Semua Bab RAHASIA IBU: Bab 11 - Bab 20
90 Bab
Bab 11
Semenjak kejadian itu, aku lebih banyak diam dan mengerjakan pekerjaan seperlunya. Sikap Nyonya Jovita dan suaminya tampak biasa saja, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Saat akan sarapan pagi, Kevin menatap ke arahku. Sorot matanya memancarkan rasa bersalah. Aku tersenyum, mengisyaratkan seolah semua baik-baik saja. Dia membalas dengan senyuman, kemudian mulai mengambil makanan. Seperti biasa, kami duduk di dapur, menunggu keluarga itu selesai makan. “Hanya orang yang berhati baja bisa bekerja dengan Nyonya Jovita,” ungkap Bik Inah tiba-tiba.Aku menatap perempuan tua itu sekilas. “Saya ingin keluar, Bik.” Ini sudah aku pertimbangkan tadi malam. Bekerja dengan keluarga ini hanya akan menyiksa batin. Sebelum terlambat, lebih baik mundur.Bik Inah menatapku, kemudian kembali memandang keluarga bahagia itu yang sedang menikmati sarapan pagi. “Jangan keluar dulu. Tunggulah sebulan.”“Lama-lama Wulan tidak kuat, Bik.”“Nyonya Jovita itu akan bersikap kasar, jika kita melakukan kesalaha
Baca selengkapnya
Bab 12
Mataku jadi berkaca-kaca; takut, dan sedih. Beberapa kali aku berpikir, bagaimana cara mengumpulkan uang sebanyak itu. Jika mengandalkan gaji sebagai pembantu, akan butuh waktu berbulan-bulan. Padahal, aku ingin keluar bulan depan dari rumah itu. Alternatif lain dengan mengatakan yang sejujurnya pada Nyonya Jovita, tetapi ... apakah ia akan percaya? Kemarin saja tanpa basa-basi ia langsung menjambak kerudungku.“Jangan menangis. Saya tidak suka perempuan cengeng.”“Wulan benar-benar tidak punya uang. Wulan hanya seorang …,” ucapanku terhenti, ketika telepon genggam laki-laki itu berdering. Ia tak banyak bicara, tetapi begitu serius mendengarkan si penelepon.“Baiklah, saya akan ke sana.” Laki-laki itu menutup panggilan, kemudian bangkit dari tempat duduk. “Di mana kamu tinggal?”“Di blok F nomor 4. Kenapa?”“Nanti saya akan ke sana!” Ia melangkah pergi, meninggalkanku begitu saja. Orang kaya yang suka seenaknya!“Tuan! Jangan datang!” seruku sambil mengejarnya.Langkah laki-laki itu y
Baca selengkapnya
Bab 13
Rasanya tak tega menolak ajakannya. Kami pun bersiap. Sebelum berangkat, Kevin minta izin pada kedua orang tuanya.“Sudah selesai PR-nya, Sayang?” Tuan Amar bertanya. Kata-kata mesra yang diucapkan dengan nada lembut ini sangat menenteramkan hati, tetapi sayang bukan untukku.“Sudah, Pi. Tadi dibantu Mbak Wulan.” Terangnya menetap ke arahku. “Mbak Wulan pintar matematika, Pi. Ia bisa mengajari aku sampai bisa. Nanti aku lesnya sama Mbak Wulan saja.”Nyonya Jovita menatap ke arahku. Ia seperti tak percaya. “Tidak usah, tetap di tempat les. Guru di sana lebih profesional dan teruji.”“Tapi, kan—”“Tidak ada tapi-tapi,” potongnya cepat, sementara Tuan Amar tak menanggapi permintaan Kevin. Dengan wajah cemberut, Kevin izin pamit. Aku hanya tersenyum, menatap Kevin yang berusaha memperjuangkanku itu. Keluar dari garasi, kami bersepeda menuju taman. Seperti biasa, Kevin berbaur dengan teman sebayanya, sementara aku duduk di bangku memperhatikan setiap gerak-geriknya.“Tidak bersepeda?” T
Baca selengkapnya
Bab 14
Aku menghitung mundur hari-hari di rumah ini. Bik Inah bilang, jika aku keluar setelah satu bulan bekerja, maka Nyonya Jovita akan memberikanku gaji. Namun jika belum cukup sebulan, maka ia tak akan memberi apa-apa. Setidaknya dengan penghasilan yang kudapatkan nanti, bisa menjadi modal untuk hidup dikemudian hari.“Wulan, tolong antarkan minuman ini ke Tuan Amar yang duduk di sana.” Tunjuk Bik Inah pada ruang keluarga. Dengan tangan gemetar, aku berjalan membawa nampan. Ayah duduk di sofa, pandangannya fokus pada benda pipih yang ia pegang. Aku berjongkok, dan dengan hati-hati meletakkan minuman di atas meja. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat wajah Ayah dari dekat. Sekilas, kami memang mirip. “Ini minumannya, Tuan.”“Hm,” jawabnya tanpa beralih dari benda pipih itu.“Kalau sudah meletakkan minuman, pergi ke dapur. Jangan di situ terus!” seru Nyonya Jovita mengagetkanku. Perempuan itu menatap tajam, kemudian duduk di samping suaminya.Aku bangkit, dan mengangguk. “Iya, Nya.”
Baca selengkapnya
Bab 15
Perkataannya membuat jantungku berpacu kencang. Segara kuambil handphone dari saku rok, kemudian menghubungi laki-laki itu. Ia tak boleh cerita pada Tuan Amar dan Nyonya Jovita.“Maksud Pak David, apa?” tanya Ayah. “Mobil saya dirusak secara tidak sengaja oleh seorang gadis. Ia menyelipkan sebuah permintaan maaf di secarik kertas. Katanya, dia tinggal di sini. Karena itu, saya datang ke sini ingin bertemu dengannya,” aku laki-laki itu.Aku kembali pada handphone yang menyala. Panggilan terhubung. Aku mengintip, guna melihat reaksi si penerima. Benar saja, laki-laki itu merogoh saku celana. Masih bisa kulihat keningnya berkerut, saat melihat layar datar itu.Tanpa mengucapkan salam, aku langsung bicara ketika panggilan diangkat, “Tuan, tolong jangan bicara pada Nyonya dan Tuan Amar, apalagi meminta ganti rugi pada mereka. Wulan di sini hanya seorang pembantu. Wulan janji akan bayar, tetapi beri keringanan.”Hening, tak ada jawaban. “Tuan, Wulan mohon.” Aku bicara sepelan mungkin.
Baca selengkapnya
Bab 16
“Wulan, terima kasih,” ucap Bik Inah, ketika kami menata makanan di meja. “Ini masakan yang Wulan bisa, Bik. Semoga saja Tuan dan Nyonya suka.”“Tidak apa-apa. Sebentar, Bibi bilang nyonya dulu.” Perempuan itu beranjak pergi. Ketika aku sedang menuangkan air ke dalam gelas, mereka datang, dan kami pun beranjak ke dapur.“Lo, kok, masakannya ini?” tanya Nyonya Jovita heran, ketika melihat menu di meja.“Maaf, Nya, tangan Bibi terluka. Jadi digantikan Wulan yang masak,” Bik Inah menjelaskan.Makan malam di mulai. Aku deg-degan, ketika mereka mulai mencicipi masakanku. Tuan Amar mulai mengambil nasi dan lauk, kemudian menyantapnya. Seketika ia terdiam cukup lama, bibirnya masih bergerak-gerak. Pandangannya menerawang ke depan, seperti sedang menilai masakanku.“Kenapa, Pi?”“Ini siapa yang masak, Mi?” Tuan Amar bertanya.“Wulan, Pi. Tangan Bik Inah terluka, jadi digantikan Wulan. Kenapa? Apa Papi tidak suka?”“Suka. Ini enak.” Tuan Amar menoleh ke arah dapur, tempat kami menunggu. Sek
Baca selengkapnya
Bab 17
Permintaan Mas David membuatku kaget, tak percaya. Bagaimana mungkin ia jatuh hati padaku, sedangkan kami baru beberapa kali bertemu. Kutatap wajah itu, tampan, kaya, dan berkarisma. Perempuan mana yang tak akan jatuh hati padanya? Namun, tawarannya untuk menjadikanku pacar sama sekali tak mencerminkan ada cinta di sana.“Aku akan memenuhi semua kebutuhanmu, memberikanmu fasilitas, serta kita hidup bersama di rumah itu. Kamu tak perlu lagi bekerja.” Laki-laki itu menatapku penuh harap. Permintaannya telah menyentil hatiku. Tiba-tiba buliran bening menetes di pipi. Walaupun cuma lulusan SMA, tetapi aku mengerti maksud perkataannya. Aku memang kampungan dan berasal dari keluarga miskin, tetapi aku punya harga diri. Dengan mudah ia memintaku menjadi pacarnya dan hidup bersama tanpa ikatan, ini sama saja dengan menghinaku. “Maaf, Mas, Wulan tidak bisa.”“Kenapa?”“Agama Wulan melarang menjalin hubungan dengan lawan jenis, apalagi tinggal satu atap tanpa ikatan pernikahan. Wulan mohon ma
Baca selengkapnya
Bab 18
Sesampainya di rumah, aku mengembalikan uang itu pada Kevin, tetapi ia menolak. “Mbak saja yang pegang. Besok kalau orang itu datang ke taman, kita berdua yang bicara, Mbak.” “Kevin, jangan Mbak yang pegang. Ini uang kamu.” Aku menyerahkan pada Kevin.“Tidak apa-apa. Kan, aku sudah bilang, kalau kita akan menyelesaikan masalah ini berdua.” Kevin tersenyum, kemudian berlari ke dalam rumah. Segera uang aku simpan ke dalam rok, agar tak terlihat oleh siapa pun. Aku masuk rumah melalui pintu samping yang menghubungkan garasi dan dapur. “Dari mana?” tanya Nyonya Jovita mengagetkanku.“Menemani Kevin main ke taman, Nya.”“Cepat, bantu Bik Inah menyiapkan makan malam.”“Iya.”Perempuan itu berlalu, sedangkan Aku menghela napas lega. Untung saja ia tak menggeledah rokku. Jika itu terjadi, bagaimana cara menjelaskan uang ini kepadanya? Aku bergegas ke kamar untuk membersihkan diri. Setelah melaksanakan salat Magrib, aku kembali ke dapur membantu Bik Inah menyiapkan makan malam. Satu per sa
Baca selengkapnya
Bab 19
Setelah membuat sarapan pagi, aku membantu Kevin menyiapkan kebutuhannya untuk berangkat sekolah. Mengambil baju seragam, menyiapkan sepatu, tas dan bekal makanan selama di sekolah. Sambil menunggu Kevin mandi, aku bergegas turun menuju kamar. Amplop cokelat yang tersimpan dalam lemari aku keluarkan. Mas David sudah mengikhlaskan semua, jadi aku harus mengembalikan uang ini pada Kevin. Kusimpan amplop itu di saku rok, kemudian kembali naik ke lantai dua. Ketika akan menaiki tangga, aku berpapasan dengan Clarisa. Wajah perempuan itu tak bersahabat, bahkan matanya menatap tajam. Aku hanya menunduk dan berdiri di samping tangga, memberi kesempatan untuknya lewat. Langkah kaki Clarisa terhenti tepat di depanku.“Di kamarmu ada kaca?” Clarisa bertanya.Aku mengangguk. “Ada.”“Berkacalah! Lihat dirimu, pantas tidak berdampingan dengan David?” Ia menatap diriku dari atas sampai bawah dengan salah satu sudut bibir menyungging ke atas. “Gadis sepertimu tak ada istimewanya.” Aku diam, tanpa b
Baca selengkapnya
Bab 20
“Mbak Wulan!” Terdengar suara Kevin memanggil namaku.Aku bangkit, lalu berjalan membukakan pintu kamar. Laki-laki itu menatap sendu. “Mbak, baik-baik saja?” tanya Kevin dengan mata berkaca-kaca.Aku mengangguk. “Sudah pulang sekolahnya?”Laki-laki itu terdiam, sebulir air bening jatuh di pipi mulusnya. “Kita ke taman, yuk, Mbak.” Aku ingin menolak, tetapi melihat mata sendu itu jadi tak kuasa. Segera kuganti pakaian dan menutupi wajah dengan masker. Malu jika ada yang melihat keadaanku. Kevin bersepeda, sementara aku berjalan kaki mengikutinya dari belakang. Beberapa kali laki-laki itu berhenti, memastikan aku tak ketinggalan. Aku pikir Kevin akan bermain dengan temannya, tetapi ternyata tidak. Ia ikut duduk di bangku langgananku. “Mbak Wulan pasti sakit,” lirih Kevin dengan wajah tertunduk. Aku tersentak dan menatap laki-laki itu. Matanya berkaca-kaca, seolah ikut merasakan apa yang aku rasakan. “Tidak apa-apa.”“Maafkan aku, Mbak.” Kevin menangis. Tanpa diduga, laki-laki itu m
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
9
DMCA.com Protection Status