Semua Bab Pendekar Dua Jiwa: Bab 41 - Bab 50
146 Bab
40. Hakim Baik
Kuda Cao Cao kena racun dan tewas di tengah jalan. Terpaksa dia melangkah sendiri. Beruntung pakaian yang dia kenakan lumayan tebal hingga anak panah yang menancap di punggung tidak mengenai tubuh. Malam semakin larut. Dia tidur di pinggir jalan, menyelimuti diri pakai rerumputan. Sebagai penangkal hewan buas dia sengaja menaburi garam di sekitar, mengolesi badan pakai kotoran.  Cahaya bulan dan bintang menemaninya. "Lagi-lagi Dewa mempermainkanku."  Suara semak bergoyang membuatnya waspada mengeluarkan pedang. Binatang buas atau manusia?  Tiba-tibau puluhan pasukan kekaisaran bertombak datang menyergap. Cao Cao terlalu lemah untuk bergerak. Seorang penunggang kuda mendekat. Menyeringai melihatnya. "Halo C
Baca selengkapnya
41. Kawanan Bandit
Entah permainan apa yang Dewa lakukan hingga Cao Cao terselamatkan dengan cara aneh. Dari malam sampai matahari bersinar terang mereka tak henti berkuda. Cheng Gong meninggalkan pekerjaan demi menemani pahlawan tanpa persiapan matang. Hanya kuda dan sekantong uang serta empat kendi arak menemani mereka. Keduanya tidak memakai jalan utama. Mereka memakai jalan kelinci yang hanya diketahui oleh orang desa setempat. Chen Gong mengusap kening yang berkeringat sambil memacu santai kudanya yang mulai kelelahan. "Ternyata Kakek pencari kayu tadi benar, ya." Cao Cao terkekeh. "Ya. Kita sangat beruntung poster buronan belum sampai ke desa-desa. Andai sudah sampai, mereka pasti berlomba-lomba membunuhku."
Baca selengkapnya
42. Awal Tragedi
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Chen Gong, memandang bandit lalu memandang heran Cao Cao. "Haiya, apa kamu akan menyerah begitu saja setelah petualanganmu selama ini? Aku yakin bandit seperti mereka, setelah mendapat apa yang mereka mau, akan langsung membunuh kita." Cao Cao terkekeh kecil. "Aku harusnya sudah mati ketika kamu tangkap kemarin malam. Nyatanya tidak, kan? Dewa masih ingin bermain-main denganku, dia belum bosan, jadi aku tidak akan mati." Ucapan Cao Cao hanya membuat Chen Gong kesal. "Cukup berkata-kata. Katakan apa rencanamu." Chen Gong menanti jawab cukup lama tapi Cao Cao malah turun dari kuda. "Haiya, dasar!" Chen Gong tidak punya pilihan lain selain ikut turun menemani Cao Cao sambil menarik tali kemudi kedua kuda mereka.
Baca selengkapnya
43. Tragedi Babi Potong
Mendengar semua itu membuat Cao Cao berpikir cepat. Dia mengoper pedang pada sahabatnya lalu berdua mereka keluar kamar, bersenjatakan pedang yang telah keluar dari sarung pedang masing-masing. Kehadiran Cao Cao dan Chen Gong membuat terkejut dua pemuda di depan kamar. Kedua pemuda itu membawa golok di tangan masing-masing.  Sepertinya dugaan Chen Gong benar. Keluarga Luboshe menjual mereka dan jelas mereka hendak memenggal kepala Cao Cao dan Chen Gong demi uang hadiah. "Tuan Cao Cao, ada apa?" tanya salah satu pemuda dengan ramah. Cao Cao menjawab dengan sadis menusuk perut pemuda. Pemuda kedua ketakutan sampai badannya bergetar dan tidak bisa bergerak.  Cekatan C
Baca selengkapnya
44. Pengkhianat Dunia
Setelah dosa besar yang mereka lakukan, Cao Cao dan Chen Gong bingung harus apa. Luboshe orang baik. Tetapi mereka mengkhianati kebaikannya. "Ada apa, kenapa buru-buru? Matahari belum terbit," ucap Luboshe, turun dari kuda pamer beberapa kendi mahal. "Lihat, arak ini enak. Ayo kita pulang dulu ke rumah menikmati arak." Chen Gong menangis karena hal ini. Dia turun bersama Cao Cao dan menjadi yang pertama memeluk kaki Luboshe. "Maafkan kami, Paman. Maafkan dosa kami." "Haiya." Luboshe yang baik salah mengerti. Dia membantu Chen Gong berdiri, merapikan pakaian pria itu. "Kenapa sampai berlutut? Tidak apa-apa, aku tahu kalian tidak betah di rumah kan?" "Bukan begitu, tapi--" Ca
Baca selengkapnya
45. Baju Perang Xiang Yu
Nyala obor Cao Cao  bergoyang-goyang menyinari tembok batu berlumut goa. Kelelawar beterbangan seakan menyambut dengan kepak sayap hitam. Beberapa kali dia nyaris terjerembab, hingga langkah membawa sampai ke ujung goa. Batu besar menutupi jalan.  Dia meraba-raba tembok batu mulus hingga telapak tangan menekan sesuatu yang menjorok masuk. Tembok itu terbuka secara otomatis ke atas. Nyala obor di dalam ruang pengap menyala satu persatu. "Haiya, ruang apa ini?" Cao Cao masuk ke dalam.  Terdapat batu besar di bagian tengah ruang goa. Di batu itu, sebuah pakaian perang berdiri gagah di belakang sebuah kitab berdebu. (Baju perang Xiang Yu, tombak Xiang Yu, kitab aura hitam Xiang Yu)
Baca selengkapnya
46. Kenangan dan Cinta
Sekarang giliran Bian menguasai tubuh Zhou. Dia memakai pakaian putih hijau yang sangat nyaman juga lembut. Bian paling suka mengelus pakaian supaya tidak kusut. Ketika murid baru lain memakai waktu mereka untuk menjelajah Huasan, Bian menentukan sarang barunya. Bagai ikan koi masuk ke dalam sungai, setelah pelajaran pertama dia mendekam di perpustakaan. "Haiya Bian! Kalau cuma mau membaca, mending di dunia bawah sadar!" protes Zhou dalam alam bawah sadar. "Membosankan sekali, mending melihat orang berlatih ilmu bela diri, Bian, ayo pergi, Bian, aku bosan!" "Zhou diam," bisik Bian. "Jangan menggangguku. Lihat, banyak buku tua yang tidak dimiliki perpustakaan kerajaan. Aku ingin membaca semua."
Baca selengkapnya
47. Tiga Serangkai Bu
Tiga senior Huasan melangkah cepat di lorong menuju paviliun utama. Mereka tidak peduli menabrak orang, tiada yang berani menghalangi langkah mereka.Mereka tiga serangkai Bu. Bu Bo berbadan gendut, Bu Bi berbadan kurus dan Bu Ba berbadan kekar. Mereka melihat adegan terlarang, adegan panas di perpustakaan. Sangat tabu bagi orang Huasan berciuman sebelum umur mereka cukup. Mereka tahu data murid-murid baru. Qiao memang cukup umur, tapi Zhou dia belum lima belas tahun."Kita harus melapor, supaya dia ditendang ke luar Huasan," ucap Bi. Giginya depan besar seperti gigi tikus."Biar saja, namanya anak muda," jawab Ba di tampan, merapikan rambut. Dia mengedip ketika melihat gadis, mengundang mereka tersenyum.
Baca selengkapnya
48. Kembalinya Kaisar
"Ada apa ini?" tanya Bu Guru. "Dia menyerang duluan," sahut Bi menunjuk Shi. "Tanya sama yang lain, mereka melihat kok!" "Sekarang ikut ke pagoda Air Terjun!" bentak Bu Guru. "Murid senior, bawa mereka sekarang juga!" Para senior melempar kain melayang. Kain putih sutra tembus pandang, tapi sangat kuat menggulung badan ke empat pria. Kain berfungsi seperti tali tambang. Mereka ditarik menuju pagoda Air Terjun, di belakang air terjun, tempat guru Tao Jin berada. Asap dupa wangi semerbak di ruang kayu pagoda. Di depan patung Budha emas bertangan delapan, Tao Jin duduk di atas bantal. "Permisi Guru, ada pelanggaran yang terjadi." Lima murid di lempar ke hadapan guru Tao Jin. Bu
Baca selengkapnya
49. Ikatan Tiga Serangkai
Liu Bian memijak taman bunga. Biasanya Zhou dan Qiu ribut, kali ini keduanya membungkuk menyambutnya. "Selamat datang Kaisar Bian." Kompak keduanya bicara. Pipi Bian memerah, mengetuk kepala keduanya bergantian. "Sudah aku bilang jangan berubah sikap, kenapa kalian malah seperti ini?" "Ide Qiu tuh." "Eh, enak saja!" sentak Qiu. "Zhou yang menyuruh!" "Wanita mana mau salah," komentar Zhou. "Apa kamu bilang?" Gemas Qiu menarik kedua pipi Zhou sampai bibirnya melar ke kiri dan kanan. "Kamu sendiri tadi bilang, Qiu ayo sambut Bian seperti di istana, kan!" Bian tersenyum kecil. Ini yang dia nanti, sambutan penuh ceria dari kedua saha
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
15
DMCA.com Protection Status