Share

Wasiat Turun Ranjang 6

"Oiya Bi, tadi Tante nyuruh aku untuk menelepon Ibu, katanya suruh ke sini. Tante pengen ketemu, padahal baru minggu kemarin Ibu kesini."

"Bilangin saja, Neng! Kasihan. Dulu Bibi juga pernah punya saudara, beliau sering menyuruh Bibi untuk menemaninya, Padahal di rumah banyak Anak-anaknya yang ikut tinggal dengannya, akan tetapi beliau sering merasa kesepian. Tidak lama setelah itu beliau wafat."

"Bibi, jangan nakut-nakutin Dayu!" Dayu mengerucutkan bibirnya. Bi Darsih tersenyum menanggapi Dahayu yang sedang kesal.

"Bibi enggak nakutin kamu, tapi memang kaya gitu. Biasanya kalau orang itu tidak lama lagi hidup di dunia, ia akan selalu merasa kesepian atau sering melihat bayangan-bayangan orang yang sudah meninggal. Karena sebenarnya, 40 hari menjelang orang itu meninggal, di langit itu dia sudah menjadi mayit. Jadi, ruhnya bertemu dengan ruh-ruh orang yang sudah meninggal seperti keluarganya."

"Kok, Dayu merinding ya Bi dengarnya!"

Bi Darsih merangkul Dahayu yang bergidik ngeri. "Makanya, selagi tantemu ada, temani dan turuti apa maunya, biar gak menyesal nanti." Dahayu mengangguk.

"Ya sudah, Bi! Dayu ke luar dulu ya."

Setelah mengobrol dengan Bi Darsih. Dayahu pergi dari kamar Bi Darsih menuju kamarnya, dan tak pikir panjang, Dahayu langsung menghubungi ibunya.

"Ada apa, Yu?" jawab Bu Desri di kampung sana.

"Iya, insyaallah besok Ibu ke sana."

"Jangan takut, kasihan tantemu kalau kamu takut."

"Iya, Yu. Wa'alaikum salam."

Setelah menelepon sang Ibu. Dahayu pun pergi menuju lantai satu untuk membereskan kamar tamu yang akan ditempati oleh ibunya untuk beberapa hari.

***

Keesokan harinya, ketika waktu pagi di atas meja makan, hanya ada Dahayu yang sedang duduk memperhatikan Bi Darsih yang sedang memasak untuk sarapan mereka. Sesekali mereka membahas cara memasak yang enak serta cepat dan tepat.

Mereka terlihat begitu seru berbincang. Namun, tidak dengan Mughni dan Rahma. Semenjak kepulangan mamanya Mughni kemarin sore, Dahayu tidak melihat lagi Omnya keluar dari kamar meski hanya sekejap, untuk makan pun Bi Darsih yang menghantarkannya, Dahayu tidak berani untuk melihat keadaan sang tante selama ada Mughni di dalamnya.

"Assalamu'alaikum ...."

"Sttt ... Bi! Itu seperti suara Ibu!" Dahayu menyimpan telunjuk di bibirnya. Bi Darsih pun mengangguk membenarkan dugaan Dahayu.

"Ya sudah, Neng ke depan saja. Ini biar Bibi yang bereskan." Dahayu mengangguk, kemudian beranjak pergi dari dapur menuju ruangan depan.

"Wa'alaikum salam ...." Dahayu menjawab salam ibunya kemudian membuka pintu.

"Ibu, kenapa sendiri? Bapak kemana?"

"Barusan cuma mengantar, lalu pulang lagi karena harus kerja."

Dahayu mengangguk, lalu memboyong Ibunya ke dapur dan mendudukkannya di kursi meja makan.

"Ibu sekarang gimana? Apa masih suka pegal-pegal?"

"Sedikit, sebelum tidur Bapak selalu memijit badan Ibu."

"Syukurlah, kalau Bapak begitu perhatian. Semoga Adik Dayu nanti mirip Bapak. Beliau sangat bijaksana, perhatian, pasti bakal mampu menggandeng keluarga menuju kebaikan."

"Amiin." Desri hanya tersenyum menanggapi harapan Dahayu.

"Silahkan Bu, Ini air hangatnya. Ibu pasti merasa haus, atau mau dibuatkan susu?"

"Tidak Bi! Ini cukup, Terima kasih Bi." Bi Darsih mengangguk.

Desri- Ibu yang melahirkan Dahayu itu pun meminum air hangat yang disuguhkan Bi Darsih. Sedangkan Dahayu setelah mendudukkan ibunya ia pamit untuk memberitahu Om dan Tante Rahma prihal kedatangan ibunya.

"Om! Itu Ibu sudah datang."

Tidak ada jawaban dari dalam sana. Namun, terdengar oleh Dahayu suara langkah kaki yang berjalan menuju pintu.

"Sudah sampai?" tanya Mughni yang diangguki Dahayu.

"Ajak masuk ke kamar aja, Yu! Tante sudah nungguin."

"Siap Om!"

Mughni membiarkan daun pintu kamarnya terbuka setelah Dahayu pergi. Sedangkan dirinya langsung kembali ke dalam kamar untuk memberi tahu bahwa Kakak kesayangannya sudah tiba.

"Rahma ...." seru Desri ketika memasuki kamar Rahma.

"Eh, Mbak. Maafin Rahma ya Mbak, sering ngerepotin Mbak. Rahma kangen."

"Iya gak apa-apa. Kalau ada sesuatu yang kamu pengen bilang saja sama Mbak," ucap Desri sembari memeluk adiknya dengan erat.

"Ada yang mau aku omongin sama Mbak, sebelum aku gak punya kesempatan lagi menyampaikannya."

"Iya silahkan, Mbak akan menuruti apa maumu."

Mughni yang mendengar jawaban kakak iparnya pun menggeleng pelan. Ia tidak mau bila kakak iparnya menuruti permintaan sang istri yang menurutnya tidak mungkin.

"Mbak, aku berharap banget. Bila nanti aku tiada, Mbak jangan nikahkan Dahayu dengan orang lain." Desri terdiam. Ia tahu maksud dari arah pembicaraan sang Adik kemana. Desri mengangguk pelan, namun bukan berarti setuju dengan keinginan Sang Adik.

Obrolan pun mengalir begitu saja. Desri selalu menanggapi apapun yang Rahma keluhkan. Termasuk tentang mertuanya yang akan menjodohkan Mughni. Mughni hanya bisa memperhatikan kakak beradik itu dari kejauhan, sesekali menanggapi obrolan mereka. Mughni merasakan kehangatan dalam dadanya ketika melihat sang istri begitu bahagis ketika bersama saudaranya.

Mughni teringat dengan masa ketika ia akan menikahi Rahma, Ia selalu Mendatangi Kakak iparnya untuk meminta izin untuk membawa Rahma ngedate di luar rumah.

Terkadang juga hanya bertemu di rumah Mbak Desri, dengan resiko diganggu oleh Dahayu. Dahayu yang masih berusia tujuh tahun itu selalu menginginkan Mughni menemaninya bermain. Yang akhirnya Rahma yang sangat menyayangi keponakannya pun harus mengalah waktunya terbagi.

"Dek Mughni!" Mughni mengerjapkan matanya ketika kakak iparnya memanggil.

"Eh iya kak. Ada apa?" jawab Mughni tergagap ketika Desri menepuk bahu Mughni. Desri hanya tersenyum menanggapi adik iparnya yang melamun.

"Jangan melamun! Ini istrimu katanya pengen ke kamar mandi. Mbak gak bisa bantu."

"Oh iya, Aku kira apa Mbak!" Mughni beranjak dari kursinya, kemudian menghampiri Rahma yang berbaring di atas kasur.

"Kamu ngelamunin apa sih, Mas. Dipanggil-panggil gak nyahut." Bukannya menjawab, Mughni malah menggendong istrinya sembari tersenyum ke kamar mandi.

Karena tidak ada jawaban dari suaminya. Rahma pun semakin kesal. "Mas!"

"Iya sayang apa? Mas gak ngelamunin apa-apa, kok! Mas cuma teringat dengan kisah kita sebelum menikah aja."

"Kisah kita yang mana, Mas?"

"Ya banyak! Jangan penasaran. Sekarang kamu tunaikan dulu hajatmu. Mas tunggu."

Rahma memajukan bibirnya karena kesal sang suami tidak memberitahu tentang kisah mereka mereka sebelum menikah.

"Mas! Sudah." Mughni langsung menghampiri Rahma ketika Rahma memanggilnya. Setelah membersihkan badan Rahma dari percikan air, Mughni menggendong Rahma kembali dan membaringkannya di atas ranjang.

"Mbak Desri kemana?" tanya Mughni sembari celingukan mencari kakak iparnya.

"Keluar, karena ngobrolnya sudah."

Mughni mengangguk. "Tadi tuh, Mas lihat kalian mengobrol begitu jadi ingat ketika kita belum menikah. Sebelum kemana-mana pasti minta izin sama Mbak Desri. Kalau gak diizinin pasti cuma bisa ketemuan di rumahnya saja dengan resiko diganggu oleh Dahayu," kekeh Mughni.

"Iya, Mas. Aku tuh sayang banget sama Dahayu. Aku ingin Dahayu juga merasakan kebahagiaan dengan memiliki suami seperti Mas. Aku sangat kasihan padanya, karena dari kecil dia tidak bisa merasakan kasih sayang dari ayahnya."

Mughni mengangguk. Ia sudah lelah menanggapi Rahma yang selalu menyuruhnya menikahi Dahayu.

"Mas, gak ke toko?"

"Sebentar lagi, apa tidak apa-apa kamu di sini gak Mas temani?"

"Gak apa-apa Mas, berangkat saja. Karena Mbak Desri akan lama di sini."

"Oke! Mas berangkat dulu ya," ucap Mughni sembari mencium kening Rahma. Kemudian Mughni mengambil tas selempang kesayangannya lalu meninggalkan Rahma yang sedari tadi terus menatapnya kagum.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja. Mughni menaiki mobil dan menjalankannya menuju toko sembako miliknya.

Drttt ... Drtt ...

"Hallo, Yu! Ada Apa?"

"Ini Om baru sampai di toko."

"Iya, Om akan pulang sekarang!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status