Author Pov
Harusnya Raveena memang mengakui kalau kapasitas otak Rasen dua kali lipat jauh lebih pintar. Perihal dia bisa mengalahkan Rasen dari segi peringkat, anggap saja itu sebuah keberuntungan. Fisika adalah musuh terbesar Raveena. Sampai-sampai nilainya pernah jeblok membuat Maudy histeris melihatnya.
Yang Raveena pertanyakan itu adalah otak Rasen. Lelaki itu mampu menguasai semua mata pelajaran dengan baik. Public speaking yang bagus. Tidak lupa rumus-rumus yang sudah sangat hapal di luar kepala. Raveena berdoa agar tahun ini tidak kalah telak oleh Rasen.
“Ngerti?” tanya Rasen setelah setengah jam ia mengajarkan Raveena fisika yang mana membuat kepala gadis itu puyeng bukan main.
Raveena menggeleng. “Enggak.”
“Serius enggak? Aku udah ngulang sampe empat balikan lho, Vee.”
“Beneran enggak ngerti.” Raveena menampilkan wajah lesu. “Tau ah, bodoamat. Aku gak ngerti.”
Author Pov“Lo jadi mamanya, gue jadi papanya. Gimana?”“Biar semua biaya Nayara gue yang tanggung.”“Gue bakal bantuin lo, Vee. Kita cari ortu Nayara sama-sama.”“Nayara itu anak kandung aku sama perempuan lain!”Rasa sesak kembali menyeruak di dada saat ucapan-ucapan itu kembali terngiang dengan jelas. Yang Raveena pikir nyata. Yang Raveena pikir tulus. Tapi tidak, kesungguhan yang ditunjukan ternyata hanya penguat dalam sandiwara yang ia jalankan.Akting yang patut diapresiasi! Raveena sampai benar-benar tak menyadari jika dia berada dalam lingkaran penuh dusta. Rasen yang mengatakan tidak suka melihatnya menangis, namun lelaki itu juga yang mematahkan hatinya begitu miris.Raveena mengusap ujung matanya sekilas, ia kembali memasukan satu suap sendok kecil pada mulut Nayara. Gadis itu bahkan masih sangat hati-hati merawat bayi tak berdosa ini, yang menangis keras ketika malam it
Author PovMaudy membuka pintu kamar Raveena dengan hati-hati. Sangat pelan sampai tak mengeluarkan suara sedikitpun. Netra hitamnya langsung tertuju pada gadis yang tengah duduk di bawah lantai seraya memainkan rubik. Menarik napas dalam, wanita itu masuk lalu ikut duduk di samping Raveena.Raveena mendongak sebentar, lalu kembali menunduk memainkan benda kotak bewarna-warni itu. Beberapa buku catatan sekolah di biarkan tergeletak di atas surpet. Sejak malam itu Raveena jadi lebih banyak diam. Gadis itu tak secerewet biasanya.“Main rubik mulu, kapan makannya?” tanya Maudy. Tak ada respon sama sekali membuat wanita itu meringis. “Hei... Ngelamun?”Harusnya Maudy tak perlu bertanya seperti itu. Jelas pikiran Raveena tengah bercabang sekarang. Malam itu, Maudy mendengar pertengkaran Raveena dan Rasen. Fakta yang jauh di luar nalar keduanya. Tapi wanita itu tetap bersikap tenang saat keadaan sangat menegangkan.Saa
Author PovBerkali-kali ia memfokuskan diri, namun konsentrasinya tak pernah bertemu di satu titik. Semuanya terpecah dan berhamburan bagaikan kunang-kunang yang menari di arah pandangannya. Rasen menggeram kesal. Ia membanting tumpukan dokumen itu dengan asal-asalan.Hatinya panas. Benar, sangat panas. Siang kemarin ia tak sengaja melihat Raveena dengan seorang lelaki yang tak di kenalinya ketika sepulang sekolah. Rasen takut. Rapuhnya Raveena mungkin saja bisa menjadi cela yang berbeda bagi keduanya.Mengubah posisi duduk, Rasen menaruh kedua sikunya di atas meja sehingga kepalan tangan ia tempelkan pada keningnya yang terasa pusing. Raveena-nya terlihat tenang dan membaik ketika bersama lelaki itu. Tidak seperti ketika bersama dirinya.Genggaman yang lelaki itu berikan membuat Rasen cemburu. Ia mendengus kasar lalu mengambil ponselnya dengan cepat, ia mengirim pesan pada seseorang tanpa pikir panjang.Rasendriya : Ke kantor Li, gue tunggu
Author Pov“Vee...”Itu bukan panggilan, tapi lebih dari sekedar kata yang tanpa sadar terucap. Rasen tak berani melangkahkan kakinya saat Raveena menuruni tangga untuk menjauh. Dirinya sudah terlanjur menyakiti. Raveena akan sangat membencinya sekarang.Tidak ada lagi ikatan diantara mereka. Tidak ada lagi hubungan. Semuanya sudah pupus. Rasen menyenderkan punggungnya ke belakang tembok dengan kepala terdongak ke atas. Tangannya masih memegang cincin putih itu dengan erat.Di sisi lain, Liora hanya menampilkan senyuman kemenangan ketika gadis itu berdiri di ambang pintu tangga. Kedua tangannya terlipat. Sebenarnya tadi Liora tak berniat membuat kekacauan ini. Namun semesta tengah berpihak padanya, Raveena datang di waktu yang pas.“Dia datang mendadak dan aku gak tau. Jadi bukan salah aku,” kata Liora enteng.Rasen menoleh. “Sekali penghancur tetep penghancur. Najis lo, Li.”--o0o—
Author Pov“VEE! VEENA! RAVEENA!” Teriak Merin heboh saat menghampiri Raveena yang baru saja keluar dari toilet. Gadis yang diteriaki namanya hanya mendongak datar dengan sebelah alis terangkat. “Vee ikut, Vee!”“Kemana?”“Hasil Try Out minggu kemarin udah keluar. Daftar peringkatnya dipasang di madding!” beritahu Merin antusias. Gadis itu merebut paksa dasi Raveena yang belum terpasang di kerah seragamnya. “Biar gue pasangin. Bintang sekolah auranya harus terpancarrrrr!”“Mer, Rasen atau Raveena?” tanya Lista yang berdiri di samping dan Merin langsung mengerti.“Tahun ini. Gue ngejabanin Raveena,” balas Merin.Lista mengangguk setuju. “Oke, gue Rasen.”“Kalian... Taruhan lagi?” tanya Raveena dengan nada malas.“Hm, nggak usah kaget gitu lah. Tiga tahun kebelakang gue sering gini sama Lista.” Merin
Author PovTidak ada yang lebih mengerikan dari kehilangan. Tidak ada yang lebih sakit dari ditinggalkan. Apapun yang terjadi itu sudah berada dalam tulisan buku takdir-Nya. Manusia tak bisa menghalang atau menolak, menerima sudah menjadi jalan satu-satunya.Rasen duduk di kursi dekat pintu IGD. Pikirannya dengan lancang berkecamuk memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Doa Rasen hari ini hanya satu; semoga Divya baik-baik saja. Itu sudah cukup. Dirinya sudah kehilangan sosok Ayah, jangan Mamanya juga. Rasen belum siap Tuhan.Derap langkah seseorang begitu jelas terdengar mendekat, namun Rasen memberikan pengabaian dengan tetap menunduk tanpa berniat mendongak. Satu tangannya mengepal menempel pada keningnya yang basah. Perasaanya kalut.“Rasen?” Raveena memegang pundak lelaki itu pelan. Rasen tersentak, kepalanya tergerak menoleh ke samping melihat gadis itu sudah duduk di sisinya. “Jangan khawatir, Mama Divya bakal-baik-bai
Author Pov“Lo mau bawa gue mati bangsat?!” tanya Liora pada Raveena.“Gue gak seidiot itu buat ngakhirin hidup,” balas Raveena dengan pandangan fokus menyetir.“Tapi lo bener-bener cari mati!” kata Liora ditengah kepanikkannya. “Jangan-jangan lo beneran psycho?!”Raveena memutar bola matanya malas. “Kalau gue psycho udah gue lindes lo daritadi! Bego!”Liora mengusap pelipisnya yang basah. Gadis itu gemetar ketika Raveena menjalankan mobilnya dengan kecepatan tinggi bukan main. Tadi di sekolah, dengan bantuan Lista dan Merin, Raveena berhasil menggeret paksa Liora masuk ke dalam.Sial sekali. Liora sudah seperti korban di mobilnya sendiri.Liora membulatkan mata saat mobilnya di bawa masuk ke dalam gerbang rumah besar dan megah itu. Tak pernah menyangka kalau ini yang akan menjadi tempat tujuan Raveena. “Mansion Adystha? Lo ngapain ngajak gue ke sini?”
Author Pov"Si Johan asyu nggak ada akhlak!" gerutu Rasen dengan wajah tertekuk kesal. "Asalamualaikum. Paijo! Gelud moal?!"Pulang sekolah Rasen misuh-misuh sendiri. Mogok ngomong sama temen-temennya. Terutama pada Johan, teman bangsat yang tidak ada adab sama sekali. Berani-beraninya membuat nyawa Rasen hampir melayang karena ulah jahil yang tidak manusiawi."Sen, kayak emak-emak banyak tunggakan lo malah ngambekan," kata Johan diikuti Romi dan Daffa dari belakang."Gak usah deket-deket, gue lagi marah sama lo." Rasen melengos menjauh, lelaki itu berbicara sambil membawa anak kucing yang ntah darimana datangnya. "Pergi lo! Pergi!"Johan menarik-narik tangan Rasen dramatis. "Aku bisa jelasin semuanya!""Bulu kaki gue sampe merinding dengernya," ujar Romi bergedik ngeri sendiri."Lo semua itu kejam! Sepakat, kan, lo pada nyimpen SEBLAK di tas gue? Lo tau gue nyaris pingsan liatnya! Kalau Mama Divya sedih tau nyawa gu