"Baru surat pertama saja sudah gagal."
Luke hanya cemberut sambil memijat kakinya. Cahaya itu sedari tadi terus berputar di kamarnya sembari mengulang kalimat yang sama.
"Sulit sekali berlari di tubuh yang hanya ada tulang tanpa daging!" kata Luke tidak mau kalah.
"Waktu untuk tugas ini hanya 3 hari. Jika pada hari ketiga Anda tidak berhasil, maka Anda akan mendapat hukuman."
Mata Luke langsung membulat. "Sejak kapan ada waktunya? Aku tidak melihat ada—"
Ucapan Luke terhenti saat kertas yang ada di dalam lemarinya itu melayang, lalu berhenti tepat di depan matanya.
"Perhatikan baik-baik di sudut kiri surat ini. Ada waktunya, bukan?"
Luke mendecih dengan wajah kesal. Bisa-bisanya ia tidak melihat hal tersebut. Padahal itu salah satu yang paling penting.
"Menyebalkan!" kata Luke sembari mengusap wajahnya dengan kasar.
Luke mengintip keluar jendela. Langit malam nampak cerah. Sorot matanya menajam, secepat mungkin ia kembali mengganti pakaian dan mengenakan sepatu.
"Anda mau pergi ke mana, Ksatria Luke?" tanya cahaya itu sambil terus mengikuti Luke sampai ke depan pintu.
Luke tidak menjawab. Ia berlari kecil menelusuri lorong bangunan mewah tersebut. Hingga tanpa sengaja ia bertabrakan dengan Caroline di pintu keluar. Untung saja reflek cepatnya berhasil menangkap gadis tersebut.
"Pakai matamu!" seru Caroline.
Luke tidak menjawab, ia sibuk menetralkan detak jantungnya yang begitu cepat karena terkejut. Secepat mungkin ia mundur dan menjauh. Biasanya Caroline akan melakukan serangan tidak terduga.
"Apa yang kau lakukan tengah malam di luar ruangan seperti ini?" tanya Luke.
Caroline diam, namun Luke bisa melihat kedua tangan gadis itu disembunyikan ke belakang.
"Aku mau ke kamar," katanya.
Luke mengangguk pelan sambil tersenyum. "Baiklah, kalau begitu hati-hati."
Saat Luke hendak pergi, sebelah tangannya ditahan oleh Caroline. "Tunggu! Kau mau ke mana?"
"Olahraga," jawab Luke cepat.
Caroline dengan ragu mulai menunjukkan sebuah tas kecil yang dibawanya. Lalu ia menyodorkan benda tersebut ke arah Luke.
"Tolong buang itu!" ujar Caroline sambil berlari.
Luke memandangi punggung Caroline yang mulai menghilang dengan perasaan bingung. Ia membuka tas yang diperintahkan untuk dibuang. Ternyata di dalamnya ada banyak obat-obatan dan ... sebuah surat.
Secepat mungkin Luke membuka surat itu karena penasaran. Senyumnya langsung terbit setelah membaca isi surat tersebut.
Sebab, hanya ada satu kata di dalamnya.
Bodoh!
~~~
Matahari mulai terbit, namun Luke masih ada di taman. Ia tengah memijat kakinya dengan minyak yang hangat. Entah sudah berapa kali percobaan ia berlari di sana. Namun masih belum berhasil.
"Tuan Joan! Anda harus beristirahat!" seru Elle yang berlari kecil ke arahnya dengan cemas.
Luke langsung bangun, kakinya sudah mulai mati rasa. Ia tidak banyak protes saat wanita itu mulai memukul bahunya berulang kali.
"Kenapa Anda tidak istirahat, Tuan? Bagaimana kalau Nona Caroline tahu? Saya yang akan dimarahi habis-habisan!" oceh Elle tanpa menghentikan pukulannya.
Luke meringis sambil tersenyum. "Memangnya Caroline bisa melakukan itu pada Suster?"
"Tentu saja! Nona Caroline tidak membeda-bedakan pekerjanya. Bahkan Nona memperlakukan Tuan sama seperti pekerja lainnya."
Luke terdiam sejenak. Ia kembali duduk di atas rerumputan taman. Sebelah tangannya menepuk tempat di sampingnya seolah mengisyaratkan Elle untuk duduk.
"Sebenarnya, Caroline itu menganggapku apa sih?" tanya Luke.
"Tentu saja tunangan," jawab Elle yang sudah duduk di samping Luke.
Luke menggeleng. "Tapi aku tidak merasa begitu. Caroline seperti membenciku."
Elle tidak menjawab. Ia tahu semua keadaan luar dan dalam keluarga pemilik TIOR Company. Sebab ia sudah bekerja sejak berusia 10 tahun hingga saat ini usianya ada di pertengahan 40 tahun. Ia tahu tentang Joan dan orang tuanya. Ia juga tahu alasan mengapa Caroline bertunangan dengan Joan. Namun ia memilih untuk bungkam.
Elle langsung tersadar dari lamunannya saat Luke menyentuh bahunya. Pria itu tersenyum tipis dan tentunya membuat Elle merasa nyaman.
"Anda tidak perlu menceritakan apa pun, Suster. Sekarang kita kembali saja ke dalam sebelum orang tua Caroline datang," kata Luke.
Elle mengangguk pelan sambil mengikuti langkah Luke. Matanya seperti menerawang masuk ke dalam pria yang ada di depannya tersebut.
"Anda berubah, Tuan Joan. Anda seperti orang asing."
~~~
Saat berniat mengambil pakaian dari lemari, tiba-tiba saja Luke kembali melihat surat melayang. Ia mendecak kesal, namun dengan terpaksa mengambil benda tersebut. Padahal tugas pertamanya belum selesai, tapi sudah datang surat tugas yang baru.
Berdiri di samping Caroline selama satu hari. Lindungi dia dari semua bahaya.
Luke mengerutkan dahinya. "Bahaya seperti apa yang bisa mendekati tuan putri dengan banyak pengawal seperti dia?"
Ia melirik ke arah sudut surat dan melihat waktunya. Tidak sampai berhari-hari, hanya 2 jam. Secepat mungkin Luke mengambil kemeja dan celana bahan dari lemarinya. Tanpa membuang banyak waktu, ia berlari keluar kamar untuk mencari keberadaan Caroline.
Luke berhasil menemukan gadis itu di taman. Untuk saat ini ia hanya akan memerhatikan Caroline dari kejauhan. Sebab jika didekati sedikit saja, pasti dia akan pergi.
Setengah jam berlalu, Luke mulai bosan mengamati dari kejauhan. Terlebih tidak ada satu pun bahaya yang mendekat. Jelas saja, ada lebih dari 20 orang di sekitar gadis tersebut.
Luke melirik jam tangannya. Ia merasa sangat haus duduk di rumput dengan terpaan sinar matahari sedari tadi. Namun saat ia berbalik, tiba-tiba terdengar suara jeritan.
Matanya melebar begitu melihat lebih daei setengah pengawal Caroline sudah tergeletak bersimbah darah. Secepat mungkin Luke berlari ke arah gadis tersebut. Namun bodohnya ia tidak membawa apa pun selain tubuh kurus keringnya.
"Joan!" seru Caroline begitu melihat Luke sudah berdiri di depannya.
Luke mengamati sekitar melalui ekor matanya. Tidak terlihat pergerakan apa pun. Bahkan dedaunan terlihat sangat tenang.
Siapa yang bisa melakukan pembunuhan seperti ini? batin Luke.
Tiba-tiba saja dari arah belakang, Luke bisa merasakan angin cepat mengarah padanya. Secepat mungkin Luke mendorong Caroline menjauh. Sementara ia berguling ke arah lain.
Jleb!
Sebuah belati menancap di salah satu pohon yang ada di depan meja taman tersebut. Luke sontak berbalik, berusaha mencari orang yang melakukan itu. Kali ini ia menemukan sosok berjas hitam di balik pepohonan nampak sedang bersembunyi.
Ia melirik ke arah Caroline yang nampak ketakutan. Dari arah lain, ia juga melihat ada benda yang melesat cepat ke arah gadis tersebut.
"Ah, sialaaan! Tubuhku sulit sekali diajak bergerak!" kata Luke sembari berlari ke arah Caroline.
Waktu kurang beberapa menit lagi sebelum tugas itu berakhir. Untuk kedua kalinya, belati lagi. Benda itu melesat tepat ke arah wajah Caroline.
Jleb!
"U-ukh!"
Mata Caroline membulat saat melihat Luke terjatuh ke tanah. "Jo-Joan!"
"Syukurlah kau bisa selamat," ujar Luke.
Sebelum pandangannya kabur, ia menyempatkan diri untuk melihat jam tangan. Sudah lebih 2 menit. Senyumnya merekah, melindungi Caroline menjadi tugas pertamanya yang selesai.
"Kurang 99 tugas lagi," gumam Luke sebelum kesadarannya menghilang.
Luke tersenyum begitu cerah. Padahal saat ini pipinya terluka parah karena tertancap belati. Caroline yang sedang berkunjung sampai terlihat bingung. "Apa kau sangat senang karena bertambah jelek?" kata Caroline. Luke tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap Caroline dengan senyum yang tidak kunjung luntur. "Berhenti menatapku seperti itu!" seru Caroline sembari melangkan pukulan di bahu Luke. "Aku senang kamu baik-baik saja," kata Luke. Caroline membulatkan matanya. "Jangan berani menggunakan kata kamu padaku! Kita tidak sedekat itu!" Luke menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa? Itu 'kan cuma kata-kata." "Kau harus bicara formal padaku!" Luke hanya mengangguk saja. Pandangannya kembali menoleh ke arah jendela untuk menikmati cahaya senja. Entah berapa lama ia tidak sadarkan diri. Begitu bangun, waktu sudah sore. "Kau sudah makan, Joan?" tanya Caroline. Luke menoleh, lalu menggeleng. "Memangnya kenapa?" Caroline menunjuk makanan yang ada di meja rumah sakit. "Suster Elle memba
Luke terus berjalan walau kakinya terasa hampir seperti lumpuh. Aroma itu semakin kuat dan masuk ke sebuah bar. Tanpa pikir panjang, ia langsung masuk ke tempat tersebut. Namun tiba-tiba langkahnya dipaksa berhenti oleh dua penjaga bertubuh besar yang langsung menyeretnya kembali keluar. Salah satunya menatap Luke dengan sorot tajam. "Tolong kartu identitasnya." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Kartu identitas? Apa semacam kartu emas saat naik level?" Dua penjaga itu saling beradu pandang dengan wajah bingung. "Bicara apa orang ini?" "Aku tidak punya kartu seperti yang kalian minta, tapi ..." Luke mendesis pelan saat bau itu mulai samar lagi. "Sial! Sepertinya mereka mau kabur!" Luke memanfaatkan tubuh kecil Joan untuk kabur melalui tengah-tengah kedua penjaga. Ia tidak peduli dengan seruan-seruan penuh ancaman. Saat ini, ia hanya ingin menangkap orang yang memotretnya. Begitu tiba di dalam bar, Luke menoleh ke sana dan ke mari seperti orang bingung. Saat kedua penja
Matahari masih enggan menampakkan diri, namun Luke sudah berada di taman. Padahal satu pun pekerja masih belum terlihat. Ia berlari kecil dengan penuh semangat. Ia menjilat ujung telunjuknya, lalu mengangkatnya ke udara."Baiklah! Arah anginnya sudah bagus! Saatnya meluncur!" seru Luke.Luke masih bersikeras ingin menyelesaikan tugasnya. Ia berusaha menyimpan seluruh oksigen di dadanya. Jika ia berhasil berlari 3 putaran hari ini, ia akan lebih cepat kembali ke dunianya."Tuan Joan!"Luke sontak menoleh sekilas tanpa menghentikan larinya. Entah mengapa ia sudah terbiasa dengan nama itu. Senyumnya langsung mengembang begitu melihat suster Elle."Suster Elle!" seru Joan."Tuan Joan! Mengapa Anda berlari di taman pagi-pagi sekali?! Anda baru pulang dari rumah sakit seminggu yang lalu!" kata Elle.Wanita itu berlari tergopoh-gopoh dan langsung menarik sebelah tangan Luke hingga terjatuh ke belakang. Untung saja Luke tidak menimpa Elle. Tiba-tiba saja cahaya datang entah dari mana. Ia memu
Luke membuka surat yang tiba hari ini. Berbeda dengan sebelumnya, amplop kali ini berwarna biru."Sepertinya benar-benar spesial ya," gumam Luke.Menjaga Caroline selama pesta dansa. Tetap berada di sampingnya!Luke tertawa pelan. "Ternyata semua surat ini sama saja, berkaitan dengan Caroline.""Benar. Karena dia adalah gambaran Anda, Tuan Kesatria.""Bagaimana bi—""Merendahkan orang lain, selalu merasa paling hebat dan sempurna, senang mengambil kebahagiaan orang, dan masih banyak lagi."Luke hanya bisa tersenyum getir saat mendengar ucapan cahaya tersebut. Mau mengelak pun tidak ada gunanya. Jika diingat kembali, memang sifatnya seperti itu.Sembari menunggu waktunya berangkat, Luke membuka ponsel yang entah sudah berapa lama tergeletak di meja. Ia tidak pernah membawanya ke mana pun.Luke mencari tahu bagaimana gaya berpakaian pria untuk pesta dansa. Setelah ketemu, ia langsung menghambur ke arah lemari pakaian.~~~Caroline melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul 1 s
Luke sesekali melirik ke arah Caroline. Sejak mendengar ucapan ayahnya, gadis itu terus bungkam. Matanya menatap lurus ke tengah orang-orang yang sedang menikmati pesta. Begitu musik mulai diputar, Caroline langsung menarik tangan Luke ke tengah lingkaran dansa. "Kau tahu caranya berdansa, 'kan?" tanya Caroline. Luke menggaruk tengkuknya, ia nampak gugup. Sejujurnya ia tidak pernah berdansa sekali pun. Hanya ada satu tarian yang ia bisa, tentu saja tarian pelantikan Kesatria. "Sedikit," jawab Luke. Caroline memutar matanya dengan malas. Ia mulai meletakkan sebelah tangannya ke pundak Luke, sedangkan tangan satunya dibiarkan bergenggaman dengan Luke. Caroline seolah terhipnotis. Pandangannya tidak bisa lepas dari retina biru langit milik pria tersebut. "Aku baru tahu kalau warna matamu seterang ini." Luke menaikkan kedua alisnya dengan bingung. "Ya? Ma-mataku?" "Cepat letakkan tanganmu di pinggangku!" titah Caroline. Luke mengangguk kaku. Walau sudah sering menyentuh wanita di
Caroline menoleh ke sekelilingnya. Entah sejak kapan ia kehilangan sosok Bran. Padahal sedari tadi, ia ingat sekali sedang bergandengan tangan. Ia ingin keluar dari kerumunan, tapi jalannya seolah tertutup."Bran?!" serunya.Tidak ada sahutan, yang terdengar hanya suara alunan musik dan hiruk pikuk orang-orang berbincang di sekitar. Caroline menelan ludahnya dengan kasar. Ia bisa melihat meja kue lewat celah keramaian, namun ... tidak ada Joan di sana."Joan!!" teriaknya.Tiba-tiba saja pergelangan tangannya dicengkram dari belakang. Ia ditarik paksa menuju ke pintu keluar samping bangunan tersebut."Siapa kalian?!" jerit Caroline sembari meronta.Pria berjas cokelat yang kini berdiri di depannya hanya diam. Sampai akhirnya ia membekap wajah Caroline dengan kain beralkohol. Tidak perlu menunggu lama, Caroline pun tidak sadarkan diri."Bawa ke mobil."~~~Luke membasahi bibir bagian bawahnya. Ia melirik ke sekitar, suasananya begitu tenang. Pasti tidak akan ada orang yang datang ke tem
Kedua mata Luke melebar. Dadanya terasa sangat sesak dan kepalanya berputar. Apalagi saat Ciel terus menjilat darahnya yang menempel di pisau. "Hentikan!" seru Luke. Ciel tersenyum miring. Ia menarik kerah kemeja Luke hingga mengikis jarak mereka. Dalam jarak sedekat itu, Luke bisa bisikan dari gadis tersebut. "Mau menjemput ayahmu sekarang?" tanya Ciel. Pandangan Luke mulai tidak fokus. Ia memegangi kepalanya yang terasa seperti ditusuk jarum. Secepat mungkin ia mendorong tubuh Ciel. Sepertinya tubuh Joan bereaksi hanya dengan mendengar Ciel yang mengungkit kematian ayahnya. Luke berusaha keras untuk mengambil alih tubuhnya, namun tiba-tiba ... Jleb! Luke meringis saat pisau lipat milik Ciel sudah menancap di perutnya. Rasa nyeri berhasil membuatnya mulai lunglai dan jatuh terduduk. Sebelah tangannya memegang gagang pisau sambil sesekali menariknya. "Siaaal! Sakit sekali!" jeritnya. Ciel menatap Luke dengan tatapan sedih, namun bibirnya melengkung sempurna. Gadis itu benar-be
Beberapa menit sebelum melarikan diri...Luke memandang langit-langit bangunan mewah tersebut. Ia merasa sangat familiar dengan keadaan ini. Tepatnya saat berhasil dikalahkan oleh Naga emas generasi kedua. Namun kali ini ia dikalahkan oleh seorang gadis bertubuh ramping dan mungil.Ternyata aku sudah melemah, batinnya.Begitu memejamkan mata, cahaya langsung memenuhi pandangan Luke. Lalu terdengar suara-suara yang familiar menggema di telinganya."Bangunlah. Jangan melupakan tugasmu."Luke terkekeh pelan. Sepertinya ia sudah hilang kesadaran. Makanya ia bisa berada di tempat terang ini lagi."Apa aku mati untuk kedua kalinya?" tanya Luke.Cahaya itu tertawa. "Bagaimana saya bisa membiarkan jiwa yang kotor seperti Anda mati tanpa menyelesaikan tugas, Kesatria?""Jadi?""Buka mata Anda. Lalu selesaikan tugasnya!"Tiba-tiba saja mata Luke langsung terbuka lebar. Napasnya tersengal cukup lama. Ia bisa melihat sosok Ciel yang sedang merapikan rambut. Dressnya sudah berganti dengan celana p