Semua Bab Dream first class: Bab 41 - Bab 50
72 Bab
40. Tuhan dan Kaktus
Pemirsa, pelaku berinisial E batal dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan karena diduga mengidap PTSD (post traumatic stress disorder). Disebabkan oleh pelecehan seksual yang dilakukan oleh korban atau teman dekatnya; berinisial R, pelaku E menyatakan sendiri motif dari pembunuhan yang ia lakukan pada sahabatnya tersebut karena didera rasa cemas akan takut dinilai gay oleh masyarakat umum. TegAku menekan tombol off pada remot TV. Berpaling sejenak dari depan monitor tersebut lalu berbaring di kasur. Cahaya sore menyelinap di sela-sela gorden yang tertutup. Terbias bersama debu-debu halus yang melayang mengudara, lalu suara detik pada jarum jam pun berdenyut. Mengosongkan pikiran.“Masih kuat? tanya suara pada hatiku tiba-tiba. Aku memejamkan mata untuk menahannya. “Ayo, bunuh diri saja!”Rasanya seperti orang lain. Bisikannya selalu tentang hal-hal yang negatif, semacam setan. Belakangan ini aku menyadarinya, tapi aku tak berusaha melawan. Sebab dibutuhkan banyak energi untuk mel
Baca selengkapnya
41. Kondisi kita
“Hai,” sapaku pada seseorang yang tengah duduk bersandar di ranjangnya tepat setelah membuka pintu salah satu kamar rumah sakit Trauma Center. Ia melihatku dengan sedikit tegang, namun tak membalas sapaan. Ini terasa asing. Aku mencoba tenang dengan menutup pintu kamarnya kembali. Berbalik menghadapnya yang kini malah menunduk; meraba-raba rasa linglung atas situasi di luar dugaan. “Apa kabar?” tanyaku masih di tempatku lebih dekat beberapa inci. Menahan napas di dada karena gugup setengah mati.Ia membeku. Tak lama kemudian berusaha sekuat tenaga mengangkat pandangannya dengan lebih berani. Tanpa kendali, aku menarik senyuman canggung karena ingin mencairkan suasananya, namun ia masih dalam kondisi yang sama. Tubuhnya kurus dan pipinya tirus. Ketika itu aku mengerti lintah apa yang telah menyedot sari-sari kebahagiaannya. Mungkin ia juga sepertinya mengerti kondisi apa yang tengah kualami dengan tatapan nanarnya yang berkedip lambat, tak mampu terucap. Hanya berpaling. Aku menger
Baca selengkapnya
42. forgiveness
“Maafin aku, Esa,” kataku. Merasakan lemahnya tangis yang meletup-letup pada permukaan punggungnya ketika kuusap dengan lembut. Aku tidak bisa menolongnya sebagai seorang teman. Lebih tepatnya lagi, aku tidak mengerti harus melakukan apa kala itu, ketika melihatnya berciuman, bercumbu, berteriak, memukul, menangis, bahkan hingga berlumuran darah. Semua hanya tersaji secara Cuma-Cuma di depan mata hingga membuat kedua kakiku bergetar lemas di tempat sebelum berakhir limbung tak sadarkan diri.“Tapi aku yakin itu sepenuhnya bukan salah kamu. Pasti ada sebagian kesalahan orang lain juga yang membuat kamu tega melakukan hal ini, kan?”Ia masih menangis. Kali ini mencengkram bajuku agar bisa menyembunyikan wajahnya lebih dalam lagi pada ceruk leherku. Sangat ketakutan.Aku menariknya perlahan. Mencoba menengok wajahnya yang menunduk lalu mengusap air matanya seperti halnya Rico saat menangis waktu itu. Aku seperti berhadapan dengan dirinya versi anak-anak yang ternyata sangat dipenuhi bany
Baca selengkapnya
43. Aku
“Soal pernikahan kita …”“Nggak perlu dipikirin. Yang penting kamu cepat sembuh supaya bisa melanjutkan aktivitas lagi, ya.”“Maaf karena aku menghancurkan semuanya.”“Eh, sudah, sudah. Lebih baik kamu banyakin istirahat. Jangan pikirin apapun yang bisa mengganggu kesehatan mentalmu untuk sekarang. Aku pulang dulu, ya.”Saat kuberanjak, ia langsung menggamit lenganku. Memasang raut merana. Aku terpaku sejenak sebelum terduduk kembali.“Kenapa?” tanyaku. Ia pun memelas.“Kamu nggak sedih?” tanyanya.Seketika dadaku terasa penuh—sesak dirundung kesedihan. Ternyata yang kuperlihatkan dari tadi adalah kepura-puraan. Itu memang sudah menjadi kebiasaanku. Tidak pernah mempertunjukan kekacauan pikiran sedikitpun pada orang lain. Tapi aku menggigit bibir. Ingin sekali saja bersikap manusiawi. “Sedih,” timpalku dengan enteng. Kemudian menaikan alis. “Tapi mau bagaimana lagi.”Ia pun dengan lesu memandangi jemari kami yang terasa kebas sementara aku berusaha menaikan suasana hati dengan ring
Baca selengkapnya
44. Maurer anak baik
Oke. Sampai sini mungkin kau sudah mulai bosan mendengarkanku membual tentang hidup. Lembaran demi lembaran terasa habis percuma. Tenang. Kau tidak merasakannya sendiri, karena aku juga. Haha!But, bisa kupastikan cerita ini akan habis sebentar lagi dengan akhir yang bahagia. Semua orang suka kebahagiaan bukan? Tapi kenapa kau meletakkannya di akhir? Kenapa kau tidak meletakkan kebahagiaan disepanjang hidupmu? Oke. Kuubah subjeknya. Kenapa selama ini aku menyiksa diriku atas ketakutan yang berada di luar kendali gerak motorikku? Kenapa masa depan selalu menjadi momok yang menakutkan untuk mencapai kesuksesan? Apa definisi sukses sebenarnya? Apa diantara kalian, sudah ada yang mencapai kesuksesan? bagaimana rasanya menjadi sukses? Apa kalian bahagia?Dulu, sehabis pulang sekolah waktu SD, aku suka sekali berbaring di sofa ruang tamu sambil membaca buku hasil pinjaman dari perpustakaan sekolah. Jika isi dari buku itu mampu membuatku terpukau, maka aku akan berimajinasi tentang bagaimana
Baca selengkapnya
45. Shadow
Keesokan harinya di rumah sakit pukul 11:30, aku mengetuk pintu lalu masuk ke dalam kamar Esa yang masih redup. Aroma terapi yang mengoar dari disfuser tercium kuat sebelum sinar matahari perlahan menerobos masuk ketika aku bergeser pelan menyingkap gorden tinggi dari ujung ke ujung, membuat seseorang yang masih menyelimuti diri di atas ranjangnya tersebut sejemang membuka mata. Aku berdiri menunggu, membiarkannya secara mandiri mengumpulkan kesadaran.“Mau jalan-jalan keluar?” tanyaku sambil berjalan mengambil sesuatu di dekat tas. Ia pun berkedip pelan. Mengamatiku meletakkan sepot kecil pohon mini di atas mejanya. Pohon itu langsung mendapatkan sinar matahari dengan cukup baik.“Apa itu?” tanyanya. Aku pun mendengus menunjuk sesekali ke arah atensi. “Bonsai kimeng,” kataku. Lalu duduk di sebelahnya. Ia pun membelalakan mata, mencoba bangun untuk menyandarkan punggung.“Bisa sekecil itu?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. “Bisa.” Lalu kepalanya bergerak menunjukkan kepahaman. Berhasil
Baca selengkapnya
46. Ayo pergi
Terengah-engah. Seorang perawat membangunkanku dengan kuat dan menarikku untuk menjauh dari genggaman pasien. Tanganku terasa dingin ketika melihat matanya yang mencolok dalam kegelapan. Ia mengerang dan memberontak tak mau dipegang. Oh, Tuhan. Apa yang barusan terjadi? Bayanganku tadi sempat terbesit seperti saat Richie dengan posisi mengangkang setahun silam hingga tubuh ini tidak lagi bisa merasakan kaki yang terkulai lemas.“Nggak apa-apa, mbak?” tanya Seorang Suster. Aku terkesiap, mengangguk. Berjalan mengikuti perawat Perempuan yang memapahku untuk keluar dari kamar, sementara erangan Esa perlahan meremang saat pintunya di tutup. Aku mengecek keningku yang lecet. Lalu kedua tangan memeluk pundak sendiri dengan perasaan yang sangat amat terluka. Aku menangis.***Tahukah kamu, kita dapat berkontribusi menciptakan pikiran dan perilaku seseorang melalui tindakan yang kita tunjukan kepada orang lain. Jika tindakan kita membuat orang lain terluka, maka besar kemungkinan orang terseb
Baca selengkapnya
47. Make it better
“Aku akan membantu kamu mentrigger ingatanmu.” “Iya. Caranya gimana?” “Pertama-tama kamu harus dipastikan sembuh dulu. Tapi hampir nggak mungkin dengan kondisi kamu yang semakin buruk ini.” “Memangnya aku kenapa?” “Dokter mengidentifikasi kalau kamu memiliki gejala skizofrenia.” “Hah?” Ia terkejut tidak percaya. “Apa lagi itu?” tanyanya bingung. Aku pun mencoba menjelaskannya dengan sederhana. “Skizofrenia itu adalah gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berpikir, merasakan, dan berprilaku. Kalau kronis, pengidapnya bisa mengalami halusinasi, delusi, kekacauan dalam berpikir, dan perubahan sikap. Nah, gejala yang mulai kamu alami ini namanya Psikosis, dimana kamu kesulitan membedakan antara kenyataan dengan pikiran.” “Terus,” potongnya dengan lurus saat masih ada perkataan yang menggantung di lidahku. Bola matanya menghadap tembok seperti tengah membayangkan sesuatu. “Apa bisa sembuh?” Aku yang sempat menarik napas lalu membuangnya sambil menurunkan pundak pun me
Baca selengkapnya
48. Aku juga sakit
Keesokan harinya, aku sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Pihak rumah sakit kota memberitahukan bahwa hari ini Olin sudah bisa pulang. Dan aku dengan Esa masih belum selesai memikirkan bagaimana cara memberitahukan Olin secara hati-hati bahwa kakaknya sudah meninggal. Terlebih meningggalnya karena dibunuh teman kakaknya sendiri. Tadi malam Esa mengacak-ngacak rambutnya sambil memohon. Ia sama sekali belum siap dengan kenyataan bahwa Olin bisa saja membencinya seumur hidup. “Bagaimana kalau kita sembunyikan dulu untuk saat ini?” “Sampai kapan? Sampai Olin dewasa?” kataku seolah tanpa emosi. Menaikan kedua kaki di atas sofa untuk bersila. “Cepat atau lambat, mau tidak mau, seberapa lama pun disembunyikan, ia akan tetap membenci kamu karena telah membunuh kakaknya.” “Tapi anak itu masih sangat kecil buat merasakan sakit, Nom. Aku sayang banget sama dia dan dia juga sayang banget sama aku. Aku nggak siap untuk dibenci sekarang.” “Kita bisa ngomong pelan-pelan, Sa. Kita jelaskan ken
Baca selengkapnya
49. Pertanyaan anak-anak
“Tapi aku ngerti, kok, kalau semua pasti ada waktunya. Olin belum cukup pulih, sementara kamu juga sedang sakit. Kalau Olin diberitahu sekarang, mungkin dia akan membenci kamu dan malah menyakiti dirinya sendiri. Ia tidak akan bertumbuh dengan maksimal. Anak-anak belum punya kemampuan berpikir yang mumpuni tentang dunia orang dewasa, kan. Dan lebih-lebih jika kamu memberitahukan semuanya sekarang, mungkin skizofreniamu akan semakin menjadi-jadi. Mungkin semua akan lebih hancur dari sekarang. Itu mangkanya kamu bersikukuh agar semua tetap stabil, kan?” Esa tak bergeming. Bibirnya pucat sedangkan kedua bola matanya berkaca-kaca. Aku mengelus lengannya pelan. “Semua orang di dunia ini ternyata sakit, Sa. Kamu nggak boleh berpikir kamu sedang sendiri, nanti kamu cepat capek. Keberadaan aku di sini bukan hanya sekadar menemani kamu, Tapi juga menemani rasa sakitmu. Karena aku punya itu.” Esa pun akhirnya mengusap air mata yang menetes di pipinya. Mengangguk membenarkan perkataanku lalu m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
345678
DMCA.com Protection Status