“Biasa. Lagi datang tamu bulanannya.” Syukurlah terpikir jawaban yang pas.“Oh, pantesan,” ucapnya singkat.Tak ada basa-basi lagi antara aku dengannya. Kesakitan ini membuatku di berubah sedemikian cepat, sehingga menimbun cinta yang ada.Pandanganku hanya terpampang sesuatu yang negatif saja. Terlebihsetelah mendengarkan obrolan mas Mirza dengan Hesti.Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri. Sangatnyaman di kamar sendiri. Namun, sepertinya aku takkan lama menempati rumah inilagi.Tiba-tiba mataku memanas, lalu basah oleh air mata. MasMirza masuk dengan menenteng tas. Aku langsung menelungkup untuk menghindaritatapannya.Mas Mirza berpamitan ke luar. Katanya mau melihat ruko yangakan dia beli. Biarkan saja. Mungkin dia bakal marah setelah ini karena Lian aku perintahkan membatalkan pembelian.Aku meraih ponsel, lalu melakukan panggilan dengan Lian.“Halo, jadi bertemu? Sekarang saja, mumpung aku lagi di luar.]Suara bising, mungkin Lian berada di pusat keramaian.“Berisik
Aku membuka pintu mobil. Berdiri dengan anggun sambil menenteng satu tas branded di tangan. Beruntung semua yang aku kenakan barang-barang mahal, sehingga mereka bisa melihat nantinya, siapa aku dan Hesti sebenarnya? Tak layak jika aku bersaing untuk memperebutkan mas Mirza dengan maduku itu. Mungkin kedengarannya sombong. Entahlah, aku tak punya kata-kata yang tepat untuk mewakili kekesalan ini. Aku berjalan dengan santai, berniat tidak akan menetaskan air mataku di sini. Pintu kuketuk dengan anggun. Tanpa menunggu penghuninya, aku memutar kenop hingga pintu terbuka. Di depanku sudah ada Hesti yang mungkin tadinya mau membuka pintu. Dia gemetaran memandangku.“Kenapa? Kaget? Mana suamimu? Mana mertuamu?” tanyaku beruntun. Kasihan sekali melihatnya seperti ini. Dia sampai tak bisa berkata-kata.“Bisu kamu?”“A-anu. Ada di dalam,” jawabnya tergagap.Aku berjalan melewatinya begitu saja. Menampakkan diri di hadapan ibu, mas Mirza dan Melati.Ibu langsung berdiri, menyambutku dengan
“Mirza, istrimu itu benar-benar tidak waras.” Ibu menghardikku.“Aku Memang sudah tidak waras. Mas jatuhkan talak sekarang juga. Biar Hesti puas, dan merasa senang sudah memiliki kamu seutuhnya.”“Mala, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Maafkan aku. Kita pulang yuk! Bicara baik-baik di rumah.”“Rumah? Rumah yang mana? Rumah itu sudah aku jual.”“Jangan begitu, dong. Itu kan rumah idaman kita.”“Idaman katamu? Setelah ada dia di antara kita, tidak ada lagi rumah idaman. Sekarang aku tantang kamu, Mas, talak aku sekarang juga!”Mas Mirza menatapku dengan pandangan sendu. Ia berbalik membelakangiku. Berkacak pinggang, lalu mengusap wajahnya. Dia tampak tertekan.“Ayo, Mas. Kamu takut?” tantangku.“Istri durhaka. Biarkan dia memilih keinginannya, Mirza.” Ibu menjatuhkan diri di sofa.Emosinya sedikit mereda. Apakah karena mendengar tantangan kata talak dari putranya, sehingga ibu sedikit menurunkan egonya? Entahlah, mungkin saja benar. Sedangkan Melati tergugu di karpet bulu depan televi
Mungkin memang benar, nuraniku sudah mati oleh kesakitan ini, sehingga tak ada sedikitpun belas kasihan.Apa aku kejam?Mendadak langkahku terhenti di teras. Aku menoleh ke belakang. Tampak dari tempatku berdiri, Melati meraung keras, ibu mengomel tak jelas dan mas Mirza hanya mengusap kasar rambutnya.Kenapa aku sekejam ini?Hendak berbalik ke dalam, tiba-tiba dua orang datang memasuki halaman. Bukan tetangga atau saudara ibu. Siapa mereka?“Selamat siang, Mbak,” sapa salah satunya.“Siang. Ada perlu apa, Mas?” tanyaku.“Mbak tuan rumah di sini? Kami datang mau menjemput motor yang dijual.”Motor milik Melati.“Surat jual belinya, Bu. Silahkan.” Salah seorang dari mereka menyodorkan amlop. Aku tak perlu membukanya, langsung saja menunjukkan sebuah motor yang terparkir di teras.Aku meletakkan amlop itu di meja luar, lalu pergi meninggalkan rumah ibu.Saat aku keluar dari halaman, ibu dan mas Mirza terdengar berdebat dengan kedua orang tadi. Terdengar juga suara jeritan keras Melati s
“Dek,” panggilan tetap membuatku bergeming. Dia duduk ditepi ranjang, di dekatku.Beberapa saat mas Mirza hanya terdiam. Aku sakit melihatnyaseperti ini. Sejujurnya, cinta ini masih memenuhi isi hati, tapi membayangkan Hesti,ibu juga suara-suara menjijikkan di kamar semalam itu membuatku ingin menghindar secepatnya.“Mas minta maaf atas semua yang terjadi di rumah ibu tadi.Kamu tau, ibu memang seperti itu dari dulu.”Aku tetap membuang muka ketika dia menjelaskan. Tak berniatsedikit pun untuk membalas ucapannya.“Apapun permintaanmu akan mas kabulkan. Tapi tidak bercerai.Mas mencintaimu, Dek dan gak bisa hidup berpisah denganmu.”Bullshit! Cinta itu bisa menahan nafsu. Dia malah enak-enakan bergumul dengan Hesti hingga tak tau waktu. Itu yang di bilangcinta?“Dek, Adek boleh menguasai semuanya. Rumah, kartu kredit, ATM mas, biarlah Adek yang pegang.”Ya ampun, dipegang kalau gak ada isinya ya percuma. Toh, selama ini, aku yang mengisi ATM sama kartu kreditnya.“Aku juga sudah bicara s
Aku terus mengamati hingga sosok itu berada di depan mata.“Mau ke kantor? Mirza juga baru berangkat bareng ibu tadi?” ujar ibu, lumayan ramah. “Katanya sih, mobilnya kamu sita. Kok, tega ya?”Baru juga dipuji, sudah keluar aslinya. Aku mendesah kesal.“Bukan menyita, Bu. Tapi sengaja mau membagi gono-gini. Masuk dulu, Bu.” Aku mengajak ibu masuk dan langsung disambut oleh mama.Aku berusaha menyimpan ego, begitu pun mama. Berusaha agar tidak terjadi ketegangan pagi ini. Selain lelah, aku juga malu didengar tetangga.“Jadi begini, Bu Widya. Semalam Mirza pulang naik taksi. Saat ibu tanya, dia bilang mobilnya masuk harta gono-gini yang akan dibagi nanti. Tapi saya heran sama Mala ya? Belum cerai kok sudah sibuk jual ini itu. Rumahlah, mobil bahkan yang paling menyakitkan hati kami, Mala mengambil motor milik Melati. Apa gak keterlaluan namanya?” ucap ibu tak ada basa-basi.Ucapan ketus, raut wajah sinis dan sedikit meledak-ledak, adalah ciri khas ibu ketika berhadapan denganku. Tak ter
Aku ke kantor dengan tergesa-gesa. Ponsel di dalam tastak berhenti berdering. Pasti Lian yang menelepon. Aku mengacuhkannya karena harusfokus mengendarai mobil. Diangkat pun, Lian hanya akan mengomel.Lelaki itu sedikit sensitif dan kurang sabaran jika ada teman atau karyawan yang tidak disiplin. Untungaku saudaranya, sehingga sudah mengerti sifatku. Aku tak pernah menggubris meski Lian mengomel nantinya.Benar saja. Di depan lobi pria itu tampak mondar-mandir. Dia langsung menyambut kedatanganku dengan sorot kekesalan.“Gak usah merepet. Aku baru saja kedatangan tamu yang bikin jengkel.Mau tau siapa orangnya.” Aku langsung memberikan sebuah map yang kubawa dari rumah.“Siapa?” tanyanya sambil menjajari langkahku.“Ibu,” jawabku singkat.“Dan kamu rela menanggapi ocehannya, begitu?”“Ck, gak sopan juga aku tinggalkan. Lagian, ini tadi terpaksaaku tinggal pergi. Untung ada mama yang menemaninya.”“Gak sebanding kalau lawannya tante Widya. Mana bisa marah. Cuma kamu yang bisa mengimbang
Seperti biasa, Hesti tampak kikuk menghadapiku.Tak berselang lama, tampak mas Mirza dengan rambut yang acak-acakan keluar di belakang Hesti.Oh ...! Aku tersenyum kecut. Kasihansekali diriku ini melihat pemandangan di depan mata. Suamiku baru saja keluar darikamar bersama maduku. Lalu tampak seperti habis bergumul. Ya Allah kuatkan.“Dek,” panggil mas Mirza. Bagus, masih mengingatku rupanya. Aku membuang pandangan.Aku tak menjawab, menoleh pun tidak. Aku menarik nafas dan mengembuskannya hingga berulang kali.Huft, sesak dadaku.“Sesak dadaku, Mas melihat pemandangan ini. Aku berkata jujur saat ini,” ucapku. Mas Mirza mengambil tempat duduk berseberangan dengnku, sehingga tatapan kami mau tak mau harus beradu.“Aku bingung, Dek. Meminta maaf pun, kamu tak akan memaafkan. Aku bisa apa?”“Entahlah, aku bingung. Wanita itu membuatmubanyak berubah.” Aku menatap tajam Hesti yang berdiri. Dia terkejut ketika aku menyebut namanya.“Aku gak ngerti apa-apa. Kenapa dibawa-bawa?” jawabnya menge