Semua Bab Shadow Under The Light: Bab 41 - Bab 50
92 Bab
SMA Royal
"Kau siap?" tanya Eve, ia mematutku dari atas hingga ke sepatu kets hitam yang kukenakan. Aku mengangguk, berharap ia tak melihat lingkar hitam di bawah mata karena semalaman aku hampir tak bisa menutup mata. Lagi dan lagi, membaca data diri anak bernama Owen. "Hei, Mama, pagi!" sapa Boni, ia tergelak melihat penampilan Eve pagi ini. Wanita itu mengenakan gaun selutut dengan jepit di rambut pendeknya dan kacamata yang menambah kesan usia matang. "Jangan! Tutup mulutmu!" Eve memperingatkan dengan menggoyangkan jari telunjuknya. "Pagi, Sayang," sapa Jodi, mengecup lembut pipi Eve. Dia sangat menghayati peran ini, lain dengan Eve yang langsung mendelik tak senang. Aku hampir tertawa melihat interaksi ketiganya. Hampir, demi menjaga kesopanan supaya mama tidak marah. George telah siap di balik kemudi, melambai tak sabaran pada kami. "Cepatlah, ini hari pertama Ellena!" t
Baca selengkapnya
Membuat Dia Marah
Aku meneguk ludah gugup. Alis tebal Owen menurun tajam, matanya menyipit tak senang."Kau mata-mata?" bisiknya.Aku mengedip lambat, pura-pura mencerna kalimatnya. "Apa maksudmu?""Jangan berpura-pura. Perlihatkan telingamu.""Telinga, kenapa?" Sengaja mengulur waktu, aku berbicara cukup keras untuk mengundang perhatian murid lain."Perhatian!" Bu Yuanita memukul papan tulis.Aku menoleh terkejut, menarik cepat earpiece kepala peluru dan melemparkannya ke bawah meja."Maaf Bu, aku bertanya pada Owen tentang soal ini." Aku menunjuk asal ke soal yang baru kusalin.Bu Yuanita berdeham. "Ya sudah, lanjutkan lagi, jangan ribut," pesannya.Aku mengangguk antusias.Setelah Bu Yuanita kembali fokus, jemari Owen mencolek bahuku meminta perhatian. Aku bersikukuh tak menoleh, pura-pura sibuk. Bahkan menjatuh
Baca selengkapnya
Dianggap Abnormal
Mereka tahu, apa yang terjadi antara aku dan si anak ingusan bermata biru.Well, kekacauan besar terjadi di rumah. Hari pertama yang hangat berubah menjadi sedingin es setelah hari kedua. Great!Sialnya mereka baru menyadari merekrut agen yang tak bisa merayu dan hanya bisa melemparkan kalimat sarkastis. Too late.Entahlah, aku merasa memang bukanlah diriku yang dulu, si penakut, si pengecut, si lemah dan si penurut. Si manis sudah mati lima tahun lalu.Eve mengomeliku hampir satu jam. Sementara Boni dan Jodi keluar untuk mengawasi si anak ingusan menggunakan tablet dengan sinyal dari pelacak kecil yang kupasang."Maaf," ucapku tanpa perasaan bersalah.Eve memijit pelipisnya. "Aku tidak akan melaporkan kekacauan yang kau buat hari ini, besok mulailah mendekati Owen lagi."Aku mengangguk pelan. "Kau tidak ikut dengan mere
Baca selengkapnya
Berteman Dengannya
Sejak kesan pertama yang kacau berganti pertemanan yang aneh bin ajaib, si anak ingusan tak henti-hentinya menggangguku dengan segala cara. Setiap pelajaran dimulai dia akan bertanya padaku seolah aku anak paling pintar di kelas ini. Apa dia lupa? Aku ini anak pindahan.Mulai dari mencolek bahu, melempar penghapus, hingga memilin rambutku menjadi jalinan kepang kecil-kecil.El, lena, ellena, Ms. Hopkins hingga Gadis Sarkas. Semua disebutkan Owen agar mendapat perhatianku. Ok! Sebenarnya aku cukup simpati padanya karena tak seorang pun di kelas ingin berteman dengan si pemarah Owen. Mungkin itulah sebabnya dia menjadikanku sasaran empuk."El, rambutmu bau hari ini, kau yakin sudah mandi?" Ia mencolek bahu dan memainkan helaian rambut hitamku."El, makan siang ke kafetaria yuk, aku yang traktir."Tak mendapat tanggapan bukannya menyerah si anak ingusan memakai cara kekerasan. Ia menendang ku
Baca selengkapnya
Mengingatkanku Padanya
Aku berdiri di gerbang depan rumah Keluarga Riley dan mendesah berat. Telunjukku memencet bel."Ellena di sini," seruku pada speaker di samping bel."Aku datang!" seru si anak ingusan dari balik alat penghubung itu.Owen Riley telah mengganti baju sekolahnya dengan pakaian kasual. Kaos oblong gambar Spiderman dan celana kain enam per delapan. Ia membuka pintu gerbang dengan senyum semringah, tanpa tedeng aling-aling menggandeng jemariku seolah kami adalah sepasang kekasih. Gila.Aku memicing melihat tautan tangan kami. "Kau mau dibanting?" tanyaku, masih dengan suara datar. Aku tak suka disentuh oleh pria mana pun, kecuali tentu saja hanya Axel yang boleh melakukannya."Maaf, maaf." Owen melepaskan tanganku. Bukannya marah atau tersinggung, anak ini justru menampilkan cengiran jail. Dasar maso!"Ayo, ikut!" Ia berjalan di sampingku, mengiringi langkah memasuki hal
Baca selengkapnya
Apakah Ini Misi yang Gagal?
Tatapan kami bertemu sangat lama. Untuk pertama kali setelah lima tahun kematian Axel, jantungku berdetak kencang, bukan karena adrenalin akibat kegiatan beladiri yang sering kulakukan. Bukan. Jantungku berdetak cepat karena wajah tampan Owen yang menuntut jawaban di hadapanku.Benarkah aku takut jatuh cinta padanya? Pada bocah ingusan ini? Tidak mungkin! Tidak! Aku menyangkal ide itu jauh-jauh. Pertama, dia hanya duplikasi yang mengingatkanku pada Axel, bukan Axel sebenarnya. Aku mendorong tubuh Owen menjauh. "Tidak, aku takut kau yang akhirnya jatuh cinta padaku." Diam-diam tanganku menyentuh kalung yang dikenakan Owen dan menempelkan pelacak kecil di bagian bandul bentuk bintang itu.Owen menggeram marah pada akhirnya. "Keluar," usirnya. "Kalian semua penipu. Kukira kau berbeda, nyatanya sama saja. Apa kau menipuku juga soal obat itu." teriaknya berang.Aku menggeleng lemah, memaklumi kemarahannya, jika jadi dia aku juga akan marah besar dibohong
Baca selengkapnya
Kecupan
"Masuk!" perintah Owen setelah aku menunggu di depan gerbang rumahnya hampir setengah jam.Pintu mobil dibukakan sopirnya untukku. Masih sempat kulihat Alpha tim B melambai dari halaman Keluarga Hopkins, menyemangatiku menghadapi anak ingusan ini.Aku masuk ke dalam mobil, duduk di samping Owen dan memasang sabuk pengaman ke dada. Remaja tampan itu menoleh padaku, berharap mendapat reaksi marah atau apa pun itu. Simple-nya aku terlalu lelah untuk marah, lebih baik tak mengacuhkan si pembuat masalah.Pandanganku berlabuh pada kaca di samping, berpura-pura menikmati pemandangan. Merasa diabaikan, Owen menggertakkan gigi dan menyenggol bahuku marah."Kau tak bertanya padaku?"Aku tak ingin menjawab, buat apa? Jika jawabannya hanya untuk membuatku merasa kesal. Buang-buang energi saja. Jika aku harus terjebak dengannya, lebih baik menjaga profesionalitas dan menjadi bodyguard dingin seutuhnya.
Baca selengkapnya
Bar Luminos
Singkat kata, kami diceramahi dari siang hingga ke sore, bisa bayangkan bagaimana panasnya kupingku mendengar ocehan Bu Yuanita selaku wali kelas dan kepala sekolah, belum lagi ditambah orang tua murid yang dipanggil hari itu juga.Empat keluarga si tukang rusuh, dua keluarga klien dan anggota Alpha tim B. Lengkap sudah hari paling mengesalkan dalam hidupku. Berdasarkan penuturan dari empat perusuh itu, mereka hanya melemparkan lelucon yang membuat Owen Riley melayangkan pukulan pada salah satu dari mereka. Lalu Owen, si tersangka utama dalam kasus ini memilih untuk bungkam seribu bahasa.Apa pun dan bagaimana pun pertanyaan dilontarkan oleh para guru, dia memilih menggigit bibir dan menutup mata. Aneh! Dengan tingkah seperti itu, dia malah akan mendapat hujatan bertubi-tubi, secara tidak langsung mengakui kesalahannya sendiri.Namun entah mengapa, nuraniku berkata remaja ini tidak akan melakukan sesuatu tanpa diprovokasi
Baca selengkapnya
Apakah itu Dia?
Pria bersetelan hitam legam itu menatapku terkejut. Kacamata hitam beserta masker menutupi romannya. Ia bersiaga, mengeluarkan sebilah belati ganti pistol yang sudah terpental jauh.Perawakannya tubuhnya cukup tinggi, proporsional. Topi menutupi seluruh bagian rambutnya menyisakan kening mulus seputih pualam. Ia jelas tak ingin siapa pun mengenali wajahnya, tipikal pembunuh bayaran profesional.Pria itu bergerak mendekat, aku mencabut belati dari sabuk, bersiap untuk bertarung."Owen, tetap menunduk!" perintahku. Si bocah masih terlihat uring-uringan di bawah lantai.Gerakan pembunuh itu berhenti saat mendengar suaraku. Aku mengawasi gerakannya, kenapa? Tangannya bahkan tampak gemetar sedikit. Apa dia mengenalku? Mengambil kesempatan yang ada, aku melompat sambil melayangkan tendangan berputar padanya. Pembunuh itu terkesiap kaget. Ia menangkis dengan lengan untuk melindungi daerah vital.Aku berhasil membuat beberapa langkahnya mundur
Baca selengkapnya
Dia Bilang Suka Padaku
Mereka memindahkanku hari itu juga seolah tak ada hari lain keesokan harinya. Setelah merasa baikan dan keluar dari rumah sakit. Owen Riley, si anak remaja tampan bermata biru cemerlang membawaku kembali memasuki rumah megah Keluarga Riley."Ini kamarmu, El!" Ia sangat bersemangat menemaniku ke dalam kamar.Aku menaruh koper ke lantai, melihat ruangan besar berisi tempat tidur berwarna putih, karpet, dan sofa yang juga senada. Ini lebih menyerupai kamar hotel daripada kamar tamu.Great. Setidaknya jauh lebih baik dari kamarku sebelumnya."Jika kau lapar malam-malam, ada beberapa camilan di sini." Owen membuka pintu di dinding yang ternyata adalah kulkas. Mataku mendelik kaget, ternyata lemari pakaian pun senada dengan warna dinding, membuat ruangan tampak rapi dan luas. Luar biasa. Dia bilang ini sedikit? Isi kulkas penuh dari atas sampai ke rak bawah berisi aneka makanan. Kebanyakan merupakan minuman karbonasi, makanan ringan, juga cokelat batang berbaga
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
34567
...
10
DMCA.com Protection Status