Semua Bab NINE: Bab 11 - Bab 20
25 Bab
10. Akhir Karir 'EIGHT'
Angin senja menderu kencang, awan kelam menyelimuti angkasa, siap menumpahkan isinya kapan pun suratan setuju. Seorang gadis duduk malas di kamarnya, berpikir lama. Akhir-akhir ini request tak lagi bermunculan, nama-nama baru di situs 'The Number' seakan tersendat, hal yang sungguh mengundang penat. “Jika seperti ini terus, aku bisa mati bosan!” Kematian tetap untuk 9 orang tiap bulan, namun yang menghasilkan uang hanya sedikit. Hari pertama bulan ini, list target di situs mereka sama sekali kosong. Mereka tidak ingin melalui 30 hari seperti sebelumnya, sedikit target yang berarti sedikit uang.   Ia dan pamannya juga manusia, hidup dari hasil membunuh. Maka bisa dibilang finansial mereka sedang dalam bahaya. Bangkrut? Tidak juga, manusia tak akan pernah lepas dari dendam dan kebencian, juga populasi mereka seakan abadi. Tiada kata punah. Sayang akhir-akhir ini sedikit sekali klien. 
Baca selengkapnya
11. NINE
Gadis itu terbangun, mendapati dirinya berbaring di rerumputan hijau, menjulang di puncak bukit rendah. Ia tersenyum, rembulan tampak begitu indah mengangkasa, ditemani gemintang  tanpa terbiaskan cahaya lampu perkotaan. Suasana yang sungguh berbeda dengan kediamannya di kota besar.  Tiba-tiba sesuatu menggenang di lengan yang menumpu badan, kental dan pekat. Saat menoleh, telapak telah penuh dengan darah. Sementara di bawahnya, cairan merah mendanau entah seluas apa. "-" mulutnya terbuka, namun tanpa suara.  Berkali coba berteriak, namun tetap tak ada getaran yang terasa di tenggorokan. Sesaat kemudian barulah sadar bahwa lehernya telah tersayat, tepat merobek tenggorokan. Ia kehilangan suara.  "Tidak!!!"  Hampir sebulan penuh gadis itu tinggal sendiri, tak ada lagi lelaki tinggi dengan rambut rapi yang selalu membangunkan di kala pagi. Tidak akan pernah
Baca selengkapnya
12. Rencana Pembuktian
"Pria itu mati di sana!"    Entah siapa ‘pria’ itu, yang jelas adalah anggota ‘The Number’, Bahkan mungkin 'EIGHT' yang sedang bersama anggota baru, 'NINE'.    'Apakah itu alasan Nina mengatakan pamannya dibunuh 'The Number'? Untuk mengalihkan kecurigaan, padahal merekalah organisasi itu?' Rey bertanya dalam hati.   "Kalian! Serius sekali pembicaraannya, ini kopi, minumlah dulu." seorang wanita muncul dari dapur membawa dua gelas kopi.    "Terima kasih, Sayang." ujar suaminya mengambil segelas.    "Rey, akhir-akhir ini kamu tidak pernah bercerita tentangnya. Siapa? Nina?" Anak itu tersedak saat ibunya membahas hal yang tak ia bicarakan seminggu terakhir. Begitu pula sang ayah.    "Nina? Siapa itu, Nak?"    "Eumm … teman, Yah. Sungguh, dia bukan siapa-siapa." detektif itu melarangnya pacaran, ia berkata perasa
Baca selengkapnya
13. Tragedi Saat Pesta
16:28  Rey duduk di balik kemudi, mobil yang dikendarainya sudah 10 menit berhenti di depan rumah besar bertingkat. Untuk suatu alasan, lebih baik menunggu di mobil ketimbang masuk.  Jika kupaksakan masuk, ada kemungkinan kalau Nina memang pembunuh, persiapannya akan ketahuan. Daripada ia curiga dan merasa terancam, lebih baik aku membiarkan semua berjalan sesuai rencananya. Meski berpikir demikian, hati anak cerdas itu tetap tidak menaruh curiga berlebih, mungkin ia hanya sedang berdandan. Dan aktivitas tersebut pasti memakan waktu bagi wanita, bahkan untuk gadis pendiam seperti Nina.  "Nina! Sudah belum?!"  "Sebentar, Rey! Sebentar lagi kok!" teriakan dari lantai dua terdengar. Anak laki-laki di bawah tersenyum, tidak yakin akan 'sebentar' yang dimaksud.  Tadi sebelum menjemput Nina, ia menyempatkan diri mampir
Baca selengkapnya
14. Bertahanlah, Nina!
              "Tidak." Mata Rey terbelalak, tersadar akan situasi yang tiba-tiba berubah. Berapa pun bisa mati jika menyangkut pembunuh satu ini.    "Diam! Semuanya diam!" Teriaknya nyalak di antara jeritan para tamu, menyambut orang-orang yang mulai beranjak pergi karena panik.    "Jangan ada yang keluar, semua tetap di tempat masing-masing! Tenang, hotel ini dikelilingi oleh polisi!"    Anak itu mengeluarkan lencana detektif milik sang ayah, benda yang sengaja ia bawa kemana pun, tahu bahwa sewaktu-waktu ia akan membutuhkannya.    "Carla, bilang pada polisi untuk menjaga pintu keluar, jangan biarkan siapa pun pergi dari hotel!" Perintahnya pada gadis yang terdiam bingung sembari berlari ke arah toilet yang hanya berjarak 30 meter dari meja tempat ia duduk.    Di sana hanya ada satu pintu masuk untuk akses ke ar
Baca selengkapnya
15. 9 Bukan Angka Sempurna
  'Nine', penerus 'The Number' generasi ke-9.         9 memang angka spesial, bilangan yang jika dikalikan sebuah nominal lalu kau jumlahkan tiap satuannya, maka akan kembali ke angka awal. Sebagai contoh; 9×123=1.107 (1+1+0+7=9). Berapa kali pun kalian mencoba, hasil akan tetap sama. Karena tak dapat dipungkiri, begitulah nyatanya.         Namun … 9 bukanlah angka yang sempurna.   -=9=-         Kalian tahu cermin? Material alam yang dapat memantulkan bayangan konstan tanpa perbedaan kecuali arah. Apa pun jika kau letakkan di hadapannya, akan muncul di seberang, seakan ia adalah portal akses ke dunia artifisial terbalik.          Kehidupan Rey beberapa hari terakhir mungkin tak jauh berbeda dengan istilah cermin, tampak seperti pantulan dirinya di minggu sebelum kejadian.      &nb
Baca selengkapnya
16. Deary De La Rosa
       Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati.       Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi.       Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya.       "Nina, bangun yuk."       Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja
Baca selengkapnya
17. Tekad Sahabat
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama.   Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini.    Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu.   Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah  internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas.   Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Baca selengkapnya
18. Bertaruh Dengan Kematian
  Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda.        Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah.       "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah.      "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan.        Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu.        "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Baca selengkapnya
19. Special Target
Satu detik berlalu ....   Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban.   Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak.   Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata.   'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?'   Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian  ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju.   Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil?   Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123
DMCA.com Protection Status