Fadil kembali melajukan kendaraan roda empat dengan lebih berhati-hati. Setelah semua masalah dianggap selesai dengan pertanggungjawaban yang tertunda, karena saat itu di dalam dompet Fadil hanya tinggal dua lembar pecahan uang lima puluh ribuan.
Dering suara gawai kembali terdengar. Kali ini bukan panggilan dari Zahra. Namun, sebuah panggilkan dari seseorang yang sengaja Fadil samarkan namanya menjadi Staff Administrasi dua.
Begitu niatnya, Fadil menyembunyikan selingkuhannya dari sang istri.
[Kita jalan ke Mall, ya? Ada yang mau aku beli]
Fadil terdiam sejenak. Tangan kekarnya segera merogoh dompet yang ada di dalam saku. Pandangan lelaki itu kabur seketika saat melihat isi di dalamnya yang semakin hari semakin tipis.
Di tengah perjalanan, Fadil membelokkan arah mobilnya menuju mini market tempat mereka berkumpul.
Lelaki itu bergegas
Fadil menggeser tempat duduknya dan mendekati lelaki tua berambut putih itu. Ia sepertinya ingin meluluhkan hati lelaki tua itu agar bisa lebih mudah mendapatkan sang anak."Bah, ada yang pengen nikahin anak Abah tuh," ujar Susi berseloroh.Semua mata pun tertuju kepada Fadil yang tampak salah tingkah. Lelaki itu itu menatap ke arah sang kekasih hati, kemudian menatap wajah lelaki tua yang duduk di depannya"Jika anak bapak berkenan dan Bapak mengizinkan. Saya mau menikahi anak Bapak," sahut Fadil tanpa ragu."Enggak lah, kamu kan udah punya istri. Ntar ada yang ngelabrak ke sini!" tukas Melati tiba-tiba yang disambut gelak tawa seisi rumah."Makanya jadi suami itu jangan susis. Suami itu kepala bukan ekor," timpal Susi berseloroh.Fadil tersenyum kecut. Lelaki itu menatap sekilas ke arah Melati, kemudian mengedarkan pandan
"Pilih aku atau dia? Aku tidak akan pernah sudi untuk dimadu dengan wanita yang tidak berakhlak," ucap Zahra tegas dengan tatapan lurus ke depan.Fadil terdiam memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Jauh di dalam lubuk hatinya. Lelaki yang tengah mengalami puber kedua itu tidak ingin rumah tangga yang telah dibangun berpuluh tahun, hancur dalam dalam sekejap.Namun, di sisi lain, niatnya begitu kuat untuk menikahi Melati. wajah wanita itu seakan telah terekam jelas di dalam sanubari dan selalu terbayang di pelupuk mata. Sulit untuk Fadil terlepas dari bayangan Melati. Seperti harumnya bunga Melati yang selalu membuat penikmatnya terhanyut.Fadil tidak pernah berpikir sedikit pun bahwa masa puber kedua yang sering ia dengar dari teman atau pun saudara benar-benar dialami sendiri dan berakibat fatal hingga menimbulkan masalah yang sangat besar di dalam hidupnya. Ia hanya mengikuti hati yang tengah ter
POV Zahra"Yah mau dibuatkan kopi?" tanyaku seraya menepuk pelan pundak lelaki yang tampak sedang melamun."Yah!"Fadil terdiam tanpa respon untuk beberapa waktu. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya terhanyut."ouh, iya," jawabnya gugup.Aku menatap wajah lelaki yang terlihat memerah itu dengan penuh tanda tanya. Satu hal yang selalu membuat hati ini ragu. Mas Fadil seperti tidak sepenuhnya sadar dan bertaubat. Ia masih sering kali melalaikan kewajiban shalat lima waktu. Padahal itu adalah hal terpenting untuk seorang muslim.Entahlah, aku tidak berani menegur atau pun menyuruh dia untuk shalat. Hal itu sudah aku lakukan jauh sebelum terjadinya badai di dalam rumah tangga kami. Namun, lelaki itu sepertinya tidak suka jika sang istri mengatur hidupnya. Mungkin harga dirinya terluka jika mendengar nasihat atau tegu
Hari demi hari berlalu. Tidak seindah dan semudah angan di dalam benak. Perbedaan pandangan dan pemahaman hidup sering mewarnai percakapan kami sehari-hari. Luka yang memang belum sembuh. Yang berusaha ku kubur di relung terdalam pun mulai terasa dan nampak ke permukaan. Seperti bom atom yang siap meledak setiap saat. Sedikit saja luka itu tersentuh, rasa sakitnya kembali menyiksa hati ini. Malam belum begitu larut. Aku beranjak dari tempat tidur, setelah menidurkan anak bungsu. Mata ini tertuju kepada Fadil yang tengah asik dengan gawainya di ruang tamu. Aku hanya berdiri sambil memperhatikan raut muka lelaki yang kunikahi itu. Dia tampak serius, terkadang tersenyum tipis di depan layar benda pipih berwarna hitam. Benak ini mulai dipenuhi pikiran negatif. Perasaan takut akan pengkhianatan terulang kembali mulai membebani dada. Akhirnya setelah beberapa menit, kaki ini
Terlalu rumit dan pelik untuk menceritakan pov dari sudut pandang Fadil. Hanya gambaran beberapa bab saja sudut pandang fadil. kembali ke inti cerita.***Hari ini ada acara pembagian raport di sekolah Luna. Mas Fadil tidak bisa ikut karena harus berkerja. Hari Senin pagi, wali santri dan semua penghuni pondok sudah memenuhi masjid jami pondok putra.Aku berangkat seorang diri mengendarai sepeda motor. Netraku mengedar ke sekeliling. Mencari sosok gadis kecilku yang sekarang telah tumbuh menjadi remaja."Assalamualaikum," ucap Luna seraya mencium punggung tangan, diikuti beberapa temannya."Kaka mau HP ya, kalo rengking satu," ucap Luna sambil tersenyum."Emang kaka rengking satu?" Tanyaku sedikit tidak percaya.Gadis manja yang di kerjaannya hanya rebahan dan menonton televisi ketika di rumah. Rasanya, ragu untuk percaya perkataan anak itu."Ih ... beneran mah, kaka rengking satu," jawabnya dengan penuh percaya diri."Ya udah, lihat aja nanti buktinya," ucapkua masih tidak yakin.Acar
Tidak terasa Fariz sudah berumur empat tahun. Bocah itu sudah mulai ceria. Berat dan tinggi badan mulai berangsur normal.Namun, satu hal yang mengganjal di hati. Anak itu lebih senang bermain hanphone atau menonton televisi dari pada bermain di luar.Bukan cuma itu, Fariz mulai berbicara denga logat melayu ala Upin dan Ipin. Film kartun kesayangannya."Yah, gimana Aa, kita masukan ke TK aja ya, biar ada kegiatan, biar punya teman. Nggak main HP terus," ucapku saat kami sedang bersantai di depan teras."Emang Aa umur berapa?" tanya Mas Fadil terlihat kaget."Empat tahun, ampun deh, umur anak sendiri aja lupa," jawabku geram."Ouh.""Kaka Luna, dulu juga masuk TK umur empat tahun.""Ya udah, daftarin aja," balas Mas Fadil memberikan lampu hijau.Mas Fadil sebenarnya lebih menyerahkan urusan anak kepadaku. Ia hanya memberikan ijin saja, selebihnya akan menjadi urusanku sendiri.Aku segera mempersiapkan berkas milik Fariz untuk kelengkapan pendaftaran anak. Tidak sabar rasanya ingin seger
Menginjak bulan Agustus, hati ini semakin berdebar. Tiga belas tahun sudah kami mengarungi bahtera ini.Badai yang menghantam hebat telah kami kami lalui bersama. Namun, ombak dan gelombang terus saja menerjang sepanjang perjalanan.Aku ingin membawa bahtera ini menuju akhir yang bahagia. Sebuah pulau surga yang kekal abadi di dalamnya.Hari itu, kami telah bersiap untuk pergi berlibur ke pantai. Sekalian bersilaturahmi dengan orang tua Mas Fadil yang kabarnya sedang sakit."Udah siap?" Tanya lelaki yang telah rapi itu dengan senyum menyungging."Iya, bentar lagi," jawabku yang masih sibuk mengecek baju dan keperluan anak-anak lainnya."Hore, kita ke pantai!" Pekik kia dan Fariz sambil melompat riang.Setelah dirasa sudah cukup dan siap kami pun segera berangkat menuju kota Serang.***Mobil melaju perlahan, menggilas batu kerikil yang berserakan di jalan, kemudian melaju semakin cepat di jalanan aspal yang mulus tanpa hambatan.Kami pergi ke pantai tanpa si sulung. Gadis itu tidak bis
Hari itu, di luar panas terik matahari sangat menyengat kulit. Hari Minggu ini kami masih setia berada di dalam rumah.Hari nyuci dan beres-beres sedunia. Hampir semua pekerjaan rumah telah selesai dikerjakan.Kia bertugas mencuci sepatu dan tas sekolah miliknya. Aa Fariz bertugas membereskan mainan yang berserakan di lantai, bekas dirinya sendiri.Sementara Mas Fadil, asik memandikan dan memberi makan burung kesayangannya.Si bungsu masih terlelap. Wajah mungilnya membuatku gemas dan ingin mencubit pipi merah itu.Walau pada awalnya, aku tidak begitu menginginkan dia ada. Namun, setelah perjuangan panjang dan drama melahirkan yang memacu adrenalin.Aku mulai menyayangi si bungsu. Apalagi saat melihat Mas Fadil begitu sayang kepada si bungsu.Untuknya Adiva adalah penyelamat. Yang mengalihkan perhatiannya dari hal-hal yang tidak baik. Membuat dirinya fokus dan kembali ke jalan yang lurus.Selang beberapa menit Mas Fadil tiba-tiba berbaring di sampingku sambil memainkan gawai."Mah, aya