Share

Bab 4. Tugas Pertama Binar

Untuk kedua kalinya panggilan tersebut diputuskan secara sepihak. Belum lagi bekerja, kesabarannya sudah sangat diuji saat ini.

“Udah? Gitu aja? Dasar kanebo kering! Dia pikir aku pembantunya? Argh!” Binar terus berbicara sendiri sampai ia kesal dengan dirinya sendiri.

Binar pun melajukan motornya dan mengitari jalanan kota. Seperti biasa jalanan sangat macat dan ramai, apalagi jaraknya tidak dekat. Sudah bisa dibayangkan betapa lamanya di perjalanan saat naik motor dari bandung ke ibukota Jakarta.

Beberapa jam kemudian Binar sampai di PT. Angkasa Group. Ini kali kedua dirinya berada di sana. Namun sekarang berbeda dengan yang kemarin, perasaan cemas dan khawatir pun melanda saat ini.

Binar berlari hingga dirinya sampai di depan lift, namun ia enggan naik begitu pintu tersebut terbuka. “Kok nggak ada karyawan yang mau naik juga?” gumamnya.

Akhirnya Binar pergi ke meja resepsionis lagi, “Mbak, maaf. Bisa bantu aku lagi, nggak?”

“Naik lift?” tanyanya.

“Iya! Bisa, ‘kan? Tolong dong, please.”

“Maaf, Mbak. Bukannya aku nggak bisa tapi sebentar lagi kita ada tamu penting dan aku harus berada di tempat.”

“Baiklah, terima kasih.”

Binar pergi dalam keadaan kecewa. Dengan sangat terpaksa ia masuk ke dalam lift tersebut. Di dalam sana dirinya berpegangan dengan setiap sudutnya sambil menutup matanya. Entah mengapa saat ini tidak ada satu karyawan pun sampai di lantai atas yang masuk kedalam lift tersebut.

Begitu lift terbuka, Binar mengelus dadanya. “Akhirnya,” gumamnya.

Binar berlari hingga sampai di ruangan Presdir Tama. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu, dirinya masuk setelah dipersilakan.

“Maaf, Pak Presdir. Saya sedikit telat! Saya tadi kena macet. Maaf, Pak. Tapi saya sudah bawa sarapan untuk Bapak. Hm, sebentar, ini dia.” Sambil mengambil sebuah box makan dari paperbag berwarna kuning yang ia bawa.

“Maaf, Pak. Hari ini kita sarapan homemade dulu, ya. Tapi saya jamin ini rasanya enak sekali!” lanjut Binar.

Sementara Presdir Tama kini sedang melipat kedua tangannya di atas meja sambil memerhatikan penjelasan Binar. Dirinya baru mengetahui jika Binar tinggal di Bandung.

“Pak Presdir nggak suka, ya? Ini bukan buatan saya kok, ini buatan Ibu saya. Tapi rasanya enak banget. Kalau soal kebersihan, ini sangat higienis!” Lanjut Binar saat melihat Presdir Tama hanya diam sejak tadi.

Sebenarnya Presdir Tama tidak ingin memakannya. Tampilan makan yang ia bawa sedikit aneh membuatnya tidak berselera makan. Namun saat Binar mengatakan orangtuanya ‘lah yang memasak, mau nggak mau Presdir Tama pun memakannya.

Binar memerhatikan atasannya makan, suapan pertama yang masuk di mulut Presdir Tama membuatnya sedikit takut karena wajah lelaki itu sangatlah datar. “Bagaimana, Pak? Enak, ‘kan?” tanya Binar.

Presdir Tama tidak menjawab, ia hanya menyuruh Binar untuk duduk lewat tangannya. Aneh sekali, pikir Binar. Setelah beberapa saat akhirnya makanan tersebut habis tak tersisa.

“Ketika saya makan, jangan ajak bicara!” titah Presdir Tama dengan tegas. “Hari ini kamu saya maafkan, tapi tidak untuk lain kali. Berhubung rumah kamu jauh, kamu bisa pakai apartemen yang saya sewakan didepan perusahaan ini. Jadi kamu tidak perlu pergi dengan jarak yang jauh.”

“Tapi, Pak —”

“Saya, Presdir Tama. Saya tidak pernah menerima penolakan!”

Binar hanya tertunduk dengan lesu, percuma saja ia menolak, pikirnya. Tak lama kemudian Presdir Tama berdehem buat Binar harus tersenyum ramah lagi padanya. “Ya, Pak?” ucap Binar.

“Kamu sudah sarapan?”

“Maaf?”

“Sarapanlah! Sebentar lagi kita ada meeting.”

“Ba—baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”

“Mau kemana?”

“Ta—tapi mau sarapan,” kata Binar kebingungan.

“Memangnya saya ada nyuruh pergi? Di sini sarapannya!” titahnya kembali.

“Tapi, Pak —”

“Apa kamu tuli?”

Binar menggelengkan kepalanya, ia membuka box miliknya. Kemudian ia memakannya dengan sangat lahap sampai habis tak tersisa. Melihat Binar makanzl membuat Presdir Tama sedikit tergelitik. Apalagi terlihat berserakan seperti itu.

“Maaf, Pak Presdir. Saya lapar sekali, dari tadi Cuma makan angin saja dijalan.” Tiba-tiba Binar mengatakan itu karena merasa diperhatikan oleh atasannya saat sarapan.

Rasanya Presdir ingin sekali tertawa, inilah yang membuat Presdir Tama tidak jadi menghukumnya. Tingkah lucu Binar membuatnya lupa untuk marah. Aneh sekali, bukan?

“Pilihkan pakaian saya!” ucap Presdir Tama pada Binar saat melihat wanita itu selesai membereskan makanannya.

“Itu beneran tugas saya?” tanya Binar balik.

Presdir Tama berjalan mendekatinya, mereka sangat dekat hingga membuat Binar terbentur dinding dengan pelan. Suara nafas yang bersahutan pun terdengar jelas.

“Saya sudah bilang takkan menjelaskan untuk kedua kalinya, bukan?”

“Siap, Pak Presdir. Siap!” Binar gelagapan, ia langsung menyingkir dari tempat tersebut kemudian beralih ke lemari Presdir Tama.

Ini adalah kali pertamanya ia menjadi seorang asisten, tentu saja dalam memilihkan pakaian yang pantas untuk atasannya adalah hal yang tabu baginya. Bagaimana bisa ia melakukan itu sementara untuk pakaian dirinya saja dirinya masih meminta bantuan sang ibu?

‘Pakaian mana yang cocok, ya,’ batin Binar sambil mengobrak-abrik lemari tersebut.

Lemari pakaian Presdir Tama terletak di pojokan, ia terlihat seperti pintu agar tidak tampak jika itu adalah lemari. Namun Binar salah membuka bagiannya, begitu ia membuka bagian tersebut ternyata itu beneran lemari yang di dalamnya adalah ruangan rahasia.

Hanya sekilas Binar melihat ruangan tersebut, karena Presdir Tama langsung menutupnya. Binar terkejut dan langsung menundukkan kepala, “Maaf, Pak Presdir!”

“Sedang apa kamu?” suara lelaki itu terlihat sangat marah.

“Saya pikir itu lemari, maaf, Pak Presdir.”

“Sudah ketemu pakaiannya?”

Binar langsung kembali melakukan tugasnya, tak lama kemudian ia mengambil setelan jas berwarna kuning lemon. Beserta dasi yang berwarna sama dengan sedikit mengkilap.

“Bagaimana dengan ini, Pak Presdir?” tanya Binar dengan wajah berseri.

“Kamu ingin mempermalukan saya?”

Binar mengerutkan alisnya, padahal warna tersebut sangatlah manis, model jasnya juga bagus dan Binar sangat yakin harganya pun mahal. “Ini bagus, Pak.”

“Kita akan meeting jam 12 siang sekaligus makan bersama dengan mereka. Menurut kamu apa wajar pakaian ini saya pakai?”

Binar hanya diam sambil mencermati ucapan atasannya tersebut. “Sepuluh menit lagi kamu harus sudah membawa pakaian untuk saya. Saya tunggu di meja. Oh, iya, satu lagi, saya suka warna navy.”

Presdir Tama langsung pergi meninggalkan Binar. ‘Kalau nggak mau dipakai, kenapa dibeli? Aneh sekali. Ternyata laki-laki juga sama rempongnya, ya? Baju saja harus balance. Aku kira sultan itu enak, ternyata merepotkan,’ batin Binar.

Tak lama kemudian ia menemukan setelan jas berwarna biru tua, dipadukan dengan kemeja berwarna hitam. Ia sangat yakin pakaian ini sangat tepat sekarang.

Binar pun memberikan setelan jas tersebut pada atasannya. “Ini, Pak Presdir. Semoga suka!”

Binar pun berniat keluar dari ruangan namun lelaki itu menahannya. “Mau kemana?” tanyanya dengan wajah datar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status