Mendengar pertanyaanku, seketika Lilian menatapku lurus dan berhenti mengunyah. “Jangan salah sangka! Aku hanya senang bisa memiliki seorang teman,” ujarku santai. Tetapi, aku serius dengan perkataanku.Tidak, aku tidak sedang jatuh cinta dan ingin melakukan pendekatan. Aku hanya murni ingin berteman.“Apa di Singapura kamu tidak memiliki teman?” tanya Lilian.“Teman kuliahku banyak. Aku pun memiliki tim yang bekerja di kantor. Hanya saja, mereka semua sibuk, dan aku merasa seperti tidak memiliki teman,” jawabku jujur sambil terkekeh.Aku lihat, Lilian kembali menikmati makanannya dan tidak memberikan respons. Baik, aku tidak akan memaksanya.“Kamu tadi mengatakan kalau sudah lama mengurung di apartment. Apa kamu sakit?” tanya Lilian.Ah, rupanya Lilian ini sangat teliti. Bisa-bisanya dia masih ingat perkataanku yang sudah lewat.“Seperti yang aku ceritakan tadi, waktu itu aku putus dengan kekasihku dan mendadak aku jadi tidak suka bepergian,” jawabku.“Apa kamu selingkuh?” tanya Lil
Lilian POV“Kapan kita bisa bertemu lagi?” Pertanyaan Keenan ini membuatku sedikit kesal karena kedengarannya seperti memaksa. Pun tadi sebelum Cheryl datang, Keenan sudah menanyakan hal yang sama.Aku tidak memiliki firasat buruk tentang Keenan. Dia terlihat seperti seorang pria baik-baik, dan sejujurnya aku merasa nyaman bicara dengannya. Hanya saja, aku masih merasa sedikit curiga. Apa mungkin pertemuan kita ini kebetulan? Mana ada pertemuan yang berkali-kali bisa kebetulan?Cheryl melihatku dan Keenan bergantian, lalu tiba-tiba dia menjawab. “Apa kalian sudah punya nomor telepon masing-masing?”“Ah, kamu benar! Aku sampai lupa menanyakan nomor telepon Lilian.” Keenan buru-buru meraih ponselnya dari dalam kantong celana, lalu menoleh ke arahku.“Berapa nomor teleponmu?” tanya Keenan.Dengan malas aku menyebutkan nomor teleponku.“Aku akan mengirimkan pesan agar kamu bisa menyimpan nomor teleponku,” ujar Keenan.Aku hanya mengangguk untuk menanggapi.“Apa aku juga boleh minta nomor
Keesokan harinya …Baru saja keluar dari kamar mandi, aku mendengar ponselku bergetar.Aku buru-buru memeriksanya, khawatir ada sesuatu yang mendesak.“Tante Iva?” gumamku.Pasalnya, sangat jarang tante Iva meneleponku. Kalau penting, dia pasti mengirimkan pesan.Ting!Ketika aku hendak mengetikkan pesan, tante Iva sudah mengirimkan pesan terlebih dahulu.“Selamat pagi, Lilian. Maaf, Tante mengganggu sepagi ini. Apa Lilian masih suka mie ayam? Hari ini Tante rencana mau masak”Deg!Mendadak hatiku merasa sangat sedih, mengingat mie ayam buatan tante Iva itu salah satu menu makanan kesukaan Finn. Sepertinya aku tidak akan bisa menikmatinya karena itu akan membuatku menangis. Tetapi, aku tidak mungkin menolak tante Iva, bukan?Dengan tangan yang gemetar, aku berusaha membalas pesan. “Mie ayam, kesukaan Finn.”“Tante mengerti. Seandainya itu akan membuatmu sedih, kamu bisa makan menu yang lain, yang tak kalah enaknya. Kalau ada waktu, mampir ke rumah ya!” balas tante Iva dengan mengirimk
“Sambil menunggu masakan semuanya matang, cobain ini … risoles ala Tante Iva.” Tante Iva datang menghampiri kami sambil membawa satu piring berukuran besar, berisi risoles.“Wah, saya sudah lama tidak makan risoles,” ujar Cheryl dengan mata berbinar.“Lilian suka risoles?” Tatapan Tante Iva beralih padaku.“Ini cemilan kesukaan Lilian, Tante,” celetuk Cheryl.“Oya? Kok Finn tidak pernah cerita ya,” sahut Tante Iva.“Berhubung di sini tidak pernah lihat risoles dan saya tidak bisa membuatnya, saya memilih untuk melupakan risoles,” jawabku sambil tertawa.Om Danendra, Tante Iva, dan Cheryl pun ikut tertawa.“Cobain dulu ya … kalau cocok, lain kali Tante bagi seandainya kebetulan buat,” ujar Tante Iva.Aku mengangguk, lalu mengambil satu risoles dan mulai menikmatinya.“Bagaimana?” tanya Tante Iva.“Saya suka, Tante! Ini enak,” jawabku kegirangan. Terlalu senang akhirnya bisa menikmati risoles lagi, rasanya aku ingin melompat-lompat sambil bertepuk tangan.“Benarkah?” tanya Tante Iva rag
“Cheryl sudah ada pria yang disukai atau belum nih?” tanya Om Danendra dengan senyum khasnya yang mirip dengan Finn.“Pasti banyak donk, Pa. Cheryl itu gadis yang cantik dan pandai,” sahut Tante Iva.“Bisa saja, Tante. Buktinya sampai sekarang saya masih jomblo,” canda Cheryl.“Itu karena kamu belum membuka hati saja,” ujar Tante Iva tepat sasaran.Sementara Om Danendra dan Tante Iva sibuk berbincang dan bercanda dengan Cheryl, aku yang mendadak teringat akan Finn hanya bisa sesekali tersenyum untuk menanggapi.“Ayo, tambah lagi, Li! Makan yang banyak ya,” ujar Tante Iva, membuatku yang sedang melamun ini terkesiap.“Iya, Tante,” sahutku tersenyum.“Lilian dan Cheryl boleh anggap Om dan Tante seperti orang tua kalian sendiri ya. Begitu ada pria yang mendekati, kalian bisa cerita,” ujar Om Danendra.“Cerita apa pun … kami siap mendengarnya,” tambah Tante Iva.“Iya, Om, Tante,” sahut Cheryl.Sementara aku melihat ke arah piring, pura-pura sibuk makan. Hatiku benar-benar terasa campur ad
“Siapa?” tanya Om Danendra dan Tante Iva kompak. Rupanya mereka benar-benar ingin tahu.Aku menghela napas pelan sambil melirik ke arah Cheryl, yang kebetulan juga melirik ke arahku dengan senyum iseng khasnya.Kenapa sahabatku ini selalu saja membicarakan hal yang tidak penting?“Cheryl, sepertinya harus kamu yang cerita deh,” paksa Tante Iva.Aku masih menatap Cheryl dengan pandangan yang aku sendiri tidak mengerti.“Kalau kalian tidak mau cerita, itu artinya hanya Om dan Tante yang menganggap kalian anak sendiri. Sedangkan kalian hanya sekadar bersikap baik dengan kami.” Perkataan Om Danendra menyiratkan rasa kecewa dan itu membuatku praktis merasa bersalah.Lagi-lagi aku menghela napas pelan, memikirkan cara untuk bercerita.“Akan lebih baik kalau Lilian yang cerita, Tanta,” ujar Cheryl, masih menatapku.“Jadi, begini … kemarin saya mendadak pergi ke Pulau Sentosa sendirian. Rencana saya, setibanya di sana mau mengirimkan foto, sekaligus memberi tahu Cheryl, agar dia menyusul saya
“Lalu … kita harus bagaimana, Ryl?” tanyaku. Saat ini tubuhku sudah mulai sedikit gemetaran, dan aku tetap berusaha untuk fokus sebelum traumaku kambuh.“Enggak bagaimana-bagaimana,” jawab Cheryl membuatku praktis menoleh ke arahnya.“Tidak perlu takut! Ada aku dan ada orang kepercayaan om Danendra yang mengawasi kita. Kita pasti aman,” bisik Cheryl.Aku mengangguk samar. Namun, aku tidak bisa menutupi rasa gugup.“Li, tenang! Jangan terlihat gugup!” Cheryl kembali mengingatkanku.“Iya,” jawabku.Setelah menghembuskan napas pelan beberapa kali, aku pun membuka pintu cafe.Melihat kami berdua datang, Keenan langsung tersenyum dan melambaikan tangannya.“Hai! Maaf menunggu lama.” Itu suara Cheryl yang mendahuluiku menyapa.Cheryl pasti tahu kalau aku masih sangat gugup.Cheryl menarik kursi di hadapan Keenan. Sedangkan aku memilih untuk duduk di sebelah Cheryl.“Mau minum?” Keenan menawari.“Tentu saja,” jawab Cheryl sambil melambaikan tangannya, memanggil seorang pelayan cafe.“American
Suasana di antara aku, Cheryl, dan Keenan mendadak terasa canggung. Keenan mungkin bingung dan khawatir salah bicara, sehingga kami akan semakin mencurigainya. Sementara aku dan Cheryl juga merasa tidak enak hati sudah mencurigai Keenan. Akan tetapi, Keenan memang seseorang yang paling mencurigakan. Tidak salah kalau Cheryl menginterogasinya, bukan?“Jadi, apa tujuanmu ingin mengajak kami bertemu?” tanya Cheryl membuka pembicaraan.“Kita sudah pernah pergi bersama sebelumnya dan aku sudah menganggap kalian temanku, tak ada salahnya kita bertemu,” jawab Keenan.Aku mengangguk samar.“Apa kalian percaya dengan alasanku?” tanya Keenan. Raut wajahnya terlihat memelas.“Entahlah,” jawab Cheryl.Sahabatku satu ini memang benar-benar jujur dan apa adanya, sampai sering kali dia lupa menjaga perasaan orang lain.“Begini saja ….” Keenan terlihat mengambil dompet di saku celananya, lalu dia mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada kami.“Setidaknya kalian tahu alamat tempat tinggal dan ka