manis, baik, penurut, dan penuh pengertian. Ah, seandainya semua bisa diputar lagi.Sementara Felipe dan Wuri berdua menyusuri supermarket dan mencari barang sesuai daftar belanja. Selesai itu, mereka pergi ke bagian pakaian. Wuri dan Rudy sibuk mencari gaun untuk Ratu, Rindu dan Felipe asyik melihat-liha
Felipe mengelus kepala Rindu. Dia tersenyum memandang Rindu yang terlihat mulai mengerti tapi masih ada tatapan bingung di sana."Iya, makanya mereka perlu waktu untuk bicara. Supaya bisa saling mengerti dan bisa baikan lagi,” kata Felipe menambahi penjelasannya."Oke, aku paham." Rindu mengangguk-angguk.Ketiganya kemudian hanya duduk dan saling diam."Kak, aku lapar,” ujar Rindu setelah beberapa waktu."Ah, iya Kita tadi ga jadi makan malam, kan? Kita ke dapur yuk, lewat pintu samping saja, mudah-mudahan belum dikunci," ajak Wuri.Bertiga mereka ke dapur, lewat pintu samping. Untunglah bisa masuk. Wuri mengambilkan Rindu makan. Gadis kecil itu makan dengan lahap, kelaparan benar tampaknya.Dari ruang depan tidak terdengar suara orang bicara keras. Bahkan suara tangis juga tidak ada lagi. Wuri dan Felipe penasaran apa yang terjadi dengan Rudy dan Ratu."Kak, kenapa ayah panggil ibu Kakak, Aning, tapi kak Felipe panggil bu Ratu?" tanya Rindu sementara masih mengunyah."Oo … Nama ibu R
Mata Maureen menatap Randy yang berdiri agak jauh darinya. Senyum tersungging di bibir pemuda manis itu."Ada bunga di hatiku. Bunga yang indah terus mekar, meski musim kering. Membuat aku bisa segar lagi seperti baru disiram air, seperti yang kamu lakukan pada bunga-bunga di taman ini," ucap Randy.Hati Maureen perlahan berdesir. Dia tidak suka digombalin, tetapi entah mengapa dia merasa tersanjung juga dengan ucapan Randy."Kamu pandai merayu ternyata. Untungnya aku bukan cewek yang mudah GR. Gombalan kamu ga ngefek." Maureen mencibir. Dia melanjutkan menyiram tanamannya.Randy tersenyum, berdiri memperhatikan Maureen. Tidak berpikir beranjak. Dia suka sekali di dekat Maureen. Selalu nyaman melihat gadis periang ini. Jujur saja, Maureen yang malah kikuk dibuatnya."Kenapa nih cowok masih berdiri di situ?" batin Maureen. Dia mematikan kran air, merapikan slang, dan menyimpannya lagi. Selesai sudah acara berkebun.Berbalik badan, Maureen berjalan ke arah teras. Beberapa langkah di dek
Minggu tiba. Jam 10 kurang 10 menit, Randy sudah datang di rumah keluarga Gio. Dia menunggu Maureen. Hatinya grogi juga. Padahal Maureen bukan cewek pertama yang dia ajak jalan berdua. Tapi mengapa rasanya lain sekali? Tidak seperti yang sudah-sudah."Bro!” Felipe nongol. “Ahai! Ganteng amat hari ini. Weh ... mau jalan sama adikku?""Iya. Kami mau jalan hari ini." Randy tersenyum."Hmm …” Felipe mencermati Randy. "Baju dan celana match … Jaket keren punya. Stylish banget ... Harumm ...” Felipe mendekatkan wajahnya ke muka dan badan Randy."Heh, jangan usil. Usaha ini," ujar Randy. Dia mengerutkan keningnya."Udah izin papa?" Felipe mulai menginterogasi."Udah." Randy menjawab mantap."Jelas peraturannya?" lanjut Felipe bertanya."Sangat." Randy manggut-manggut."Good. Bawa pulang Maureen tanpa tergores." Felipe memandang Randy tajam dengan ucapan dilafalkan satu-satu dengan tegas."Beres.” Randy mengacungkan jempol.Maureen muncul. Randy dan Felipe memperhatikan gadis cantik yang maki
"Omongan Nesti ga usah didengarin, Reen. Cewek tomboy ini rada sableng emang." Randy melotot karena jengkel."Hati-hati, Reen! Dia suka makan cewek, hehe ..." Nesti makin jadi."Sudah sana jauh-jauh, hari sial aku ketemu kamu." Randy mendorong Nesti agar pergi dari situ."Bye, Maureen! Bye, ex babe, hee ... hee ..." Masih sempat juga Nesti berceloteh.Maureen makin masam mukanya. Hatinya tidak karuan melihat pemandangan tak terduga di depannya."Reen ..." panggil Randy. Randy bisa membaca tatapan Maupun yang berubah tidak secerah tadi."Oo ... iya. Kita masuk?" kata Maureen. Dia langsung melangkah duluan ke gedung bioskop mencari tempat duduknya.Randy mengikuti dan duduk di sisi Maureen. Dia menaruh popcorn di antara mereka. Dia beli satu tapi yang jumbo.Maureen tidak lagi konsentrasi dengan situasi. Tidak juga bisa memperhatikan film yang mulai ditayangkan. Dia memikirkan Nesti dan kata-katanya. Yang Maureen tangkap, Randy biasa bebas dengan cewek. Entah kenapa perasaannya jadi kur
Randy memandang Maureen. Rasanya Randy seperti sedang dikuliti. "Ga ada," jawab Randy. "Setelah papa mama cerai, lalu papa menikah dengan wanita itu, aku mulai malas dengan perempuan. Maksudku, aku menilai perempuan lebih negatif. Hanya memanfaatkan pria untuk kesenangannya. Tentu kecuali mamaku. Makanya aku ga dekat sama siapapun, hampir setahun ini." "Kebiasaan yang lain?" Maureen ingin semua dia tahu, tanpa ada yang Randy sembunyikan. "Tinggal merokok. Meski makin jarang. Sejak kecelakaan, mama tegas bilang ga mau aku celaka. Dan balapan sangat beresiko. Aku ga melakukannya lagi. Minum, sudah lama aku ga lakukan. Pernah Sandy tahu dan dia sangat marah. Dia ga suka kakaknya jadi kayak orang gila. Karena aku sampai mabuk waktu itu." Randy menjawab panjang lebar. Mulai nyaman mengatakan semuanya, walaupun Maureen sangat mungkin akan memilih mundur setelah itu. "Apa yang kamu pikirkan ketika ingin mendekati aku? Jalan dengan cara seperti dengan semua mantan kamu itu?" Tajam dan sin