Tanpa komando kedua pria tak dikenal tersebut langsung menoleh ke belakang. Mereka melihat Steve yang memasang muka poker face-nya. Pria asing tersebut langsung gemetar. Bahkan, salah satunya menepuk-nepuk lutut teman di hadapannya.
Sebenarnya Steve sudah mengetahui keberadaan keduanya sejak pagi. Tetapi, ia membiarkan mereka karena Steve pikir kedua pria tersebut hanya iseng di depan rumah adik tersayangnya. Tapi pria tak dikenal itu terus berada di sana, maka ia sengaja menghampiri mereka. "Kalian ngintip siapa?!"
Karena tidak sabar, pria gondrong itu mengambil begitu saja kamera yang dipegang salah satu pria asing tersebut. Ia membuka dan melihat hasil jepretan mereka. Di sana ada foto Gladis dan Arsen saat sedang melakukan aktivitas di luar rumah. "Siapa yang menyuruh kalian?!" tanya Steve dengan nada tinggi.
Pria asing itu terus saja diam. Tak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka. Steve menarik pa
"Aduh .... Sakit!" "Bagaimana rasanya?" tanya Gladis penasaran. Arsen mengedip-ngedipkan matanya. Terlihat Ia berpikir sejenak. Gladis mencubit pergelangan tangan yang tidak dibalut biocrepe dan Arsen mengaku jika cara Gladis sangat jenius. "Kamu membagi rasa sakitnya menjadi 2, sehingga tangan yang patah tidak terasa sakit lagi, tapi di sisi lain yang ini sakit karena ... dicubit!" Spontan gadis cantik itu menepuk lutut Arsen. Dia berucap, "Hei! apakah kamu tidak tahu seni kehidupan? meski tanganmu sakit, ingatlah bahwa tangan yang lain tidak sakit!" Kata-kata Gladis terdengar seperti syair di telinga Arsen. Ia terus memandang Gadis itu dengan tersenyum bahagia dan sorot mata berbinar-binar. "Kamu sangat baik untukku. Terlalu baik." "I-itu ... sudah tugasku." 'Aku yang terlalu baik atau kamu yang terlalu penurut seperti anak kucing. Hahaha ...'
"Baiklah, aku akan turun tapi ada satu permintaan untukmu!" Gladis memutar kedua bola mata dan melipat kedua tangannya. Ia menghela napas kemudian berjalan mendekati pria tersebut. "Apa itu?" "Simplenya sih, aku butuh jasamu!" Gladis memperhatikan baik-baik pria itu dari atas ke bawah. Dia tidak pernah mengenal orang asing yang duduk di motornya. Dengan sepatu mengkilatnya pria tersebut mengetukkannya ke lantai beberapa kali. Gladis terus mendekat kearahnya. Dalam hati, Gladis tersenyum sinis. Dia tahu bahwa lelaki di hadapan sebenarnya sedang gugup. Gadis cantik itu duduk di motornya, tepat di hadapan pemuda tak dikenal itu. Mereka berdua saling berhadapan. Sedetik kemudian, rona manis yang Gladis tampilkan berubah menjadi tatapan dingin, seolah ingin menerkam pria dihadapannya. "Siapa anda? sebenarnya apa maumu?" Lelaki itu mundur perlahan-lah
"Sulit dipercaya bahwa ada wanita yang sikapnya seperti itu. Bisa berubah dengan cepat, seperti ada dua orang dalam satu tubuh," ujar kaki tangan Mr. X tersebut. Akan tetapi dia juga bingung. Apa alasan sebenarnya dari tuannya? mengapa ia mengutusnya untuk melakukan hal tersebut? Gladis memutar arah laju motornya. Dia kembali ke parkiran kantornya dengan kecepatan penuh. Tapi, kali ini motor sport yang ia kendarai diparkirkan agak jauh dari basement. Dirinya berjalan mengendap-endap. Benar dugaan Gladis sejak awal. Dia sudah menaruh curiga kepada pria yang baru saja ditemuinya,yang tiba-tiba menginginkan dirinya."Cukup patuh juga anak itu," ucap Mr. X yang masih berdiri di sana. Sebelum masuk ke dalam mobilnya, dia kembali berucap, "Kau boleh memiliki isi koper itu!" Dengan wajah kegirangan, pria yang tadi sempat ambruk digampar Gladis, berkali-kali menciumi koper dipelukannya. &nb
"Apa kamu marah? ya kan? kamu seperti menghindar jika denganku. Tidak seperti sepasang kekasih yang aku lihat di film. Maafkan aku jika aku terus merepotkanmu!" Arsen mulai merancau tak karuan. "Dasar payah! Aku saja tidak bisa mencium bau alkohol darimu, tapi kamu sudah oleng kayak gini?" Gladis tertawa dengan tingkah kekonyolan Arsen. "Berjanjilah satu hal kepadaku!" Arsen yang duduk bersama Gladis, dia terus memepet tubuh gadis cantik di sampingnya. Sampai posisi Gladis berada di bawah tubuh Arsen. "Apa itu?" "Setelah kau berjanji padaku ...." "Katakan dulu apa itu!" "Aah .... Kamu pasti tidak mau memaafkanku kan?" Arsen kembali merengek. Dia memposisikan dirinya duduk dengan memeluk lutut yang ditekuk. Pria itu memasang muka bersedih agar Gladis dapat bersimpati kepadanya. "B-baiklah, aku berjanji! apa itu?"
Pagi hari setelah menyiapkan sarapan untuk Arsen. Gladis pergi berangkat kekantor. Beberapa menit kemudian, Kevin dengan motor maticnya menuju ke rumah Gladis. Sesampainya di depan pagar, dia turun dan menelpon Lexi. "Halo tuan Lexi. Iya, saya sudah berada di depan rumah Nona Gladis," lapornya kepada Lexi. Ternyata dia dan Lexi berencana untuk mencari keberadaan Arsen ke orang-orang yang ikut dalam kegiatan proyek di Bali. Ia mulai menelusuri semua itu dari Gladis. Hampir saja dia masuk ke rumah itu, sudah ingin memencet tombol bel di gerbang. Tetapi tiba-tiba aksinya dihentikan oleh kedua pria. "Mas ... maaf tidak boleh parkir di lingkungan ini! apa kamu sudah lapor ke pos jaga di depan tadi?" Kevin terlihat bingung. bagaimana tidak? di lingkungan perumahan biasa ada tukang parkir. Bukankah hal aneh, jika itu satpam jaga mungkin hal wajar. kedua pria itu adalah kaki tangan ayah G
"Lagi ngetik apaan sih?" tanya Gladis yang tiba-tiba masuk ke kamar Arsen tanpa ketuk pintu ataupun permisi.Arsen terkejut dan reflek dia melipat laptopnya begitu saja. Kemudian dia berbalik dan mempertontonkan senyum manisnya kepada Gladis. "Ada apa? apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" tanya Gladis. "K-kamu kok udah pulang? nggak kerja?" Arsen mencoba mengalihkan perhatian Gladis. Entah apa yang sebenarnya Arsen ketik di mesin pintar tersebut, dia tak ingin ambil pusing dengan aktivitas pria yang dicintainya. "Mau makan siang sama kamu. Masa iya? punya cowok tampan gini dianggurin aja." Ucapan gadis cantik itu membuat Arsen merona. Arsen mengangkat sebelah alisnya, memperlihatkan ekspresi bingung. Namun dalam hati, dia sangat kegirangan. Padahal sebelumnya, dia merasa malu saat bangun tidur karena tanpa sengaja mempertontonkan tingkah konyolnya di hadapan sang kekasih.
Jenni kembali berbisik kepada Gladis, "Wah, gawat! perang dunia ketiga nih." Mereka bertiga akhirnya masuk ke dalam rumah. Arsen dan Reska duduk di meja makan dengan kopi yang sudah tersedia di depan Reska. Arsen duduk dengan tenang sementara Reska selalu memandang pria dihadapannya dengan sinis. Saat Reska meminum kopi buatan Arsen, matanya terbelalak ingin memuntahkan kembali kopi yang sudah sampai di tenggorokannya. Namun dirinya merasa tindakannya kurang sopan. "Gila! ini kopi apaan? nggak kayak buatan Gladis yang tiap hari aku minum!" lagi, Reska hanya memancing emosi Arsen. Semua yang dia lakukan bersama Gladis selalu dibesar-besarkan. Pria manja itu ingin membuat Arsen cemburu. "Karena Gladis tahu cara membuatkan minuman untuk anak kecil. Sementara aku mengajarkanmu cara meminum kopi untuk pria dewasa! kemarin kepanasan. Sekarang pahit. Besok apa lagi?" Gladis yang mendengark
"Temam satu kelas? berarti mereka semua muridku dulu?" Jenni disenggol teman wanita yang berada di sampingnya. Bertanya sebenarnya ada apa dan kenapa Gladis bisa diperlakukan seperti itu. Jika Arsen adalah Reska mungkin itu hal yang wajar. Mereka sudah tahu sejak dulu pria manja tersebut memang menyukai Gladis. Tetapi ini berbeda dengan pemandangan yang sedang mereka saksikan. Jenni memberi tau kepada temannya. "S-sebenarnya pak Arsen hilang ingatan ... tapi jangan bilang-bilang sama orang lain!" Gadis itu memperingatkannya. Dia juga takut jika keberadaan Arsen diketahui oleh orang lain. Terutama tunangan yang baru ia bicarakan. "Bagaimana? apa kamu mengingat sesuatu .... Pak Arsen?" Gladis sampai bingung menempatkan posisinya saat ini. Arsen mencoba menelusuri setiap wajah yang ada. Namun, dia tetap tidak mengingat apapun. Reska tiba-tiba menggandeng Gladis. Akan tet