All Chapters of JANIN SIAPA DI RAHIMMU, DEK? : Chapter 21 - Chapter 30
39 Chapters
21
Aku adalah orang tua jahat yang tidak bisa adil pada kedua anakku. Aku tidak menyalahkan Ibas jika dia membenciku karena aku terkesan membela kakaknya. Aku tahu, Ibas sangat menderita akibat ulah Romi yang telah menikungnya dari belakang. Dada ini terasa sesak dan mata kian memanas ketika melihat Romi yang tak bisa menyentuh anaknya. Aku tahu, meski perawai putra sulungku tercela karena kerap kali judi dan mengonsumsi minuman haram, dia sebenarnya mempunyai hati yang tulus. Masa lalu yang membayangiku membuat hati ini tak tega melihat Romi menderita. Sejak kecil dia sudah iri pada Ibas karena kedekatannya dengan Mas Gufron--mantan suamiku. Kemana pun pergi, Ibas lah yang akan dibawa bapaknya. Sehingga menghadirkan kecemburuan. Romi kecilku tidak bisa protes. Pun dengan aku, tak dapat melarang apa pun kegiatannya. Memang, dia adil dalam hal materi, tapi untuk kasih sayang selalu berat sebelah. Meski aku sadar, Romi bukan lah anak kandung dari mendiang suamiku."Bas, lihat! Kamu suda
Read more
22
Untung saja, lambat laun Ibas mau mengabulkan permintaanku untuk tidak memperkarakan ke jalur hukum. Aku juga merasakan apa yang dirasakan Isma. Pasti dia merasa kotor dan prustasi. Karena dahulu aku juga merasakannya.Tapi apa boleh buat. Takdir bukan untuk ditangisi. Tapi, sebisa mungkin kita beradaptasi. "Bas, Emak mohon. Berikan kesempatan ke dua untuk kakakmu agar dia bisa memperbaiki dirinya. Kalau kamu terus-terusan menyalahkan Romi, yang ada dia akan membuat kesalahan baru." Setelah sekian lama, aku baru mengeluarkan air mata di hadapan putra-putraku."Mungkin nanti, Mak. Karena untuk saat ini hatiku masih terasa sakit. Sebelum Isma kembali seperti dulu, menjadi dirinya yang mandiri dan selalu ceria, aku tak akan pernah menganggap Mas Romi kakakku." Begitu tajam mulut Ibas dalam mengecam. Hingga ulu hati ini terasa nyeri. Sekeras itu hati Ibas. Sampai tak bisa membuka sedikit celah untuk kakaknya sendiri. Kupikir, setelah Isma berbadan dua dengan pria lain, Ibas akan meningg
Read more
23
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Ingin meng-iyakan untuk menginap malu, karena aku sudah mengecewakan dirinya. Minta diantar pulang, apa lagi. Di kampung halaman, semua orang sudah tahu kalau kami berselisih.Dalam otakku saat ini hanya ada Romi. Aku tidak mau dia melampiaskan kekesalannya pada minuman haram yang biasa ia tenggak."Bagaimana, Mak?" Ibas mengulang pertanyaannya.Dengan terpaksa aku mengangguk dan minta diantar pulang. Karena di sana adalah tempat ternyamanku."Dek, kamu enggak apa-apa 'kan kalau kutinggal sebentar? Jika ada apa-apa teriak saja. Tetangga banyak yang di rumah dan jaraknya dekat-dekat." Ibas memegang pundak istrinya. Kemudian mengecup keningnya. Isma menatap suaminya nanar dengan mendekap Tegar."Isma, maafkan Emak jika sudah membuatmu sakit hati." Aku mendekati menantu yang selama ini telah kusia-siakan.Isma bergeming, lalu membalik badan dan kembali ke kamar. Mungkin dia belum bisa menerima maafku. Tidak masalah, karena memang memaafkan itu sulit bag
Read more
24
"Mas, kenapa wajahmu terlihat kesal?" tanya Isma ketika aku pulang dari rumah Emak. Memang benar ucapan istriku. Aku kesal karena Mas Romi."Emak, Dek. Masak aku di suruhnya untuk peduli dengan Mas Romi. Padahal Emak kan tahu sendiri, Mas Romi tak ada pedulinya sama sekali pada perasaan kita. Mau dia mabuk, masuk jurang, ketabrak apa pun aku enggak bakalan peduli dengannya." "Jangan ngomong seperti itu, Mas. Enggak baik."Mataku membulat sempurna mendengar ucapan Isma yang tak biasa. Dia menunduk saat menyadari diriku menatapnya."Apa maksudmu bicara seperti itu, Dek? Dia memang pantas mendapat secaran dan kata-kata kasar. Atau ..., jangan-jangan kamu mulai suka dengan Mas Romi setelah bayi itu lahir?""Enggak, Mas. Bukan begitu maksudku?" Isma menggelengkan kepalanya."Aku mulai ragu dengan kesetianmu. Bisa jadi pengakuanmu tempo hari hanya tipuan. Karena sebenarnya kamu tidak diperkosa oleh Mas Romi, melainkan dirimu yang mengundangnya." "Tolong, Mas. Jangan emosi! Aku cuma ingin
Read more
25
Sampai di klinik aku dan Isma buru-buru ambil nomer antrian. Sampai saatnya Tegar mendapat penanganan, aku bisa sidikit lega. "Pak, Bu. Putranya panasnya sangat tinggi. Saya sarankan agar dia dirawat inap.""Iya, Dok. Kami setuju jika itu yang terbaik." Menit kemudian, Tegar di pindah ke ruangan lain. Isma selalu menemaninya dan sedetik pun tak mau beranjak."Mau makan apa biar kubelikan?" "Aku enggak lapar." Isma terus saja memegang jemari Tegar dan tangan sebelahnya mengelus kepala buah hatinya dengan lembut."Kalau kamu enggak makan nanti sakit. Siapa yang akan menjaga Tegar nanti?" Aku terus membujuknya, "nasi padang, bakso, nasi rames, ayam bakar ..." Mulutku terus menyebutkan berbagai menu makanan. Mulai dari yang tradisional dan yang kekinian ala anak milenial. Tapi tak satu pun ia tertarik."Aku pergi sebentar." "Iya." Sepertinya aku mulai di nomor duakan. Sampai-sampai dia tak menanyakan aku akan kemana atau berapa lama. Ya sudahlah.Karena bertanya tak mendapatkan jawab
Read more
26
Kulajukan kembali mobil yang suaranya kasar seperti sedang mengangkut beban berat ini. Beberapa saat kemudian aku sampai di warung bakso yang tak jauh dari lokasi Tegar dirawat."Bakso super pakai mi putih saja, Pak! Dibungkus""Ya, Mas. Berapa porsi?""Dua."Kuamati pengunjung yang datang selalu banyak. Bahkan ditanggal tua dan selain hari libur tak pernah sepi. Aku jadi penasaran. Kira-kira apa rahasianya? "Pak, ramai sekali, ya!" kubuka obrolan di sela aku menunggu dekat gerobaknya."Iya, Mas. Alhamdulillah.""Kalau boleh tahu, rahasianya apa, Pak? Bapak enggak pakai yang aneh-aneh kan!" Aku menyipitkan mata.Si penjual bakso tersenyum sembari fokus dengan bulatan bakso yang mirip dengan bunga. Dia menuangkan kuahnya kemudian mengikat plastiknya."Enggak ada yang aneh, Mas. Bapak jualan sudah dua puluh tahun. Kuncinya pertahankan rasa dan selalu jaga kebersihan.""Aku yakin itu hanya salah satunya. Kuperhatikan banyak yang baksonya enak dan juga bersih. Tapi tak seramai ini. Mun
Read more
27
"Kenapa, Mas?" Mata Isma berfokus padaku.Aku mengangkat alis dan berkata, "Mas Romi masuk penjara." "Mas Romi masuk penjara? Apa Mas yang sudah melaporkannya?" tanya Isma datar sembari menatap Tegar yang tertidur pulas."Enggak. Aku percaya setiap perbuatan ada balasannya. Mungkin ini balasan untuknya. Meski bukan tanganku sendiri yang menyeretnya ke sana." Aku meniup-niup bakso untuk kusuapkan pada Isma."Jangan ditiup, Mas!" Seru Isma tanpa melihat wajahku. Pasti dia tahu dari suara yang keluar dari mulutku."Panas ya ditiup. Kalau enggak, lidah bisa terbakar.""Ya tunggulah sebentar. Aku juga enggak begitu lapar.""Lagian kenapa 'sih, cuma ditiup doang.""Karena tidak baik untuk kesehatan, Mas. Ketika kita meniupkan makanan, kita mengeluarkan kandondioksida. Zat itu akan bercampur dengan panas. Apabila tercampur dan masuk ke dalam tubuh, akan membentuk senyawa asam. Selain itu, juga berkaitan dengan adab. Jadi terlihat rakus. Lagi pula, rosullullah juga mencontohkan begitu.""Dek
Read more
28
"Bagaimana, Bas. Boleh 'kan Emak tinggal di rumahmu? Dari pada rumahmu enggak laku-laku. Enggak di tempati. Yang ada nanti malah rusak. Sayang kan, bangunan baru rusak begitu saja?""Ini siapa? Di mana Emak? Berikan ponsel ini padanya!" "Jelita. Masih ingat? Wanita yang kamu putuskan dan lebih memilih wanita lain."Jelita?Jelita adalah wanita masa laluku. Tepatnya mantan kekasihku. Aku menjalin hubungan dengannya sejak masih sekolah menengah. Hubungan cinta monyet itu berlanjut sampai sampai kami lulus. Jelita bekerja di sebuah perusahaan tekstil milik asing. Setiap bulan dia mendapat gaji tetap dan terbilang besar. Sedangkan aku masih pekerja serabutan dengan pendapatan tak tentu.Suatu hari, disaat Jelita ulang tahun, dia meminta sebuah hadiah yang harganya cukup menguras kantongku. Aku menolak dan memberi pilihan lain. Tapi dia marah dan tidak mau. Sampai ponsel pun di blokir. "Jangan heran jika aku ada di sini. Karena semua yang terjadi padamu selama ini, di bawah kendaliku. T
Read more
29
Seperti kesepakatanku dengan Isma. Aku menerima tawaran Jelita. Rumah yang kubangun dengan susah payah sampai mengorbankan waktu dan istri kujual padanya sesuai nominal yang kusebut.Uang hasil menjual rumah sebagian kupakai untuk membeli ruko dua lantai agar bisa kugunakan untuk tempat tinggal dan membuka usaha."Bagaimana, Dek? Apa kamu suka?" Kubuka pintu depan dan kami masuk ke dalamnya. Sebelumnya mulai dari kasur dan lainnya sudah kutata sedemikian rupa. Jadi, ketika anak dan istriku datang, semua sudah rapi. "Aku suka, Mas. Mudah-mudahan tempat ini berkah buat kita." Binar mata Isma terlihat sangat jelas.Perlahan aku membeli gerobak bakso dan berbagai perlemgkapan lainnya. Kebetulan, kalau sudah ada tempat, bos bakso langgananku mau mengajariku. Untuk bahan, aku mencatatnya di ponsel dan belanja pagi hari ditemani si bos bakso."Membuat bakso sangat mudah, Bas. Kita bermain dirasa. Dagingnya premium dan kuahnya yang kental serta aromanya bisa membuat orang lapar. Satu lagi,
Read more
30
"Bas, Emak sakit. Dia rindu padamu. Sejak kamu tak ada kabar, Emak sering melamun. Pulanglah, Bas!" Sebenarnya aku gengsi mengatakan ini pada Ibas. Tapi mau bagaimana lagi, aku juga tak tega melihat Emak terus-terusan melamun. Apa lagi dia sekarang sering sakit-sakitan. Males banget aku merawatnya. Dari pada merawat wanita yang kulitnya sedikit keriput itu, lebih baik aku main dengan teman-temanku.Ibas mengangkat kedua alis dan memejamkan mata sejenak. Kemudian menghempaskan napas. Dia menatapku dengan pandangan tidak suka. Aku sadar diri, karena aku memang sudah berbuat sesuatu yang membuat dia membenciku. Tapi aku cuek saja. "Apa urusanku? Bukankah bagi Emak anaknya cuma kamu?" Ibas terlihat sombong dan seoalah ingin mempermalukan aku di hadapan semua orang. Baru jualan bakso saja sombongnya sudah selangit. Sepertinya aku memang harus bisa membujuk Ibas untuk pulang. Dia sekarang kan sudah cukup sukses. Aku tidak menyangka kalau dalam waktu singkat dia bisa punya tempat sebagu
Read more
PREV
1234
DMCA.com Protection Status