Kaline menyipitkan matanya tampak kebingungan. Ia terus berusaha memahami penjelasan Pangeran Cliftone selama beberapa detik sebelum akhirnya ia berbicara, “Jadi maksudmu, vampir itu anggota Sekte Selz?” tanyanya memastikan, tak ingin terjadi sedikitpun kesalahpahaman yang nantinya akan berakibat fatal.
Pangeran Cliftone mengangguk. “Semua Klan Morz adalah anggota Sekte Selz, Putri. Sekitar setengah tahun yang lalu, mereka semua tiba-tiba saja menghilang, meninggalkan cincin klan mereka. Bagi kami, siapapun yang melepaskan cincin klan berarti sudah berkhianat pada kerajaan."
Kaline mengangguk. Ia sama sekali tidak merasa asing dengan cincin para klan di negeri vampir itu. Bagi mereka, cincin klan yang telah diwariskan selama berabad-abad adalah benda sakral, seperti sebuah jati diri yang tak boleh hilang. Siapapun yang berani melepaskan cincin itu sudah pasti seorang pengkhianat.
"Kami menduga mereka berpencar ke kerajaan-kerajaan lain, m
Ribuan prajurit istana terbagi menjadi kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 30-an prajurit, dititahkan langsung oleh Raja untuk mencari Putri Kaline dan Pangeran Cliftone yang kemungkinan besar disembunyikan di dalam hutan belantara jalur selatan yang sering terjadi tindakan kriminalitas. Setiap kelompok berisi 30 orang, menyusuri kegelapan hutan bersama kuda mereka. Pangeran Rex melirik pria di sampingnya, api obor yang dinyalakan ketua kelompok prajurit membuat Pangeran Rex dapat melihat dengan jelas ukiran benang emas di jubah hijau orang itu, bahkan sesekali ukiran benang emas itu menyala, membuat Pangeran Rex terkejut saat pertama kali melihatnya. Ya, Pangeran Antheo. Saat mengetahui berita buruk dari rombongan Putri Kaline (yang tentu saja termasuk Pangeran Cliftone di dalamnya), pria itu terlihat amat panik, turut bersikeras pada Raja untuk membantu proses pencarian Putri Kaline (yang akhirnya disetujui sesudah beberapa menit perdebatan sengit yang tak be
Kaline kembali terlelap dengan posisi tidur meringkuk di atas dedaunan kering—terlihat tidak nyaman, meninggalkan Pangeran Cliftone sendirian yang tampak jenuh mendengarkan suara jangkrik yang sedari tadi terus bernyanyi tanpa lelah. Api unggun yang sudah payah dibuat Kaline kini padam seutuhnya, menyisakan asap tipis yang bau.Manik merah menyala milik Pangeran Cliftone terus menatap Kaline yang beberapa kali mencoba memasukkan seluruh tubuhnya ke dalam sehelai daun pisang namun gagal. Ia menghela napas. Jika gadis itu dibiarkan begitu sampai pagi, bisa-bisa dia jatuh sakit.Dengan langkah penuh hati-hati agar tak menimbulkan suara sedikitpun, Pangeran Cliftone lantas mendekati Kaline, membuka jubah hitam yang terpaksa dibeli di toko bekas setelah miliknya telah diberikan pada Kaline saat gadis itu kedinginan di dalam kereta.“Kali ini, aku pinjamkan padamu, Putri. Mustahil mencari jubah di tengah hutan untukku,” bisiknya sambil menutupi tubuh
Sebelum fajar sepenuhnya muncul, Kaline dan Pangeran Cliftone sudah keluar dari gua. Hawa udara memang tak sedingin saat malam hari, namun masih bisa membuat gadis itu menggigil meski sudah dibalut kain selendang tipis. Manik abu-abu yang terlihat kelelahan itu memandangi langit berwarna ungu muda, masih terlihat bulan serta beberapa bintang yang tak lagi bersinar terang di atas sana. “Mau menggunakan jubahku, Putri?” tawar Pangeran Cliftone. Kaline dengan cepat menolak mentah-mentah tawaran pria itu. Dia bisa saja terbakar lantaran terkena cahaya matahari dan aku akan tersesat di sini sendirian. “Tidak perlu, Cal. Lagi pula sebentar lagi matahari akan naik. Udaranya akan sedikit menghangat nantinya.”
“Arah timur, aku melihat sesuatu berwarna merah menyala di sana!" teriak prajurit itu dengan penuh semangat.Semua mata tampak fokus menatap arah ke timur, berusaha menelisik sesuatu dari balik kabut tebal yang mengganggu pandangan mereka. Benar saja, ada cahaya kecil seperti laser berwarna merah menyala yang terlihat terus bergerak tak beraturan.Ujung mata Pangeran Antheo melirik Pangeran Rex sekilas. Genggamannya pada pedang panjang dengan ukiran namanya di bagian atas itu amat kuat. Matanya membulat, terus terpaku pada kedalaman kabut. Hidungnya sesekali menghirup udara dalam-dalam, berusaha mengendus sesuatu.“Vampir,” bisik Pangeran Rex dengan nada penuh amarah yang dapat ditangkap oleh Pangeran Antheo dengan samar-samar.Dahi pria bermata hijau terang iu mengkerut. Vampir … apa jangan-jangan pria di balik kabut itu adalah Pangeran Cliftone?“Tunggu!” teriakan Pangeran Antheo secara tiba-tiba membuat gerak
Sepanjang jalan kembali menuju Istana Eargard, kuda coklat tua yang ditumpangi oleh Pangeran Rex dan Pangeran Cliftone dipenuhi oleh perdebatan-perdebatan kecil yang tidak perlu. Pangeran Rex terus menyuarakan ketidaksukaannya pada pria dengan manik merah menyala itu, sementara Pangeran Cliftone hanya beberapa kali mendengus dan menjawab rentetan sindiran dari Pangeran Rex dengan tenang.“Jika dipikir-pikir, aku berada satu tingkat di atasmu sekarang, Pangeran,” balas Pangeran Cliftone sembari menyeringai tipis. Saatnya balas dendam.Alis Pangeran Rex menukik, tampak tak terima dengan perkataan Pangeran Cliftone. “Omong kosong macam apa itu! Bahkan jika kau memberitahunya pada sekumpulan orang gila, mereka tidak akan percaya.”
Tepat saat langit mengeluarkan cahaya jingga hangat yang tenang, mereka tiba di Istana. Kaline yang tadinya terlelap di atas punggung Pangeran Antheo selama berjam-jam itu kini telah tebangun.Kedatangan mereka sontak disambut dengan puluhan pelayan yang berdiri di depan pintu utama, membawa handuk bersih serta air minum yang telah disusun di atas meja kayu agar para prajurit yang telah kembali dapat meminumnya.Pangeran Antheo turun terlebih dahulu dari kudanya, lalu mengulurkan tangan sambil menunduk singkat. “Mari, Putri.”Tidak ada keraguan dalam gerak gerik gadis itu saat menerima uluran tangan Pangeran Antheo yang bermaksud membantunya untuk turun dari kuda.Kaline menundukkan badannya, memberikan salam hormat pada Pangeran Antheo sebagai rasa terima kasih. “Terima kasih banyak atas bantuanmu, Pangeran. Aku berjanji akan membalasnya lain waktu.”Pangeran Antheo tersenyum. Kepalanya bergerak ke kiri da
Kaline menghela napasnya. Menatap dua bilah pintu yang terbuat dari jati tebal itu dengan gugup. Sepasang prajurit yang bertugas untuk menjaga pintu itu berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan, menanti Kaline untuk memerintahkan mereka agar membuka pintu itu.Ruangan pertemuan itu tidak seperti ruangan pertemuan yang biasa digunakan untuk menjamu tamu-tamu penting yang membahas soal kerja sama antar kerajaan ataupun perorangan. Ruangan ini tiga kali lebih kecil, hanya memuat sekitar 35 orang di dalamnya. Ruangan yang biasanya digunakan untuk membahas taktik perang, rahasia kerajaan, dan hal-hal darurat seperti yang ia alami saat ini.Itulah kenapa tempatnya jauh di dalam tanah, dengan cahaya remang-remang dari obor-obor yang menempel di sisi dinding batu yang tak rata, memasa kaline menghirup udara pengap yang tercampur dengan aroma asap rokok serta bensin.“Buka pintunya,” perintah Kaline dengan suara rendah tangannya saling bertaut di b
Pria dengan mata merah menyala yang sama persis seperti Pangeran Cliftone itu menatapnya selama beberapa detik dengan ekspresi datar lalu kembali menatap lurus ke arah Raja El seolah-olah ia tak mengenal Pangeran Cliftone.“Tidak ingin duduk, Pangeran?” tawar pria itu, berlagak seolah ia adalah pemilik ruangan ini.Tatapan Pangeran Cliftone masih terkunci pada pria yang tak lain adalah Raja Alorine, pemimpin Kerajaan Voalire meski sekarang ia telah duduk atas kursi dengan bantalan empuk, bersebelahan dengan Raja Alorine.“Saya mohon maaf telah mengganggu pertemuan Anda, Yang Mulia.” Pangeran Cliftone menundukkan badannya selama beberapa detik, menghadap Raja El yang masih terlihat kesal.“Saya mempersilahkan Pangeran Cliftone masuk karena ia