Beberapa saat berlalu dalam hening. Adriana kehilangan kata-kata untuk merespon permintaan absurd itu.
Bagaimana mungkin dia bisa diminta berpura-pura jadi kekasih pria amnesia ini? Pikirannya sungguh tak sampai untuk menelaah permintaan aneh tersebut."Nona bersedia, kan?" ulang Nyonya Wanda beberapa saat kemudian setelah Adriana tak juga membuka mulutnya untuk menjawab pintanya."Tap--tapi, maksudnya saya bisa bantu bagaimana, ya? Mana mungkin saya berpura-pura jadi kekasihnya sementara dia seharusnya dipertemukan dengan yang asli agar bisa sembuh total, bukan?" tanya Adriana belum paham.Nyonya Wanda tampak menarik napas panjang, mengumpulkan segala kekuatan untuk mengungkap masalah yang sebenarnya."Sebenarnya urusan ini sangat rumit, Adriana. Saya jelas taka akan sudi mempertemukan Dante lagi dengan Zoya yang asli. Dia itu ... ah, yang penting ada sesuatu yang membuat kami tak mungkin meminta Zoya kembali. Lagipula gadis itu hilang entah ke mana."
"Hilang?" Spontan Adriana memeliakkan mata mendengar kabar tersebut."Ya, dia dikonfirmasi telah naik pesawat dari Aussie, tetapi tidak ada kemunculannya di bandara kedatangan sama sekali. Entah ke mana perginya gadis itu!" jawab Nyonya Wanda dengan nada menggerutu."Astaga! Kasihan TuanDante kalau sampai tidak bertemu kekasihnya, maka ...," keluh Adriana, iba dengan apa yang telah dialami pria dengan tampang cukup tampan yang masih tak sadarkan diri itu."Sebentar lagi saat Dante bangun, kita lihat apakah dia akan bereaksi terhadapmu, Adriana. Dan setelah itu, baru kita akan cari tahu apa benar menurutnya ada sesuatu dalam dirimu yang mengingatkannya pada si Zoya itu. Kalau kilihat-lihat memang sedikit ada kemiripan, tapi ah, mungkin dari dandanan dan gaya pakaian kalian yang sangat berbeda sehingga saya dan Dokter tadi tak menyadarinya.""S-saya? Mirip dengan Zoya?" Adriana mengulangi pernyataan Nyonya Wanda yang terdengar tak masuk akal di telinga. Berharap ia salah dengar, tetapi wanita kaya nan berkelas itu menganggukkan kepalanya dengan pasti sembari memusatkan perhatian kepada Adriana."Dan saya mohon, bila Dante nanti ternyata benar bereaksi terhadapmu, saya ingin kamu membantu saya dengan berpura-pura jadi Zoya ...," ucap Nyonya Winda kemudian.Adriana mencoba mencerna perkataan itu. Ini benar-benar terdengar aneh, tapi, bila benar itu bisa membantu pria pingsan ini untuk sembuh, mungkin ia harus bersedia. Setidaknya, sebagai bentuk pertolongan terhadap sesama. Apalagi tadi Nyonya Wanda menawarinya gaji berapa pun. Wah, itu bisa sekaligus menyelamatkan hidupnya. Ia berpikir cepat.Akhirnya, dengan ragu-ragu ia menjawab,"Baik, Nyonya. Mari kita lihat apakah benar wajah saya mirip dia--eh, maksud saya Zoya."Dalam hati, Adriana berharap itu hanya kekeliruan saja. Siapa tahu dirinya tidak ada mirip-miripnya sama sekali dengan Zoya, kan? Mana mungkin bisa terjadi kebetulan seperti ini? Dia menolong seorang pria pingsan yang sedang amnesia sebab kekasihnya hilang, dan ternyata wajahnya mirip dengan wajah kekasihnya yang hilang itu? Sungguh kebetulan yang terlalu fantastis, pikirnya setengah tak percaya.Beberapa saat setelah obrolan mereka berlanjut sampai di bagian pekerjaan yang dicari Adriana, terlihat pergerakan dari atas sofa lebar tempat pria itu terbaring. Tampaknya ia akan segera sadar.Segera saja Nyonya Wanda menghampiri Pak Dante."Sayang, Dante ..., Nak?" panggil wanita itu lembut di dekat wajah putranya.Adriana ikut berjalan mendekat dengan ragu-ragu. Berdiri di sebelah Nyonya Wanda dan mengawasi kala mata pria itu mengerjap-ngerjap sebentar lalu membuka perlahan. ia langsung terpana melihat iris mata coklat milik pria itu. Bulu matanya juga tebal panjang dan lentik, seperti bulu mata wanita yang sudah diapakaikan maskara saja, batinnya iri. Teringat dengan bulu matanya sendiri yang jarang dan pendek-pendek dan tak bisa seindah itu meski sudah berbagai jenis maskara ia coba aplikasikan."Mama ...," ucap lemah si pria yang langsung menyeret kembali Adriana dari lamunannya barusan."Oh, syukurlah, Dante. Kamu sudah sadar, Nak." Nyonya Wanda mengembuskan napas panjang penuh kelegaan. Ia lalu duduk di sebelah putranya dan membimbingnya bangkit untuk duduk dan meminum susu hangat buatan asistennya tadi."Gimana perasaan kamu?" tanya beliau setelah Dante selesai meneguk sedikit susu hangatnya.Tapi tampaknya pria itu telah mengabaikan sang mama. Mendadak, ia mengalihkan pandangannya kepada sosok lain dalam ruangan itu. Sosok yang tak biasanya ada di sana. Adriana. Mata keduanya bersitatap tanpa Adriana bisa memalingkan pandangannya. Iris coklat itu seolah menarik dirinya untuk fokus."Zoya! Kamu di sini?" seru Dante tiba-tiba. Spontan ia berdiri dari duduknya dan sedikit sempoyongan menghampiri Adriana lalu langsung saja memeluknya tanpa banyak bicara.Adriana tersentak kaget. Ia begitu terkejut hingga lama merespon apa yang telah terjadi dengan begitu cepatnya."Eh, anu--aku--" Adriana hendak menjelaskan bahwa dirinya bukanlah Zoya seperti yang dikira Dante.Namun, tatapan memohon dengan menangkupkan kedua telapak tangan dari Nyonya Wanda membuat ia mengurungkan niat. Ya, ia tak tega menolak permohonan dari seorang ibu yang menginginkan kesembuhan putranya.Maka ia pun menghela napas panjang lalu mencoba mengikuti permainan yang ada. Ia tak dapat membalas pelukan Dante tentu saja. Yang dilakukannya adalah berkata halus kepada pria itu,"Iya, Dante. A-aku di sini. Kita duduk aja, yuk. Mama kamu khawatir sekali dengan kesehatanmu."Tanpa sadar, Adriana bisa memerankan peranannya dengan lumayan bagus. Astaga! Ia sampai heran sendiri dengan dirinya. Padahal tanpa persiapan sama sekali. Tapi, feelingnya mengatakan ini akan jauh lebih rumit dari yang diperkirakan.Tampak Nyonya Wanda lumayan lega dan senang dengan progress yang ditunjukan sang putra. Dante menuruti Adriana. Ia duduk kembali di sofa, hanya saja, ia juga menggamit lengan Adriana untuk ikut duduk dekat sekali di sebelahnya. OMG, Adriana hampir berteriak saking nervousnya. Berdekatan seintens ini dengan pria baru kali ini dirasakannya. Apalagi Dante adalah orang yang belum dikenalnya sama sekali. Astaga!"Eh, a-aku mau ke kamar mandi dulu," ucap Adriana akhirnya. Ia memaksa bangkit, melepas genggaman jemari Dante di lengannya dan beranjak ke arah pintu pojok ruangan yang ia tebak sebagai toilet.Wajahnya memerah dan terasa panas saking tegang sekaligus malu. Harus bagaimana bersikap di depan Dante? Apa ia harus benar-benar totalitas menyamar sebagai sang pacar? Harus bersikap benar-benar dekat selayaknya pacar? Astaga! Mana bisa! Adriana bahkan belum pernah berpacaran sebelumnya. Kini malah harus pacaran dengan pria yang menyangkanya sebagai kekasihnya yang hilang."Adriana! Mama mau masuk sebentar, kamu butuh bantuan membetulkan bajumu, kan?" seru Nyonya Wanda di luar pintu toilet.Ah, nyonya itu pasti akan memberinya instruksi lagi harus bagaimana bersikap setelah ini. Gegas ia membukakan pintu untuk wanita itu."Nyonya, bagaimana ini? Saya harus apa? Saya gugup kalau bersikap seperti selayaknya pacar untuk Tuan Dante," ucap Adriana berterus terang."Lakukan sebaik yang kamu bisa, Adriana. Sungguh saya minta tolong. Saya akan bayar berapa pun.""Anggap saja pencarian pekerjaanmu telah usai. Ini pekerjaan yang bagus, bukan? Gajinya bisa kamu tulis sendiri di cek kosong yang akan saya beri nanti. Saya harap kamu mau bekerja sama dengan saya.""Bantu saya menyembuhkan Dante. Hanya sampai dia sembuh total saja. Setelah itu saya akan pastikan juga kamu bisa dapatkan pekerjaan yang pantas di perusahaan ini." Nyonya Wanda mencerocos mengajukan penawarannya.Sementara Adriana terbelalak, belum sanggup mencerna kalimat berupa rencana menarik sekaligus berbahaya sekali yang ditawarkan oleh sang nyonya.***Awwww ... udah dimesra-mesrain aja ama si Tuan Dante. Bahaya nih!
Membelalakkan matanya, Adriana tak dapat berkata apa-apa. Ya Tuhan, bagaimana ini? Apa dia bisa melakukan hal yang diperintahkan oleh Nyonya kaya ini? Rasanya itu pekerjaan yang teramat sulit untuk dilakukan.Tapi kemudian ia teringat akan kondisi dompetnya yang mengenaskan dan entah akan cukup sampai berapa hari lagi untuk dipakai bertahan hidup sementara ia belum juga mendapat pekerjaan hingga saat itu.Maka, dengan segala keterpaksaan serta kenekatan, akhirnya ia menganggukkan kepala tanda menyetujui penawaran tersebut."Baik, Nyonya. Saya akan berusaha semampu saya," jawab Adriana mencoba terdengar penuh ketegasan. Padahal, kalau saja nyonya itu bisa melihat ke dalam hatinya, ia sendiri sama sekali tidak yakin bisa melakukan hal tersebut. Tampak wajah semringah yang ditunjukkan oleh sang nyonya. Ia lalu menjabat tangan Adriana dan dengan sangat bersungguh-sungguh mengucapkan rasa terima kasih yang tak berhingga."Terima kasih banyak, Adriana. Saya benar-benar menghargai ini. Bahka
Tertegun serta terpana di saat yang bersamaan, begitulah sikap Adriana ketika pertama kali mobil mewah yang mereka tumpangi masuk ke halaman sebuah rumah megah yang bak istana saja di penglihatannya.Tadi saat di luar pagar tinggi menjulang berwarna hitam, ia sudah melihat siluet rumah itu dari kejauhan, tetapi begitu satpam membukakan pagar jumbo tersebut, ia semakin melongo dibuatnya.Rupanya keluarga Danuaji ini begitu kaya raya. Dari pagar masuk menuju ke teras rumah saja Adriana akan merasa butuh waktu belasan menit untuk berjalan mencapainya. Ckckck.Seketika terbayang rumahnya sendiri di kampung yang hanya sepetak tanah berisi rumah dengan halaman yang barangkali hanya sepersekian dari luas teras rumah ini, bukan halaman ya, tapi teras! Ckckck! Sebuah kesenjangan yang hakiki.Saat Dante meraih lengannya dengan lembut dan membimbingnya keluar dari mobil, Adriana pun berjalan di samping pria itu dengan pandangan menyapu sekeliling teras yang tampak sangat asri sekaligus mewah deng
DEG! Adriana langsung terbungkam. Untung ia langsung bisa berpikir cepat soal jawaban yang dapat menutupi kecurigaan Dante."Maksudku itu pesan papaku dulu sebelum meninggal," ucapnya buru-buru.Akhirnya Dante menghela napas panjang. Sedikit terbersit curiga tapi kemudian rautnya kembali netral. Pria itu lalu mencubit hidung gadis di hadapannya gemas. Adriana berpura-pura terkekeh. Ia kemudian menguap lebar demi menciptakan kesan bahwa ia sedang sangat mengantuk dan lelah. "Ngantuk?" tanya Dante tampak prihatin.Adriana cepat-cepat menganggukkan kepala. Terlalu cepat hingga Dante tampak sedikit merasa aneh lagi dengan sikap gadis di hadapannya."Ya udah, tidur aja. Aku akan keluar," ujar Dante. Hal yang sangat dinantikan oleh Adriana memang kepergian pria itu dari dalam kamarnya."Oh ya, kalau butuh apa-apa, kamu langsung bilang ke aku atau ke pelayan. Anggap aja rumah sendiri, oke?" Dante mengucapkan kalimat pamungkasnya sebelum berlalu dan menutup pintu kamar Adriana di belakangn
Terbelalak ngeri, Adriana langsung beranjak tak jadi duduk di sana. Ini kursi mesum mereka, pikirnya membatin, agak jijik dengan bayangan yang seketika melintas dalam pikirannya. "Hei, mau ke mana, Zoya?" panggil Dante yang mellihat sang gadis malah ngeloyor pergi menjauhinya. "Aku ... mau ke kamar mandi sebentar!" jawab Adriana memberi alasan. Bergegas pergi daripada mengundang bahaya yang lain lagi, Adriana mencari-cari jalan ke kamarnya tadi. Di rumah ini banyak sekali lorong sehingga ia hampir tersesat kalau saja tidak melihat seorang pelayan yang menyapanya dengan menundukkan tubuh lalu ditanyai,"Bik, anu ... bisa antar ke kamarku tadi, nggak? Ehehe ... aku ... lupa," jujurnya kepada wanita berusia sekitar empat puluhan itu. "Oh, baik, Nona Zoya. Mari saya antar," jawabnya ramah lalu mendahului Adriana ke lorong tempat kamarnya dan kamar Dante berada. Astaga! Ternyata memang kalau lewat pintu samping rumah, jadi membingungkan rutenya. "Nona mungkin butuh apa-apa lagi? Biar s
“Ini ponsel kamu?” Dante membeliakkan mata terkejut dengan benda pipih yang ditemukannya berdering nyaring dari tas Adriana tersebut. Itu adalah ponsel murah dan kondisinya sudah memprihatinkan. Bagian sudut-sudutnya mengelupas dan bahkan terdapat beberapa retakan di layar.Berpikir cepat, Adriana segera menjawab, “I-itu … iya, ponsel seadanya di rumah. A-aku … belum sempat beli lagi,” jawabnya tergagap dengan debaran jantung yang bertalu kencang. Berpura-pura menjadi orang lain ternyata memang sungguh melelahkan. Setiap saat ia harus bergumul dengan risiko akan ketahuan! Ya ampun! Rasanya ia terus mendapatkan shock terapy setiap hari. Dan itu terjadi berkali-kali!Dante melempar tatapan iba lantas segera menggamit lengan gadis itu. Bahkan, ia setengah menyeretnya menuju ke luar rumah lagi.“He-heiii! Mau ke mana kita?” tanya Adriana ketika ia mendapati mereka terus berjalan ke arah garasi mobil. Garasi di sayap kiri rumah itu begitu besar dengan tak kurang ada empat mobil di sana. Ad
Dante tertawa. Ia mengacak rambut Adriana dengan lembut dan sedikit menarik kepala gadis itu ke dalam dadanya. Ya ampun! Ini kan di tempat umum! Adriana memekik dalam batin, tapi tak urung larut dalam gerakan yang bagi Dante hanya sambil lalu tapi berhasil membuat jantung Adriana jumpalitan saking berdebarnya. Ya ampun! “Kamu cukup berpengalaman dalam membuatku nyaman, Sayang,” bisik Dante tepat di telinga Adriana. Panas napas pria itu membelai lembut di telinga hingga Adriana tergelitik serta memerah padam wajahnya. Sungguh, lama-lama dalam posisi itu Adriana bisa khilaf! Akhirnya ditariknya kepala seraya berlagak seolah sedang meneliti ke sekitaran. Mereka sedang berada dalam mall terbesar di ibu kota. Dante tadi langsung mengajaknya ke counter ponsel yang tampaknya memang paling iconic di sana. “Cari minum dulu, yuk?” ajak Adriana hanya agar dirinya bisa terlepas dari aksi mesra pria di sebelahnya itu. Mereka pun pergi ke sebuah stand minuman. Tentu saja stand yang tak akan mungk
Adriana sibuk terpukau memeriksa baju-baju yang disediakan oleh Nyonya Wanda untuknya. Banyak model baju yang tak akan pernah mau dipakainya walau harus diancam mati sekalipun. Mana mungkin ia memakai rok super pendek dengan belahan yang begitu tinggi di atas lutut? Apalagi atasan-atasan yang potongan lehernya model kemben dan menampilkan keseluruhan bagian atas dadanya. Big No! Astaga! Dari sebanyak itu, yang mau dikenakannya dengan sukarela hanya kaos-kaos santai dan kemeja casual yang untungnya ada juga terselip. Ya ampun, selera berpakaiannya dengan Zoya sama sekali berbeda. Tidak akan pernah sama sekalipun ia sedang dalam misi berpura-pura jadi Zoya! Terbayang kembali foto Zoya di wallpaper ponsel Dante tadi. Sosok gadis rupawan nan cantik memesona! Bagaimana mungkin Dante bisa bilang mirip dirinya? Mengherankan! Atau … apa aslinya mungkin memang sedikit mirip bila bukan di foto? Kan zaman sekarang foto-foto bisa sangat menipu dengan berjuta filternya. “Apa ada kesulitan hari
Sore itu Adriana dibuat terkejut oleh deretan missed calls dari Emma. Teman dari desanya yang selama sebelum ia mendapat pekerjaan memberinya tumpangan di rumah kontrakannya itu juga mengirimkan serentetan pesan. “Tolong aku, Adriana. Aku butuh bantuan secepatnya!” Terbaca olehnya satu pesan terawal. Ia lalu menscroll ke bawah semua pesannya dan kesemuanya masih bernada serupa. Tapi ia belum menjelaskan apa masalah yang tengah dihadapi. “Ya ampun, gimana ini?” Adriana kebingungan seraya menelepon kembali nomor ponsel Emma. Sejak hari di mana ia bertemu dengan Dante dan mengubah keseluruhan hidupnya itu, Adriana memang belum menghubungi Emma sama sekali. Ia menghindari mengangkat telefn temannya itu karena takut akan terbongkar. Ia hanya menjelaskan lewat pesan singkat bahwa ia sudah diterima bekerja di ujung kota dan belum sempat pamit serta mengambil baju dan barang-barang karena terlalu sibuk. “Halo? Kaukah itu Adriana?” pekik suara Emaa di seberang sambungan. “Iya, Emma. Ini aku