Zaki membawa paper bag berisi mainan. Ia hanya berdiri mematung, menunggu seseorang yang sedang mengeluarkan mobilnya dari area parkir. Kendaraan yang berjejalan membuatnya harus sabar menunggu."Zaki,buruan!" Panggilan itu membuatnya memasukkan ponsel dalam saku kemeja.Ia berjalan sambil menyambar paper bag yang sempat ia letakkan pada lantai.Remaja itumemasuki mobil dengan santai, duduk di sebelah si pengemudi."Besaramat beli mobil-mobilannya. Jadi repot bawanya," keluh Zaki seraya meletakkan paper bag di jok belakang."Itu 'kan pesanan adikmu.""Tantekenapa enggak ngajak om Gus buat beli hadiah, sih," keluh Zaki."Kayak gaktau om kamu. Dia kan paling malas diajak belanja. Palingan ntar kalau sudah punya anak sendiri, baru mau direpotin."Zaki menatap tantenya dengan perasaannya sayang. Sebab, tantenya lah satu-satunya keluargadari pihak sang papa yang menganggapnya ada.Melati mengacak rambut Zaki ketika keponakannya itu kepergok menatapnya lama.Waktu yang memisahkannya dengan
"Mbak, kayaknya itu Mas Mirza, deh," ucap Ayu saat menemaniku berbelanja. Aku mengikuti arah telunjuknya. Tak mendapati siapapun seperti penuturannya."Mas Mirza 'kan ke luar kota," jawabku santai sambil memasukkan barang-barang dalam keranjang belanjaan."Mobilnya, Mbak. Di dalam ada seorang wanita lo, Mbak.""Sudah dibilangin kalau mas Mirza keluar kota. Lagian, mobil seperti itu banyak," ucapku lagi menyangkal.Ayu berdecak kesal karena aku tidak mengindahkan ucapannya."Coba dilihat baik-baik. Masa aku sebagai tetangga lebih hafal suaminya Mbak Mala." Kali ini Ayu terdengar memaksa. Aku menyipit, sedikit tersinggung dengan ucapannya. Tapi ... tak ada salahnya kudengar."Mana mungkin mas Mirza di sini. Dia baru saja pergi ke tadi sore, berpamitan ke luar kota untuk urusan kantor," ucapku bernada kesal.Aku mengamati mobil silver yang ditunjukkan Ayu. Kebetulan pintu dan bagian depan minimarket yang kusambangi ini seluruhnya kaca. Jadi lebih leluasa mengamati keadaan luar.Mirip, mo
Aku menyandarkan kepala pada punggung Ayu. Tak perduli meski punggungnya basah oleh air mata. Kepala terasa berat untuk bisa aku tegakkan. Ayu mengemudikan motor dengan santai. Aku pulang dengan hati yang seluruhnya telah hancur. Rasanya, duniaku berhenti berputar beberapa saat lalu. Setelah kesadaran pulih, rasa sakit di dadaku malah kian parah. Mas Mirza tega mengkhianati aku. Itu kesimpulannya. Saat tahun pertama pernikahan kami, ibu juga tak juga memberikan restunya. Berusaha kupupuk cinta ini dengan menuruti semua kemauan mas Mirza. Bahkan, ketika ibu meminta agar kami pindah dari rumahnya, kemudian memutuskan mengontrak. Aku juga tak pernah protes meski gajinya lebih kecil, semuanya aku jalani dengan ikhlas. Aku rela bekerja siang dan terkadang malam kulalui dengan lembur, agar apa yang dicita-citakan mas Mirza terpenuhi. Memiliki rumah sendiri dan mobil pribadi. Dengan kesabaran penuh, tahun ketiga pernikahan, Allah memudahkan segala rejeki. Aku dan mas Mirza naik jabatan
Mas Mirza memutar kenop pintu, sambil mengucapkan salam.Dari dalam terdengar sahutan dua wanita secara bersamaan. Wajahku terasa panas seketika melihatibu membuka pintu.Netraku langsung menangkap sosok wanita itu berdiri memaku. Menatapku tak berkedip. Akupunsama.Gemuruh di dada serasa ingin meledak, seperti gunung apiyang segera memuntahkan lahar.Ya Allah, kuatkan. Kakiku terasa tak bertulang.“Dek, kenapa?”Usapan mas Mirza di bahu mengejutkan,sehingga membuatku berpindah pandang.“Hah, gak kenapa-kenapa,” jawabku sedikit gugup.“Itu ... Adek kenapa gak masuk-masuk. Zaki sudah kabur ke dalam tuh,” ucap masMirza sambil menunjuk bocah, entah sejak kapan lepas dari genggamanku. Zakisudah duduk bersama ibu di sofa.“Oya, Dek, kenalkan itu Hesti.”Mas Mirza merengkuh pundakku. Wanita yang diperkenalkanbernama Hesti itu berjalan maju, semakin mendekat padaku.Hawa panas mulaimengalir ke sekujur tubuh. Melihatnya berlagak ramah, mengulurkan tangan, laluberucap sangat lembut, “Hesti, Mba
“Iya, Mbak.”“Iya yang mana?” tanyaku cepat.“Iya sudah dicari, tapi gak ketemu. Dia sudah tau sebelumnya kalau aku hamil.”“Kenapa nekat pergi?”“Dia kembali ke istri tuanya.”“Kamu istri muda, istri siri atau jangan-jangan selingkuhan?”“Uhukkk!”Tidak hanya menjeda, bahkan Hesti sampai tersedak mendengar tebakanku.Came on, baby. Ini baru awal.“Kenapa? Gak makan kok keselek?” Aku menggeser tubuh agar bisa melihat ekspresinya.“Gak apa-apa, Mbak.” Hesti kembali menggerakkan koin. Segera bergerak mungkin menghindari tatapanku.“Jadi, kamu istri siri?” tanyaku merendahkan suara. Sengajaagar tampak lebih natural. Kalau aku langsung meninggikan suara, bisa-bisa Hesti naik darah menghadapiku. Walaupun sebentar lebih bagus begitu, tapi aku tidak sampai hati melihatnya yang sedang hamil tua.“Iya, Mbak.”“Kenapa mau jadi istri siri? Apa gak takut ketauan istrituanya?”Hesti masih aktif menggerakkan koin di punggung, sepertinya dia mulai mengenali karakterku.“Karena dia cinta pertama saya
Setelahmelakukan panggilan, aku merebahkan tubuh di samping Zaki, memeluknya eratseperti takut kehilangan. Apa pun alasan perpisahan nanti, aku ingin Zakibersamaku.Tekadkusudah bulat, bahwa perpisahan adalah solusi satu-satunya.*Matakupedih karena hingga lewat tengah malam tak juga mau terpejam. Meskipun sudahmelakukan aktivitas ringan, tetapi aku tetap saja tidak tenang. Aku baru sajaselesai menempatkan alat penyadap di dua tempat. Dengan begitu, aku bisamengetahui rencana mereka.Akumerasa, mas Mirza akan bergerak lebih dulu. Tiga hari sebelumnya, dia kepergokmembuka lemari tempat penyimpanan surat-surat penting. Beruntung, surat rumahsudah aku pindahkan.Sebenarnya,tidak sengaja aku bawa ke kantor saat ingin memberikan surat rumah sebagaijaminan pengajuan utang ke bank. Entah kenapa, perasaanku seperti ada yang mengarahkanagar memperlihatkan surat itu pada Lian, sepupuku yang bekerja satu kantordenganku. Entah kenapa juga, aku memintanya menyimpan surat itu. Mungk
Sayangnya, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Pintar juga si Hesti mengendalikan perasaannya. Yah, setidaknya, aku sudah mendapatdua pembelaan yang membuatku merasa menang, paling tidak di hadapan Hesti.“Makanyang banyak, Hes. Kamu butuh banyak tenaga ...” ucapanku menggantung.“Buat?”Melati menyambung. Kurasa cuma dia yang paham bahasa seperti ini.“Buatmenerima kenyataan,” balasku sambil menepuk lengan iparku. Melati tertawalebar. Aku pun sama.“Hush!Di meja makan gak boleh tertawa.” Ibu memperingatkan. Akumasih menyemburkan sisa-sisa tawa bersama Melati.KulirikHesti yang tampak tenang tanpa pengaruh, begitu pun dengan mas Mirza. Dasar,nurani kedua manusia ini memang sudah mati. Hesti menyendok makanannya dengansegan, terlihat kikuk dan serba salah. Ternyata, segitu saja nyalinya. Lihat,wajahnya saja yang tampak polos, merasa tak bersalah. Beraninya cuma mainbelakang.“Sampaikapan Hesti tinggal di sini?” Pertanyaanku membuat mas Mirza mengangkat wajah,memanda
Aku mengoles bibir dengan lipstik warna natural, membubuhkan bedak tipis-tipis, lalu membereskan serakan make up di meja rias. Langkahku terhenti saat melihat bayangan di cermin. Aku memandang bayang itu tanpa berkedip.Tubuhku tinggi, tidak ada lebihan lemak yang bergelambir seperti kebanyakan wanita yang sudah melahirkan. Aku juga pandai merawat diri,rajin ke salon. Untuk urusan ranjang, bahkan tak pernah sekalipun menolak ajakan mas Mirza ketika ingin bercumbu.Apa kurangnya aku? Sampai saat ini masih bertanya-tanya.Kalau memang ada sesuatu yang tidak disukai, kenapa tak pernah memprotes?Kenapa malah mencari wanita lain sebagai pemuas nafsunya?Apa namanya jika bukan nafsu? Bahkan Hesti dan mas Mirza tak bisa menahan hingga esok hari misalnya. Saat aku dan Zaki pulang.Tak ada kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan keb**ohan keduanya. Mereka tidak sadar jika akan kehilangan sumber pundi-pundi rupiah mereka. Ibu pun tidak merasa bersalah, malahan cenderung membela Hesti.Pipiku h