“Tuan Razka.”Razka menyorot tajam seseorang yang menerobos masuk ke ruang kerjanya tanpa permisi. Ia bahkan tidak mendengar suara ketukan pintu sebelumnya.“Kamu pikir ini rumahmu? Bisa seenaknya saja masuk sembarang.”“Maafkan aku, tuan.” Anak buahnya itu menunduk merasa bersalah. Ia juga takut akan menerima murka tuannya itu. Tapi saat ini ia terlalu panik hingga tidak bisa memikirkan apa yang ia lakukan. Ia berharap tuannya tidak mempermasalahkan kesalahan kecil yang ia lakukan ini. “Aku … membawa kebar penting.”“Kabar apa?” Razka bertanya dengan wajahnya yang masih menunjukkan kekesalan. “Jika tidak benar-benar penting menurutku, maka bersiaplah kehilangan pekerjaanmu.”Keringan dingin langsung bercucuran di wajah pria itu. Ekspresi wajahnya bahkan sudah sangat pucat.“Aku-““Bicaralah sebelum kesabaranku habis!” bentak Razka. Ia sudah sangat kesal dengan sikap anak buahnya itu, dan sekarang ia masih harus diuji kesabaran dengan mendengar nada bicaranya yang mendadak gagu.“No-n
Sudah tiga jam, tapi pembukaannya sama sekali tidak bertambah. Jovanka masih bertahan dengan rasa sakitnya. Sebisa mungkin ia berusaha menahan, tapi rasanya membuat ia semakin ingin melarikan diri dari rasa sakit ini.“Aku tidak tahan,” ucapnya dengan nada tertahan.“Bersabarlah, Nona. Ini sudah biasa dilalui setiap Ibu hamil. Sebentar lagi Anda akan segera menemui bayi kecil anda.” Seorang perawat yang bersamanya berusaha menghibur dan menenangkan.Meski begitu, Jovanka tidak merasa terbantu. Mereka semua yang berada di sana seolah tidak peduli pada rasa sakitnya. Andaikan saja di sini ada suaminya, Jovanka pasti akan sedikit memiliki kekuatan untuk melalui semua ini.“Sakit,” ringisnya.“Jika terlalu lama, kita terpaksa menyuntikkan obat perangsang supaya pembukaan bergerak dengan cepat. Tapi, rasa sakit yang Anda rasakan akan semakin kuat.” Seorang dokter yang menanganinya bertanya dengan keputusannya.Tapi, Jovanka tidak bisa memberikan jawaban. Ia malah ingin menangis. Ia memang
Setelah badai, selalu ada pelangi. Jovanka pikir, kata-kata itu hanya omong kosong belaka. Karena sejak dulu kehidupannya selalu menyedihkan, tanpa ada setitik pun cahaya kebahagiaan di dalamnya. Tapi sekarang, setelah melalui semuanya, Jovanka sadar, memang semua ada saatnya. Ia yang telah lama berkubang dalam luka, berteman dengan rasa sakit, kini memiliki banyak kebahagiaan yang patut untuk disyukuri. Kehidupannya menjadi lebih indah. Di cuaca yang gelap sekali pun, ia selalu merasakan suasana hati yang cerah. Perceraian itu tidak pernah terjadi. Akhirnya setelah berhasil membuktikan kesungguhannya, Revan kembali padanya. Pria itu memperlakukan Jovanka dengan sangat baik. Ia memberikan begitu banyak cinta dan perhatian, hingga Jovanka merasa ia diperlakukan seperti perempuan paling istimewa. Pria itu terlalu sering memeluknya, dan kerap kali mencium keningnya. Revan tidak pernah absen melakukan hal kecil itu setiap hari. Tapi hal itu membuat perasaan Jovanka menghangat. Setiap h
"Ha!"Jovanka terbangun dari tidurnya. Dia terkejut melihat ruang yang ia tempati saat ini. Ini ... adalah kamar tidurnya di rumah orang tuanya. Kenapa dia berada di sini? Bukankah seharusnya ia berada di mansion? Tempat dia dan suaminya tinggal setelah lima tahun menikah?Tapi ... perasaan Jovanka sedikit janggal saat melihat keadaan sekitarnya. Kenapa keadaan kamarnya tampak seperti saat ia masih berusia belasan tahun? Bukankah orang tuanya sudah mendesain ulang kamarnya menjadi lebih minimalis, supaya suaminya bisa menginap dengan tenang tiap kali mereka singgah ke rumah ini.Apa yang terjadi?Jovanka menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya. Dia berlari ke jendela untuk mengintip keadaan di luar. Kaki Jovanka melangkah mundur, dia shock melihat seorang pria paruh baya yang tengah menyiram tanaman di halaman.Itu ... itu pak Malik. Bukankah dia sudah meninggal tiga tahun lalu? Tepat dua tahun setelah Jovanka tinggal bersama suaminya. Jovanka bahkan datang ke acara pemakamannya.
"Lihat, sayang! Revan itu serius mencintai kamu. Kamu tidak bisa menilai Revan seperti itu." Ibu Jovanka membela Revan. Revan cukup senang karena wanita itu mau membantunya keluar dari masalah ini. Akan tetapi, rasa kesalnya pada Jovanka masih belum hilang. Perempuan itu bisa-bisanya membawanya ke dalam situasi merepotkan seperti ini.Dia pasti sengaja."Kamu serius?" tanya Jovanka pada Revan. "Tapi ... kenapa aku melihat kamu seperti terpaksa?" lanjutnya ekspresi polos.Revan merapatkan bibirnya. Jika tidak ada orang tuanya dan orang tua perempuan itu, Revan pasti sudah menampar Jovanka karena sikap sok polosnya itu. Bagaimana pun juga, Revan tahu perempuan itu memang berniat mempersulit Revan, dan membuat Revan tersudut oleh keadaan."Aku tidak terpaksa. Aku serius melamar kamu." Revan tidak mengatakan yang sesungguhnya. Jelas, dia berbohong. Jika dia diijinkan berkata jujur, dia akan berteriak dan mengatakan, 'Ya, aku terpaksa! Mana sudi aku menikah dengan kamu!'"Oh. Tapi aku ma
Revan menghampiri seseorang yang sudah menunggunya di salah satu kursi cafe. Wajah perempuan itu sudah terlihat kesal. Mungkin dia sudah terlalu lama menunggu. Wajar saja, Revan terlambat sepuluh menit dari waktu janjian mereka.Karena tidak ingin membuatnya semakin kesal, Revan memutuskan untuk mempercepat langkahnya."Maaf, sayang. Aku terjebak macet tadi," ucap Revan penuh sesal. Dia sudah berusaha sampai di tempat ini dengan cepat, tapi keadaan benar-benar tidak berpihak padanya. Revan harus menunggu sampai arus lalu lintas kembali lancar.Perempuan itu tidak menjawab. Raut wajahnya tidak berubah. Tampaknya dia belum bisa meredakan rasa kesalnya pada Revan.Melihat itu, Revan menghela napas. Dia meraih tangan perempuan itu, menatapnya penuh sayang."Savira, aku minta maaf." Tangan Revan terangkat untuk mengusap kepala kekasihnya itu. Tidak satu pun orang yang tahu jika Revan masih berhubungan dengan kekasihnya. Sejak orang tuanya menentang hubungan mereka, Revan tidak lantas memut
Jovanka benar-benar tidak berhenti mengatakan sumpah serapah di dalam hatinya. Karena Ayah-nya benar-benar serius saat mengatakan dia akan menerima lamaran Revan. Padahal Jovanka sudah melakukan banyak cara dalam membujuk kedua orang tuanya supaya mereka berpikir ulang untuk menerima lamaran Revan. Jovanka tidak ingin kembali terjebak dalam pernikahan yang sama. Bersama Revan, ia tidak akan pernah bahagia. Pria itu hanya akan membuatnya sengsara seumur hidup.Jovanka benci saat ia melihat Revan tepat di depan rumahnya. Pria itu datang menjemputnya untuk mencari gaun pengantin dan membicarakan segala hal tentang persiapan pernikahan mereka. Ini bukan pernikahan yang Jovanka inginkan, sehingga sulit baginya untuk tersenyum. Bahkan sejak tadi, wajahnya tertekuk tidak senang. Jovanka terpaksa ikut dengan Revan karena desakan orang tuanya. Tidak lupa mereka juga melayangkan ancaman yang membuat Jovanka tidak bisa berkutik.Raut wajah Jovanka sudah masam sejak tadi. Dia masuk ke dalam mobi
Savira berusaha tegar. Dia datang ke pernikahan kekasihnya sendiri. Sejak tadi, senyum di wajahnya terlukis dengan paksa. Dia menunjukkan jika dia baik-baik saja, padahal hatinya hancur melihat pemandangan di depan mata. Teman-temannya yang mengetahui suasana hati Savira yang sebenarnya, berusaha menenangkannya. Mereka mengelilinginya, dan memberinya banyak ucapan penyemangat. Mereka tidak ingin Savira bersedih karena ditinggal menikah oleh pria yang masih berstatus sebagai kekasihnya itu."Aku heran, kenapa Revan malah memilih menikah dengan perempuan lain?" tanya Marissa sinis. Dia menatap tak suka ke arah mempelai wanita yang duduk di atas podium tepat di samping Revan.Meski Marissa akui, perempuan itu cantik, tapi paras tidak berarti apa-apa jika dia perebut pacar orang."Lihatlah, mukanya yang busuk. Ah, aku sangat ingin mencakar wajahnya itu." Marissa menghela napas dengan kasar.Satu teman di sampingnya menyenggol bahunya untuk memperingati. "Hati-hati kamu kalo bicara. Jika