Razka membuka pintu ruang kerja Ayahnya dengan kasar. Suara yang ia timbulkan bisa membuat orang yang mendengarnya terkejut. Tapi Danial yang berada di dalam tidak terlihat terusik sedikit pun. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.“Ayah.” Razka memanggil. Dia meletakkan kedua tangannya di meja, tepat di depan pria itu. Pandangannya terlihat menahan marah. Sepertinya Razka datang dalam suasana hati yang tidak begitu baik.“Ada apa?” sahut Danial terdengar dingin.“Kenapa Ayah masih bisa santai seperti ini?” tanya Razka geram. Ia mencoba menahan diri untuk tidak melempar semua benda yang ada di meja kerja Ayahnya itu. Namun, entah sampai kapan ia akan kuat menahan emosinya.“Memang aku harus bagaimana?” Danial menyahut dengan santai. Dia melepas kaca mata di wajahnya, dan mengelapnya sebentar. Dia melirik ke arah Razka yang masih tampak sangat marah.Putra sulungnya itu mendengus kasar.“Ini sudah berbulan-bulan, dan Adikku sebentar lagi akan melahirkan. Apa pria brengsek itu masih be
“Awalnya memang sangat mengecewakan. Aku bahkan sempat berpikir dia tidak akan berhasil. Tapi sedikit demi sedikit dia mulai berubah. Dia mulai mengerti dan mau berusaha. Pekerjaannya menjadi semakin baik.”Danial mendengarkan laporan dari anak buahnya yang ia kirimkan untuk berada di sisi Revan. Dari orang itulah ia bisa mengetahui tentang perkembangan Revan.Bukan hanya membantu dan mengawasi, pria itu juga bertugas mengajari Revan tentang semua hal yang tidak ia ketahui. Dia dituntut untuk membuat Revan berkembang.“Berapa lama waktu yang ia butuhkan?” tanya Danial memastikan. Meski ia terlihat santai, bukan berarti dia tidak memikirkan putrinya. Danial pun mengawasi secara ketat tentang perkembangan Revan di sana. Ia juga ingin pria itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan kembali ke sini untuk menemani putrinya.“Sejauh ini, semua sudah ditangani dengan baik, Tuan. Perusahaan sudah berjalan dengan normal seperti semula.”Senyum di wajah Danial terlukis. Ia benar-benar lega mende
“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
"Ha!"Jovanka terbangun dari tidurnya. Dia terkejut melihat ruang yang ia tempati saat ini. Ini ... adalah kamar tidurnya di rumah orang tuanya. Kenapa dia berada di sini? Bukankah seharusnya ia berada di mansion? Tempat dia dan suaminya tinggal setelah lima tahun menikah?Tapi ... perasaan Jovanka sedikit janggal saat melihat keadaan sekitarnya. Kenapa keadaan kamarnya tampak seperti saat ia masih berusia belasan tahun? Bukankah orang tuanya sudah mendesain ulang kamarnya menjadi lebih minimalis, supaya suaminya bisa menginap dengan tenang tiap kali mereka singgah ke rumah ini.Apa yang terjadi?Jovanka menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia berlari ke jendela untuk mengintip keadaan di luar. Kaki Jovanka melangkah mundur, dia shock melihat seorang pria paruh baya yang tengah menyiram tanaman di halaman.Itu ... itu pak Malik. Bukankah dia sudah meninggal tiga tahun lalu? Tepat dua tahun setelah Jovanka tinggal bersama suaminya. Jovanka bahkan datang ke acara pemakamannya.
"Lihat, sayang! Revan itu serius mencintai kamu. Kamu tidak bisa menilai Revan seperti itu." Ibu Jovanka membela Revan. Revan cukup senang karena wanita itu mau membantunya keluar dari masalah ini. Akan tetapi, rasa kesalnya pada Jovanka masih belum hilang. Perempuan itu bisa-bisanya membawanya ke dalam situasi merepotkan seperti ini.Dia pasti sengaja."Kamu serius?" tanya Jovanka pada Revan. "Tapi ... kenapa aku melihat kamu seperti terpaksa?" lanjutnya ekspresi polos.Revan merapatkan bibirnya. Jika tidak ada orang tuanya dan orang tua perempuan itu, Revan pasti sudah menampar Jovanka karena sikap sok polosnya itu. Bagaimana pun juga, Revan tahu perempuan itu memang berniat mempersulit Revan, dan membuat Revan tersudut oleh keadaan."Aku tidak terpaksa. Aku serius melamar kamu." Revan tidak mengatakan yang sesungguhnya. Jelas, dia berbohong. Jika dia diijinkan berkata jujur, dia akan berteriak dan mengatakan, 'Ya, aku terpaksa! Mana sudi aku menikah dengan kamu!'"Oh. Tapi aku ma
Revan menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di salah satu kursi cafe. Wajah perempuan itu sudah terlihat kesal. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu. Wajar saja, Revan terlambat sepuluh menit dari waktu janjian mereka.Karena tidak ingin membuatnya semakin kesal, Revan memutuskan untuk mempercepat langkahnya."Maaf, sayang. Aku terjebak macet tadi," ucap Revan penuh sesal. Dia sudah berusaha sampai di tempat ini dengan cepat, tapi keadaan benar-benar tidak berpihak padanya. Revan harus menunggu sampai arus lalu lintas kembali lancar.Perempuan itu tidak menjawab. Raut wajahnya tidak berubah. Tampaknya dia belum bisa meredakan rasa kesalnya pada Revan.Melihat itu, Revan menghela napas. Dia meraih tangan perempuan itu, menatapnya penuh sayang."Savira, aku minta maaf." Tangan Revan terangkat untuk mengusap kepala kekasihnya itu. Tidak satu pun orang yang tahu jika Revan masih berhubungan dengan kekasihnya. Sejak orang tuanya menentang hubungan mereka, Revan tidak lantas memut