Untuk kedua kalinya panggilan tersebut diputuskan secara sepihak. Belum lagi bekerja, kesabarannya sudah sangat diuji saat ini.
“Udah? Gitu aja? Dasar kanebo kering! Dia pikir aku pembantunya? Argh!” Binar terus berbicara sendiri sampai ia kesal dengan dirinya sendiri.
Binar pun melajukan motornya dan mengitari jalanan kota. Seperti biasa jalanan sangat macat dan ramai, apalagi jaraknya tidak dekat. Sudah bisa dibayangkan betapa lamanya di perjalanan saat naik motor dari bandung ke ibukota Jakarta.
Beberapa jam kemudian Binar sampai di PT. Angkasa Group. Ini kali kedua dirinya berada di sana. Namun sekarang berbeda dengan yang kemarin, perasaan cemas dan khawatir pun melanda saat ini.
Binar berlari hingga dirinya sampai di depan lift, namun ia enggan naik begitu pintu tersebut terbuka. “Kok nggak ada karyawan yang mau naik juga?” gumamnya.
Akhirnya Binar pergi ke meja resepsionis lagi, “Mbak, maaf. Bisa bantu aku lagi, nggak?”
“Naik lift?” tanyanya.
“Iya! Bisa, ‘kan? Tolong dong, please.”
“Maaf, Mbak. Bukannya aku nggak bisa tapi sebentar lagi kita ada tamu penting dan aku harus berada di tempat.”
“Baiklah, terima kasih.”
Binar pergi dalam keadaan kecewa. Dengan sangat terpaksa ia masuk ke dalam lift tersebut. Di dalam sana dirinya berpegangan dengan setiap sudutnya sambil menutup matanya. Entah mengapa saat ini tidak ada satu karyawan pun sampai di lantai atas yang masuk kedalam lift tersebut.
Begitu lift terbuka, Binar mengelus dadanya. “Akhirnya,” gumamnya.
Binar berlari hingga sampai di ruangan Presdir Tama. Ia mengetuk pintu terlebih dahulu, dirinya masuk setelah dipersilakan.
“Maaf, Pak Presdir. Saya sedikit telat! Saya tadi kena macet. Maaf, Pak. Tapi saya sudah bawa sarapan untuk Bapak. Hm, sebentar, ini dia.” Sambil mengambil sebuah box makan dari paperbag berwarna kuning yang ia bawa.
“Maaf, Pak. Hari ini kita sarapan homemade dulu, ya. Tapi saya jamin ini rasanya enak sekali!” lanjut Binar.
Sementara Presdir Tama kini sedang melipat kedua tangannya di atas meja sambil memerhatikan penjelasan Binar. Dirinya baru mengetahui jika Binar tinggal di Bandung.
“Pak Presdir nggak suka, ya? Ini bukan buatan saya kok, ini buatan Ibu saya. Tapi rasanya enak banget. Kalau soal kebersihan, ini sangat higienis!” Lanjut Binar saat melihat Presdir Tama hanya diam sejak tadi.
Sebenarnya Presdir Tama tidak ingin memakannya. Tampilan makan yang ia bawa sedikit aneh membuatnya tidak berselera makan. Namun saat Binar mengatakan orangtuanya ‘lah yang memasak, mau nggak mau Presdir Tama pun memakannya.
Binar memerhatikan atasannya makan, suapan pertama yang masuk di mulut Presdir Tama membuatnya sedikit takut karena wajah lelaki itu sangatlah datar. “Bagaimana, Pak? Enak, ‘kan?” tanya Binar.
Presdir Tama tidak menjawab, ia hanya menyuruh Binar untuk duduk lewat tangannya. Aneh sekali, pikir Binar. Setelah beberapa saat akhirnya makanan tersebut habis tak tersisa.
“Ketika saya makan, jangan ajak bicara!” titah Presdir Tama dengan tegas. “Hari ini kamu saya maafkan, tapi tidak untuk lain kali. Berhubung rumah kamu jauh, kamu bisa pakai apartemen yang saya sewakan didepan perusahaan ini. Jadi kamu tidak perlu pergi dengan jarak yang jauh.”
“Tapi, Pak —”
“Saya, Presdir Tama. Saya tidak pernah menerima penolakan!”
Binar hanya tertunduk dengan lesu, percuma saja ia menolak, pikirnya. Tak lama kemudian Presdir Tama berdehem buat Binar harus tersenyum ramah lagi padanya. “Ya, Pak?” ucap Binar.
“Kamu sudah sarapan?”
“Maaf?”
“Sarapanlah! Sebentar lagi kita ada meeting.”
“Ba—baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu.”
“Mau kemana?”
“Ta—tapi mau sarapan,” kata Binar kebingungan.
“Memangnya saya ada nyuruh pergi? Di sini sarapannya!” titahnya kembali.
“Tapi, Pak —”
“Apa kamu tuli?”
Binar menggelengkan kepalanya, ia membuka box miliknya. Kemudian ia memakannya dengan sangat lahap sampai habis tak tersisa. Melihat Binar makanzl membuat Presdir Tama sedikit tergelitik. Apalagi terlihat berserakan seperti itu.
“Maaf, Pak Presdir. Saya lapar sekali, dari tadi Cuma makan angin saja dijalan.” Tiba-tiba Binar mengatakan itu karena merasa diperhatikan oleh atasannya saat sarapan.
Rasanya Presdir ingin sekali tertawa, inilah yang membuat Presdir Tama tidak jadi menghukumnya. Tingkah lucu Binar membuatnya lupa untuk marah. Aneh sekali, bukan?
“Pilihkan pakaian saya!” ucap Presdir Tama pada Binar saat melihat wanita itu selesai membereskan makanannya.
“Itu beneran tugas saya?” tanya Binar balik.
Presdir Tama berjalan mendekatinya, mereka sangat dekat hingga membuat Binar terbentur dinding dengan pelan. Suara nafas yang bersahutan pun terdengar jelas.
“Saya sudah bilang takkan menjelaskan untuk kedua kalinya, bukan?”
“Siap, Pak Presdir. Siap!” Binar gelagapan, ia langsung menyingkir dari tempat tersebut kemudian beralih ke lemari Presdir Tama.
Ini adalah kali pertamanya ia menjadi seorang asisten, tentu saja dalam memilihkan pakaian yang pantas untuk atasannya adalah hal yang tabu baginya. Bagaimana bisa ia melakukan itu sementara untuk pakaian dirinya saja dirinya masih meminta bantuan sang ibu?
‘Pakaian mana yang cocok, ya,’ batin Binar sambil mengobrak-abrik lemari tersebut.
Lemari pakaian Presdir Tama terletak di pojokan, ia terlihat seperti pintu agar tidak tampak jika itu adalah lemari. Namun Binar salah membuka bagiannya, begitu ia membuka bagian tersebut ternyata itu beneran lemari yang di dalamnya adalah ruangan rahasia.
Hanya sekilas Binar melihat ruangan tersebut, karena Presdir Tama langsung menutupnya. Binar terkejut dan langsung menundukkan kepala, “Maaf, Pak Presdir!”
“Sedang apa kamu?” suara lelaki itu terlihat sangat marah.
“Saya pikir itu lemari, maaf, Pak Presdir.”
“Sudah ketemu pakaiannya?”
Binar langsung kembali melakukan tugasnya, tak lama kemudian ia mengambil setelan jas berwarna kuning lemon. Beserta dasi yang berwarna sama dengan sedikit mengkilap.
“Bagaimana dengan ini, Pak Presdir?” tanya Binar dengan wajah berseri.
“Kamu ingin mempermalukan saya?”
Binar mengerutkan alisnya, padahal warna tersebut sangatlah manis, model jasnya juga bagus dan Binar sangat yakin harganya pun mahal. “Ini bagus, Pak.”
“Kita akan meeting jam 12 siang sekaligus makan bersama dengan mereka. Menurut kamu apa wajar pakaian ini saya pakai?”
Binar hanya diam sambil mencermati ucapan atasannya tersebut. “Sepuluh menit lagi kamu harus sudah membawa pakaian untuk saya. Saya tunggu di meja. Oh, iya, satu lagi, saya suka warna navy.”
Presdir Tama langsung pergi meninggalkan Binar. ‘Kalau nggak mau dipakai, kenapa dibeli? Aneh sekali. Ternyata laki-laki juga sama rempongnya, ya? Baju saja harus balance. Aku kira sultan itu enak, ternyata merepotkan,’ batin Binar.
Tak lama kemudian ia menemukan setelan jas berwarna biru tua, dipadukan dengan kemeja berwarna hitam. Ia sangat yakin pakaian ini sangat tepat sekarang.
Binar pun memberikan setelan jas tersebut pada atasannya. “Ini, Pak Presdir. Semoga suka!”
Binar pun berniat keluar dari ruangan namun lelaki itu menahannya. “Mau kemana?” tanyanya dengan wajah datar.
Binar menggidik ngeri, terkadang ia merasa kantor ini adalah neraka, namun akal sehatnya mengatakan tidak ada neraka semewah ini. Lelaki itu menarik tangan Binar dan menutup pintu ruangannya kembali.“Kamu tunggu di sini!” titahnya.“Tapi, Pak —”“Saya tidak terima penolakan!” potongnya langsung.Dalam rumus Binar, wanita tidak pernah salah, namun kali ini ia malah terjebak dengan rumusnya sendiri. Binar berdiri sambil menghadap ke pintu, padahal Presdir Tama sudah pergi ke ruangan rahasianya untuk berganti pakaian.“Pak Presdir, apa saya juga akan ikut pergi?” tanya Binar dengan menutup matanya.Padahal dirinya sudah berbalik badan, namun rasanya itu masih kurang untuk menutup matanya. “Kacang … kacang … kacang … kacang berapa sekilo?” gumamnya sendiri.“Astaga, benar-benar dikacangin. Ya sudahlah!” gerutunya.Sekitar sepuluh menit kemudian, Presdir Tama sudah selesai berpakaian. Kini ia sudah sangat tampan dan gagah. Jiwa maskulinnya pun terpampang nyata.Lelaki itu berdehem dengan
"Pak Presdir mah kocak!" seru Binar sambil cekikikan. Cukup aneh memang bagi Presdir Tama karena dirinya tidak merasa sedang membuat lelucon saat ini. "Saya serius!" tegas lelaki itu dengan wajah dinginnya.Binar menelan saliva dengan susah payah, wajah atasannya tersebut sangatlah datar. Tida datar aja seram, apalagi tanpa ekspresi seperti itu, pikirnya."Saya tidak mengenal beliau, Pak Presdir. Kalau Pak Presdir tidak mengenalkan saya padanya, mungkin kami tidak kenal. Kalau Pak Presdir tidak mengajak saya pergi, mungkin kami tidak akan bertemu. Kalau Pak Presdir —""Kamu pikir ini lucu?" potong lelaki itu dengan cepat. "Katakan secara singkat!" lanjutnya."Maaf, Pak." Binar menundukkan kepalanya sambil mengutuk dirinya sendiri yang sudah lancang. 'Binar … Binar … sudah tahu atasan kamu itu kayak beruang kutub masuk freezer, bisa-bisanya kamu ngajak bercanda!' batin Binar mengumpat dirinya sendiri. Presdir Tama tidak menimpali lagi, akan tetapi dirinya menatap sang asisten dengan
"Hidup itu serba salah, ya? Lagi kerja, pengennya jadi pengangguran. Nanti giliran nganggur, pengennya kerja di gedongan!" Binar menggerutu sendiri karena ia dirinya hanya tidur satu jam saja setelah membereskan semua barangnya ke dalam apartemen yang kini menjadi miliknya. Meskipun hanya untuk satu tahun, namun tak dapat dipungkiri jika Binar sudah jatuh hati dengan tempat ini. Perpisahannya dengan orangtua memang serba dadakan. Namun tanpa sepengetahuan Binar, sebelum wanita itu sampai di rumah, Presdir Tama sudah menyuruh seseorang untuk mengatakan tujuannya pada orangtua Binar agar mereka tidak terkejut nantinya saat sang putri pulang untuk membawa barang-barangnya. "Ponselku di mana?" Binar mencari ponselnya yang ia taruh di sembarang arah. Setelah beberapa menit, akhirnya ia menemukan ponsel tersebut di bawah kolong kursi santainya. Binar pun mengambil ponselnya dan menekan nomor sang atasan tercinta. [Halo, selamat pagi, Pak Presdir!] Binar berniat untuk membangunkan sang a
"Ibu, Binar ngantuk sekali. Tolonglah, biarkan Binar tidur, satu jam saja!" Wanita itu terus mengigau, mengira yang memanggilnya adalah sang ibu tercinta. Tidak tahu saja dirinya jika atasan yang dingin itu sedang melipat tangannya sambil menatap dirinya. Dengan sengaja Presdir Tama menghempaskan buku tepat dihadapan Binar. Wanita itu pun terperanjat kaget, "Eh, ayam, copot, ayam …" Binar pun menjadi latah. Karena kesal melihat seseorang yang mengganggu tidurnya, ia menggebrak meja kerjanya. "Maunya apa, s— eh, Pak Presdir. Selamat pagi, Pak. Pak Presdir butuh sesuatu?" Amarahnya pun terhenti saat melihat yang mengganggunya adalah atasannya sendiri. "Enak, tidurnya?""Siap, tidak, Pak.""Lalu?""Siap, salah, Pak." Binar malah seperti sedang latihan militer saat ini saking gugupnya. "Apa jadwal kita pagi ini?""Jadwal?" beo Binar, dirinya masih belum sepenuhnya sadar saat ini. Sebagian dari dirinya masih menginginkan untuk tidur, sebagian lagi sudah menyadari waktunya bekerja.Pres
Tiga bulan sudah berlalu, Binar pun sudah terbiasa dengan rutinitasnya. Selama tiga bulan ini dia tidak melakukan kesalahan sama sekali bahkan sang atasan sudah hidup bergantungan dengannya.Sekitar pukul empat subuh, Binar sudah rapi dengan pakaiannya. Di depan cermin, ia sedang merias dirinya. "Ternyata aku cantiknya kebangetan, ya? Pantas saja namaku Queen!"Begitulah Binar, sering sekali ia memuji dirinya sendiri. Itu dilakukannya semata-mata hanya untuk menyenangkan dirinya. Setelah berdandan dengan cantik, Binar menoleh ke arah jam di dinding. Tak disangka ternyata sudah memasuki pukul lima pagi. Cukup lama ia berdandan dan memuji dirinya itu. Binar mengambil ponselnya untuk menghubungi Presdir Tama. Binar memencet nomor atasannya tersebut di layar ponselnya. Tak lama kemudian panggilan pun terhubung pada yang bersangkutan. [Selamat pagi, Pak Presdir. Awali pagi dengan senyuman.][Hm, jangan lupa sarapan!] seru Pak Presdir dari balik layar dengan suara beratnya. Setelah itu ia
Binar tercengang saat mendengarkan ucapan dari ibunya Tama. Nyonya Diana sengaja mengatakan itu karena sang putra tidak pernah mengenalkan satu wanita pun padanya, kecuali para sekretaris yang menemaninya. Ia hanya ingin melihat reaksi dari sang putra. Namun ternyata reaksinya tetap sama, hanya datar tanpa berekspresi saat menanggapinya. "Berhentilah melakukan hal konyol, Mom." Presdir Tama mengatakan itu sambil duduk. "Jadi yang ini bukan juga? Astaga, padahal Mommy sudah berharap banyak," sahut Nyonya Diana dengan lesu. Tuan besar Angkasa menahan tawanya, istri dan putranya memang sering sekali bertengkar jika sudah menyangkut tentang wanita. Wajar saja, karena sampai detik ini belum ada tanda-tanda mereka akan mendapatkan menantu. Keduanya sudah tua, mereka ingin menyaksikan pernikahan putra mereka satu-satunya. "Sebaiknya kita makan dulu," titah Tuan Angkasa.Para pelayan pun datang menghidangkan beberapa macam makanan. Binar terkejut karena banyak sekali makanan di meja terse
Melihat atasannya sangat antusias, Binar pun tak kalah semangatnya. "Tak banyak, hanya setengah kodi saja!" "Sepuluh orang maksud kamu?" Binar menganggukkan kepalanya, "Sepertinya Tuan Angkasa benar-benar mempersiapkan segalanya dengan matang, Pak Presdir." "Itu jumlah yang banyak …" "Benarkah? Lihat, Pak Presdir. Gadis ini cantik sekali. Apa ini anaknya Presdir Chloe? Sepertinya dia sangat cocok dengan Pak Presdir." Begitulah Binar, tidak bisa membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak saat berbicara dengan lawan jenisnya. Saat menyadari kesalahannya, Binar menutup mulutnya. "Sorry! Saya bercanda, Pak Presdir." "Dari mana kamu kenal dengan Presdir Chloe?" "Saya tidak mengenalnya," jawab Binar langsung. "Lalu?" "Lalu?" Beo Binar sambil memutar matanya. "Lalu apa? Ah, ya, lalu saya tahu nama Presdir Chloe dari tuan besar. Bukannya tuan besar tadi cerita tentang Presdir Chloe, ya?" sambungnya. Presdir Tama tak bergeming, berbicara dengan Binar memang harus memiliki kesab
"Haaa … kena, kalian!" serunya lagi sambil menggebrak meja dengan pelan.Suasana yang tadinya tegang pun menjadi cair kembali saat pria itu malah merapikan rambutnya. Dia adalah Rayyan, atasannya Andin yang terkenal suka merayu wanita."Hayo … ketahuan 'kan, kalian! Ternyata suka ceritain orang tampan." Rayyan kembali melanjutkan ucapannya untuk mencairkan suasana. "Maaf, Pak!" Lirih Binar dan Andin, meskipun Rayyan terlihat baik-baik saja, mereka merasa tidak enak karena sudah lancang membicarakan atasannya tersebut. "Berhubung saya sedang bahagia, saya maafkan. Tahu, nggak? Beberapa jam lalu saya akhirnya dapat nomor teman sekolah saya dulu yang ngejar-ngejar saya.""Kenapa Bapak yang senang? 'kan dia yang ngejar Bapak?" Andin langsung menyambar ucapan atasannya tadi."Karena sekarang dia semakin waw, tak di sangka kecantikannya semakin runcing.""Pisau kali, Pak," protes Andin. "Hei, saya atasan kamu!" oceh Rayyan. Binar tersenyum geli mendengar perdebatan mereka, namun senyumn