Share

dua

Keputusanku sudah bulat. Aku kenal Mas Anam, dia sebenarnya lelaki baik, tetapi tak bisa berkutik dan sangat manut dengan kakaknya itu. Tak masalah sebenarnya, karena aku sadar jika ikatan darah itu sangatlah kental. Sayang, Mas Anam belum bisa berpikir bijak. Dia seakan lupa jika saat ini dia sudah mempunyai tanggung jawab atas keluarganya sendiri.

"Wid, tolong ... kali ini saja, kumohon. Ini sudah malam, Widya! Kemana kami harus cari kontrakan?" pekiknya putus asa.

Sungguh aku jadi merasa tak enak hati, seolah diri ini adalah istri yang tidak punya akhlak, yang tak patuh pada suami dan jahat pada saudara ipar. Huh, menyebalkan. Ah, andai kelakuan iparku tak seperti itu. Aku berdecak untuk yang kesekian kalinya. Dan pada akhirnya aku luluh juga melihat tampang Mas Anam yang begitu memohon.

"Baiklah, malam ini aja," ucapku kemudian dan sontak itu membuatnya memeluk tubuh ini.

Suamiku ini sebenarnya lelaki yang manis, pekerja keras juga baik, mangkanya aku mau ketika dia melamar, tapi itu dulu sebelum kedatangan saudaranya ke kota ini untuk bekerja. Perlahan tapi pasti, sikap Mas Anam berubah menjadi suami menyebalkan dan pemarah.

Awalnya semua berjalan normal dan baik-baik saja. Semua bermula ketika Mbak Sri datang padaku untuk meminjam sejumlah uang. Sekali dua kali bahkan sampai ke berapa kali selalu kuberi, karena semua itu atas perintah Mas Anam.

Bukannya berterima kasih, kakak suamiku itu malah bersikap memusuhiku dan yang lebih parah dia sering mengadu domba antara aku dan Mas Anam. Semua semakin rumit ketika Mas Anam selalu percaya dengan semua ucapannya tampa mendengar atau bertanya kebenarannya padaku.

"Terima kasih, Wid," ucapnya yang masih memeluk diri ini, hingga membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk. "Malam ini saja, demi kewarasanku," sahutku lirih. Aku benar-benar tidak nyaman dengan semua ini. Salahkah jika aku mengumpat. Ipar tak tahu diri!

Mas Anam mengurai pelukannya, lelakiku itu tak menyahut, walau bisa kulihat ada yang ingin diucapkannya.

****

Sudah menjadi kebiasaanku yang selalu terjaga sebelum terdengar sholawat tarhim subuh dari masjid. Aktivitas pertama yang kulakukan adalah membersihkan diri. Yap, semenjak tahu betapa banyak manfaat mandi sebelum subuh aku semakin bersemangat melakukannya. Berrr dingin, tapi seger.

Baru kemudian akan membangunkan Mas Anam, walau sering kali dia tak merespon dan hanya menggeliat saja, setelah itu akan kembali menarik selimut.

Sering kali aku mengingatkannya tentang kewajiban sholat tepat waktu. Namun, dia selalu abai, Mas Anam seringkali melakukan kewajiban di akhir waktu.

Setelah melaksanakan kewajiban dua rekaat, aku selalu berusaha menyempatkan diri untuk membaca Kalamullah walaupun hanya satu dua ayat. Rasanya hati ini tenang setelah membacanya.

"Mas, Bangun, subuhan dulu." Lelaki itu hanya menggeliat sambil bergumam tak jelas.

"Mas, ayo bangun. Subuh dulu, keburu siang loh." Kali ini aku mengguncang pundaknya agak keras. Bahkan aku juga sudah mencium kedua pipinya. Namun, suamiku ini masih aja enggan membuka matanya.

"Mas!" sentakku kesal, karena dia tak bangun-bangun.

"Iya-iya! Cerewet!" sahutnya kesal. perlahan dia bangkit kemudian duduk di pinggir ranjang. Namun, matanya masih terpejam sempurna.

"Udah siang, Mas. Entar telat subuhannya." Aku yang kesal akhirnya memutuskan untuk keluar kamar saja daripada emosiku semakin tinggi.

"Hem." Hanya itu yang kudengar.

"Ya Allah, jika suamiku telat menjalankan kewajiban subuhnya itu bukan salahku, karena aku sudah berusaha membangunkannya."

Sengaja aku mengucapkannya agak keras sebelum membuka pintu, agar Mas Anam merasa dan segera beranjak dari ranjang. Benar saja, ekor mataku menangkap sekelebat bayangannya yang bergegas ke kamar mandi sebelum aku benar-benar keluar kamar.

Ketika melewati kamar yang ditempati Mbak Sri dan Lilis pintunya masih tertutup rapat.

"Apa mereka tidak sholat ya?" gumamku, tapi tak mau ambil pusing aku pun melanjutkan langkah ke dapur untuk membuat kopi juga menyiapkan sarapan. Setelah itu aku akan merendam pakaian. Namun, ada yang aneh dari ranjang tempat pakaian kotor. Wadah dari bahan plastik itu terlihat sangat penuh.

Betapa terkejutnya saat aku membuka tutupnya. Pantesan penuh, ternyata di ada tambahan baju yang tak kukenal.

Tak ingin berlama-lama agar tak kesiangan berangkat kerja. Aku pun mengeluarkan beberapa potong baju milik Mbak Sri dan Lilis. Setelah itu merendam pakaianku dan Mas Anam. Sedangkan punya kakak dan adik ipar, kembali kumasukkan ke ranjang.

**

"Ha? Hanya ini sarapannya!" teriak Mbak Sri saat membuka tudung saji, ketika aku hendak menyiapkan sarapan untuk Mas Anam.

"Iya. Mau silahkan, gak mau ya gak usah dimakan," sahutku santai.

"Aku gak mau sarapan kayak gini! Ini kan sayur kemarin!" Lilis ikut menimpali.

Setelah beberapa saat, aku baru menyadari kalau penampilan iparku itu sangat paripurna. Padahal mereka hanya karyawan di sebuah pabrik sandal.

"Ada apa sih, berisik amat?" tanya Mas Anam yang baru keluar dari kamar. Lelakiku itu sudah rapi dengan pakaian kerjanya.

"Anam, pokoknya aku sama Lilis gak mau sarapan pakai masakan ini," sahut Mbak Sri ketus.

Lelakiku itu melirik meja sekilas lalu kembali memandang kakaknya.

"Memang kenapa dengan masakannya, Kak? Enak loh ini, aku memang suka sayur lodeh yang sudah dipanasi. Rasanya mengingatkanku pada masakan ibu." Mas Anam mencoba membujuk Kakaknya, lelakiku itu bicara sambil tersenyum.

Aku sampai dibuat kagum dengan sikapnya yang sangat pengertian pada saudaranya tersebut.

"Kakak dan Lilis udah muak lihat masakan seperti itu, Nam. Bosan!" sahutnya dengan raut wajah kesal.

Mas Anam terlihat menghela napas, sementara aku sudah bersiap untuk menyuapkan nasi ke dalam mulut.

"Ya udah, Mbak mau sarapan pakai apa?"

Tuh kan, dia pasti luluh dengan kakaknya yang gak tahu diri itu. Sementara senyum kemenangan tersungging dari bibir wanita yang rambutnya dicat pirang itu.

**

Aku masih menguyah nasi yang sudah di mulut dengan santai. Bukankah butuh tenaga untuk menghadapi mahluk Allah yang satu ini.

"Mas, udah. Ayo sarapan dulu. Habis ini kan kamu mau cari kontrakan," ucapku setelah meneguk air.

"A-aku akan pergi kerja, Wid. Jadi gak bisa nyari kontrakan sekarang," balasnya gugup.

"Kok gitu? Gak bisa, dong. Kan kamu udah janji kalau hari ini mau nyari kontrakan buat Mbak Sri sama Lilis. Janji itu harus ditepati loh, Mas. Ingat itu," sahutku lagi, setelah itu kembali menyendok nasi yang sudah tercampur dengan sayur.

"Jadi kamu ngusir kami? Sadar dong! Aku sama Lilis ini saudaranya Anam, jadi kami berhak tinggal di sini!" sentak Mbak Sri, rupanya dia tak terima mendengar obrolanku dengan adiknya.

"Oh ya? Kata siapa?" sahutku santai. Kali ini tinggal beberapa sendok lagi nasi yang ada di piringku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status