Mas Mirza memutar kenop pintu, sambil mengucapkan salam.Dari dalam terdengar sahutan dua wanita secara bersamaan. Wajahku terasa panas seketika melihatibu membuka pintu.
Netraku langsung menangkap sosok wanita itu berdiri memaku. Menatapku tak berkedip. Akupunsama.
Gemuruh di dada serasa ingin meledak, seperti gunung apiyang segera memuntahkan lahar.
Ya Allah, kuatkan. Kakiku terasa tak bertulang.
“Dek, kenapa?”
Usapan mas Mirza di bahu mengejutkan,sehingga membuatku berpindah pandang.
“Hah, gak kenapa-kenapa,” jawabku sedikit gugup.
“Itu ... Adek kenapa gak masuk-masuk. Zaki sudah kabur ke dalam tuh,” ucap masMirza sambil menunjuk bocah, entah sejak kapan lepas dari genggamanku. Zakisudah duduk bersama ibu di sofa.
“Oya, Dek, kenalkan itu Hesti.”
Mas Mirza merengkuh pundakku. Wanita yang diperkenalkanbernama Hesti itu berjalan maju, semakin mendekat padaku.
Hawa panas mulaimengalir ke sekujur tubuh. Melihatnya berlagak ramah, mengulurkan tangan, laluberucap sangat lembut, “Hesti, Mbak.” Dia memperkenalkan diri.
Tangannya masih mengambang di udara, menunggu sambutanku.
“Hesti, Sayang. Yang aku ceritakan pagi tadi.” Lagi-lagi,usapan lembut pada bahu membuatku terkejut.
Aku mengangkat tangan, bergerak menyambut Hesti.
“Mala,” balasku.
“Kita langsung ke kamar,” ajak mas Mirza. Sepertinya, diamemang sengaja agar aku tidak berinteraksi lama dengan Hesti.
Apa mas Mirzamulai curiga? Bisa jadi, iya. Mungkin sikapku terlihat kaku atau jangan-janganmereka sengaja memperlihatkan kenyataan ini secara perlahan-lahan.
Entahlah, aku pikirkan nanti.
*
Hingga sore hari, aku masih betah berdiam di kamar. Rasasakit di kepala masih mendera membuatku enggan beranjak keluar kamar. Apalagi,diluar sana mungkin akan kudapatkan pemandangan lebih tidak mengenakkan.
Dari balik jendela, aku mengamati kedekatan Zaki dengan papanya. Mereka sedang bermain bola di halaman samping, tepat di depanku saatini.
Melihatnya riang bermain dengan Zaki, membuat otakkuberpikir keras. Bagaimana caranya agar masalah ini bisa cepat terselesaikan?Aku sudah tak sanggup berlama-lama memendamnya. Rasanya seperti menyimpan apidalam sekam. Panas dan bisa jadi malah membakarku hidup-hidup.
Sesekali pandangan mas Mirza mengarah padaku, tertawa tanpadosa. Apa aku patut ditertawakan seperti ini?
Ah, berlebihan. Dia kan tertawa karena mengimbangi candaanZaki. Kenapa aku merasa dia menertawakan aku? Apakah sesensitif ini diriku sekarang?
Aku memilih menghindar, sebelum mas Mirza menangkap lebih banyak keanehan pada diri ini.
Aku bergerak ke pembaringan. Berpikir lebih keras lagi.Harus bagaimana dan seperti apa menghadapi keluarga tak tau balas budi ini?
Langkah awal untuk membalas kecurangan mereka, mungkin lebihbaik jika aku mengendalikan diri lebih dulu. Sebab, tidak mungkin mampumelakukan penyelidikan lebih dalam jika hanya melihat Hesti saja aku sepertiingin langsung menjambaknya.
Sabar adalah solusinya. Hal yang paling sulit untukdilakukan adalah, bersikap manis dihadapan si pelakor dan antek-anteknya.
Ok, deal! Aku mulai dengan pendinginan saja dulu.
Aku menuruni pembaringan, menyambar jilbab instan yang tadiaku lepaskan, lalu bergegas ke luar kamar.
Terdengar suara tawaan dari dapur. Ternyata sepasangtargetku sudah ada di sana.
Aku berdehem, keduanya terkejut dan terlihat salah tingkah.Mungkin saja mereka sedang membicarakan aku, terlihat dari cara mereka yanglangsung terdiam seketika melihat kehadiranku.
“Mala, mama lagi masak acar kesukaan Mirza. Bisa bantu?”pinta ibu sambil tersenyum, menyodorkan bahan mentah dalam wadah.
“Bisa,” jawabku tanpa basa-basi.
Hubunganku dengan ibumemang baik, tetapi sebatas di depan mata. Aku yakin, di belakangku ibu seringmenggunjingkan aku.
“Hesti bisa masak?” tanyaku tiba-tiba. Dia terlihatkelabakan. Terlihat sekali tidak bisa mengendalikan perasaannya.
“Bisa, Mbak,” jawabnya sambil menoleh. Sepersekian detik,tatapan kami beradu. Dia lebih dulu mengalihkan pandangan.
“Dia jago masak. Makanya, selama tinggal di sini si Hestiyang masak,” ucap ibu menyambung ucapan kami.
Pantas saja menantu idaman, pintar masak, sih. Berbedadenganku. Apa-apa dilakukan pembantu.
“Wah, enek dong, ya. Ibu jadi gak perlu repot-repot caripembantu,” celetukku.
“Bukan begitu. Maksudnya, ibu jadi punya teman ngobrol didapur,” sanggah ibu.
Aku memilih tidak menanggapinya lagi. Menurutku, obrolankami kurang greget karena ada ibu.
“Ibu istirahat saja. Biar aku dan Hesti yang melanjutkanmemasak. Ke depan aja, lihat Zaki main bola.” Aku memberikan saran.
Ibu terdiam sejenak, terlihat mencuci tangan, lalu bergerakmendekatiku.
“Ya sudah, kalian lanjutkan, ya?” Ibu menyambar lap tangandi dekatku, lalu pergi ke depan.
Kini, tinggal aku berdua dengan Hesti, si wanita yangkatanya ditinggal suaminya minggat. Jadi menurutku, ucapan adalah doa. Apakahmesti aku kabulkan ucapan mereka, membuat mas Mirza minggat dari kehidupanHesti?
Ide menarik.
“Berapa bulan?” tanyaku tiba-tiba. Hesti menoleh. Lagi-lagi,netra kami bertemu di satu titik. “Kandunganmu berapa bulan?” tanyakumengulang.
Aku jadi muak mengulang pertanyaan yang sama. Apalagiseputar kehamilannya. Tiba-tiba otak bergerilya, membayangkan keduanya beradu di ranjang yang sama, bercumbu memandu kasih, lalu membayangkan kebiasaan masMirza saat bergumul denganku, apakah sama perlakuannya kepada Hesti.
“Hoekkk ....” Aku berlari ke wastafel. Ingin muntah tapitidak mengeluarkan apa-apa.
“Mbak Mala sakit.” Hesti terlihat menjauh, kemudian kembali lagimembawa minyak angin. Ia bergerak menyentuh tengkukku.
“Nggak usah,” cegahku. “Aku sendiri saja.” Aku meraih botol minyakangin di tangannya. Lebih pada menghindari sentuhan darinya.
“Aku kerokin, Mbak.” Hesti menawarkan. Manis sekali kedengarannya.Apakah ini bisa menjadi awal rencanaku?
*
Hesti membalurkan minyak angin ke punggung, lalu mulai menggerakkankoin dari atas ke bawah. Pergerakan satu arah ini meninggalkan rasa sakit, tetapimembuatku nyaman.
“Ini bekas di kerokin juga kayaknya, Mbak,” ucapnya. Sepertinya,dia melihat bekas kemerahan di punggungku.
“Iya, mas Mirza yang kerokin,” jawabku sambil mengulum senyum.“Mas Mirza kalau ngerokin suka gak selesai.”
“Kenapa, Mbak? Sakitkah?” tanyanya polos.
“Enak malahan. Tapi tangannya itu lo. Suka merayap ke mana-mana.”
Hesti menjeda gerakan tangannya. Rasain, pikirku.
“Tau kan maksudku?”
“Ngerti, Mbak.”
“Dia suka usil, sih. Malahan, kadang suka kerokin di bagian depan.”Hesti menjeda lagi. Sukurin, ini sih belum apa-apa!
“Kamu kenapa pisah sama suamimu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Bukan pisah, Mbak. Tapi ditinggal minggat,” jawabnya.
“Sama saja kali. Kenapa gak menyusul? Sudah di cari? Tau kalaukamu hamil” tanyaku beruntun. Mana tau lidahnya keseleo, lalu tanpa sadar bicarajujur.
“Iya, Mbak.”
“Iya yang mana?” tanyaku cepat.
“Iya sudah dicari, tapi gak ketemu. Dia sudah tau sebelumnyakalau aku hamil.”
“Kenapa nekat pergi?” tanyaku menginterogasi.
“Dia kembali ke istri tuanya.”
“Kamu istri muda, istri siri atau jangan-jangan selingkuhan?”
“Uhukkk!”
Tidak hanya menjeda, bahkan Hesti sampai tersedak mendengar tebakanku.
Came on, baby. Ini baru awal.
:
:
****
“Iya, Mbak.”“Iya yang mana?” tanyaku cepat.“Iya sudah dicari, tapi gak ketemu. Dia sudah tau sebelumnya kalau aku hamil.”“Kenapa nekat pergi?”“Dia kembali ke istri tuanya.”“Kamu istri muda, istri siri atau jangan-jangan selingkuhan?”“Uhukkk!”Tidak hanya menjeda, bahkan Hesti sampai tersedak mendengar tebakanku.Came on, baby. Ini baru awal.“Kenapa? Gak makan kok keselek?” Aku menggeser tubuh agar bisa melihat ekspresinya.“Gak apa-apa, Mbak.” Hesti kembali menggerakkan koin. Segera bergerak mungkin menghindari tatapanku.“Jadi, kamu istri siri?” tanyaku merendahkan suara. Sengajaagar tampak lebih natural. Kalau aku langsung meninggikan suara, bisa-bisa Hesti naik darah menghadapiku. Walaupun sebentar lebih bagus begitu, tapi aku tidak sampai hati melihatnya yang sedang hamil tua.“Iya, Mbak.”“Kenapa mau jadi istri siri? Apa gak takut ketauan istrituanya?”Hesti masih aktif menggerakkan koin di punggung, sepertinya dia mulai mengenali karakterku.“Karena dia cinta pertama saya
Setelahmelakukan panggilan, aku merebahkan tubuh di samping Zaki, memeluknya eratseperti takut kehilangan. Apa pun alasan perpisahan nanti, aku ingin Zakibersamaku.Tekadkusudah bulat, bahwa perpisahan adalah solusi satu-satunya.*Matakupedih karena hingga lewat tengah malam tak juga mau terpejam. Meskipun sudahmelakukan aktivitas ringan, tetapi aku tetap saja tidak tenang. Aku baru sajaselesai menempatkan alat penyadap di dua tempat. Dengan begitu, aku bisamengetahui rencana mereka.Akumerasa, mas Mirza akan bergerak lebih dulu. Tiga hari sebelumnya, dia kepergokmembuka lemari tempat penyimpanan surat-surat penting. Beruntung, surat rumahsudah aku pindahkan.Sebenarnya,tidak sengaja aku bawa ke kantor saat ingin memberikan surat rumah sebagaijaminan pengajuan utang ke bank. Entah kenapa, perasaanku seperti ada yang mengarahkanagar memperlihatkan surat itu pada Lian, sepupuku yang bekerja satu kantordenganku. Entah kenapa juga, aku memintanya menyimpan surat itu. Mungk
Sayangnya, tidak ada perubahan ekspresi di wajahnya. Pintar juga si Hesti mengendalikan perasaannya. Yah, setidaknya, aku sudah mendapatdua pembelaan yang membuatku merasa menang, paling tidak di hadapan Hesti.“Makanyang banyak, Hes. Kamu butuh banyak tenaga ...” ucapanku menggantung.“Buat?”Melati menyambung. Kurasa cuma dia yang paham bahasa seperti ini.“Buatmenerima kenyataan,” balasku sambil menepuk lengan iparku. Melati tertawalebar. Aku pun sama.“Hush!Di meja makan gak boleh tertawa.” Ibu memperingatkan. Akumasih menyemburkan sisa-sisa tawa bersama Melati.KulirikHesti yang tampak tenang tanpa pengaruh, begitu pun dengan mas Mirza. Dasar,nurani kedua manusia ini memang sudah mati. Hesti menyendok makanannya dengansegan, terlihat kikuk dan serba salah. Ternyata, segitu saja nyalinya. Lihat,wajahnya saja yang tampak polos, merasa tak bersalah. Beraninya cuma mainbelakang.“Sampaikapan Hesti tinggal di sini?” Pertanyaanku membuat mas Mirza mengangkat wajah,memanda
Aku mengoles bibir dengan lipstik warna natural, membubuhkan bedak tipis-tipis, lalu membereskan serakan make up di meja rias. Langkahku terhenti saat melihat bayangan di cermin. Aku memandang bayang itu tanpa berkedip.Tubuhku tinggi, tidak ada lebihan lemak yang bergelambir seperti kebanyakan wanita yang sudah melahirkan. Aku juga pandai merawat diri,rajin ke salon. Untuk urusan ranjang, bahkan tak pernah sekalipun menolak ajakan mas Mirza ketika ingin bercumbu.Apa kurangnya aku? Sampai saat ini masih bertanya-tanya.Kalau memang ada sesuatu yang tidak disukai, kenapa tak pernah memprotes?Kenapa malah mencari wanita lain sebagai pemuas nafsunya?Apa namanya jika bukan nafsu? Bahkan Hesti dan mas Mirza tak bisa menahan hingga esok hari misalnya. Saat aku dan Zaki pulang.Tak ada kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan keb**ohan keduanya. Mereka tidak sadar jika akan kehilangan sumber pundi-pundi rupiah mereka. Ibu pun tidak merasa bersalah, malahan cenderung membela Hesti.Pipiku h
“Biasa. Lagi datang tamu bulanannya.” Syukurlah terpikir jawaban yang pas.“Oh, pantesan,” ucapnya singkat.Tak ada basa-basi lagi antara aku dengannya. Kesakitan ini membuatku di berubah sedemikian cepat, sehingga menimbun cinta yang ada.Pandanganku hanya terpampang sesuatu yang negatif saja. Terlebihsetelah mendengarkan obrolan mas Mirza dengan Hesti.Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan diri. Sangatnyaman di kamar sendiri. Namun, sepertinya aku takkan lama menempati rumah inilagi.Tiba-tiba mataku memanas, lalu basah oleh air mata. MasMirza masuk dengan menenteng tas. Aku langsung menelungkup untuk menghindaritatapannya.Mas Mirza berpamitan ke luar. Katanya mau melihat ruko yangakan dia beli. Biarkan saja. Mungkin dia bakal marah setelah ini karena Lian aku perintahkan membatalkan pembelian.Aku meraih ponsel, lalu melakukan panggilan dengan Lian.“Halo, jadi bertemu? Sekarang saja, mumpung aku lagi di luar.]Suara bising, mungkin Lian berada di pusat keramaian.“Berisik
Aku membuka pintu mobil. Berdiri dengan anggun sambil menenteng satu tas branded di tangan. Beruntung semua yang aku kenakan barang-barang mahal, sehingga mereka bisa melihat nantinya, siapa aku dan Hesti sebenarnya? Tak layak jika aku bersaing untuk memperebutkan mas Mirza dengan maduku itu. Mungkin kedengarannya sombong. Entahlah, aku tak punya kata-kata yang tepat untuk mewakili kekesalan ini. Aku berjalan dengan santai, berniat tidak akan menetaskan air mataku di sini. Pintu kuketuk dengan anggun. Tanpa menunggu penghuninya, aku memutar kenop hingga pintu terbuka. Di depanku sudah ada Hesti yang mungkin tadinya mau membuka pintu. Dia gemetaran memandangku.“Kenapa? Kaget? Mana suamimu? Mana mertuamu?” tanyaku beruntun. Kasihan sekali melihatnya seperti ini. Dia sampai tak bisa berkata-kata.“Bisu kamu?”“A-anu. Ada di dalam,” jawabnya tergagap.Aku berjalan melewatinya begitu saja. Menampakkan diri di hadapan ibu, mas Mirza dan Melati.Ibu langsung berdiri, menyambutku dengan
“Mirza, istrimu itu benar-benar tidak waras.” Ibu menghardikku.“Aku Memang sudah tidak waras. Mas jatuhkan talak sekarang juga. Biar Hesti puas, dan merasa senang sudah memiliki kamu seutuhnya.”“Mala, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Maafkan aku. Kita pulang yuk! Bicara baik-baik di rumah.”“Rumah? Rumah yang mana? Rumah itu sudah aku jual.”“Jangan begitu, dong. Itu kan rumah idaman kita.”“Idaman katamu? Setelah ada dia di antara kita, tidak ada lagi rumah idaman. Sekarang aku tantang kamu, Mas, talak aku sekarang juga!”Mas Mirza menatapku dengan pandangan sendu. Ia berbalik membelakangiku. Berkacak pinggang, lalu mengusap wajahnya. Dia tampak tertekan.“Ayo, Mas. Kamu takut?” tantangku.“Istri durhaka. Biarkan dia memilih keinginannya, Mirza.” Ibu menjatuhkan diri di sofa.Emosinya sedikit mereda. Apakah karena mendengar tantangan kata talak dari putranya, sehingga ibu sedikit menurunkan egonya? Entahlah, mungkin saja benar. Sedangkan Melati tergugu di karpet bulu depan televi
Mungkin memang benar, nuraniku sudah mati oleh kesakitan ini, sehingga tak ada sedikitpun belas kasihan.Apa aku kejam?Mendadak langkahku terhenti di teras. Aku menoleh ke belakang. Tampak dari tempatku berdiri, Melati meraung keras, ibu mengomel tak jelas dan mas Mirza hanya mengusap kasar rambutnya.Kenapa aku sekejam ini?Hendak berbalik ke dalam, tiba-tiba dua orang datang memasuki halaman. Bukan tetangga atau saudara ibu. Siapa mereka?“Selamat siang, Mbak,” sapa salah satunya.“Siang. Ada perlu apa, Mas?” tanyaku.“Mbak tuan rumah di sini? Kami datang mau menjemput motor yang dijual.”Motor milik Melati.“Surat jual belinya, Bu. Silahkan.” Salah seorang dari mereka menyodorkan amlop. Aku tak perlu membukanya, langsung saja menunjukkan sebuah motor yang terparkir di teras.Aku meletakkan amlop itu di meja luar, lalu pergi meninggalkan rumah ibu.Saat aku keluar dari halaman, ibu dan mas Mirza terdengar berdebat dengan kedua orang tadi. Terdengar juga suara jeritan keras Melati s