Share

AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!
AKU BUKAN BUDAKMU, MAS!
Penulis: Puspita852

satu

Baju yang sudah terlipat rapi itu kini kembali berserakan setelah Mas Anam menendangnya.

"Apa-apaan sih, Mas!" seruku tak terima. Entah apa lagi yang diadukan Mbak Sri pada suamiku, hingga membuatnya murka.

"Apa yang kamu lakukan pada Mbak Sri? Hah?" tanyanya sambil membentak. Hal yang akhir-akhir ini sering dia lakukan. Mas Anam akan marah-marah tak jelas setelah mendapat aduan dari kakaknya. 

"Seperti yang dia adukan padamu, apalagi? Buat apa bertanya lagi? Emang kamu pernah mendengar penjelasan dariku?" sahutku sambil melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda.

"Oh, sudah berani membantah sekarang, ya!" Mas Anam berbicara dengan satu tangan mencengkeram rahang ini. Sakit, tetapi ada yang lebih sakit lagi, sebongkah daging yang ada di dalam dada. Hati.

Dengan jarak dekat seperti ini, aku menatap lekat ke dalam manik matanya, berusaha menyelami dan mencari apa yang ada di dalam sana. Masihkah ada cinta untukku. Namun, yang terlihat hanya amarah yang semakin membara. 

Perlahan aku memegang tangan kekarnya. Seperti tahu maksudku, Mas Anam pun melepaskan cengkeramannya. Namun, tidak dengan kelembutan, tubuhku sedikit terhuyung ketika dengan kasar lelaki itu melepaskan tangannya sambil sedikit mendorong.

"Jadi benar apa yang dikatakan Mbak Sri, kamu sudah berani membentaknya?" tanyanya memastikan. Tatapannya masih setajam elang.

"Kalau iya, kenapa?"

Mas Anam nampak terkejut mendengar jawabanku. Mungkin dia tak menyangka sekarang aku berani membalas setiap perkataannya. Aku yang dulu pendiam dan penurut kini mulai muak dengan segala keinginannya yang berhubungan dengan kakak dan adiknya itu.

"Ingat, Widya. Dia itu kakakku sampai kapanpun, kamu tak bisa menggantikan posisinya di hatiku!" hardiknya.

Entah sudah berapa kali Mas Anam mengingatkanku tentang hal itu, agar aku menghormati Mbak Sri, kakaknya dan menyayangi Lilis, adiknya. Aku bisa melakukannya kalau mereka juga bisa memperlakukan aku dengan sama.

Dering ponsel menghentikan amarahnya. Gegas lelaki yang sudah menghalalkan diriku itu merogoh saku sambil berjalan menjauhiku. Setelah berbicara di telepon, Mas Anam pergi begitu saja tanpa berkata apa-apa.

Aku hanya bisa menghela napas agar rasa sesak di dada segera hilang. Ingin rasanya menangis dan mengadu, tapi pada siapa? Tak ada keluarga di kota ini, karena orang tuaku adalah pendatang. 

Setelah merenung cukup lama akhirnya aku kembali merapikan baju yang berserakan. Tak lama berselang terdengar bunyi notifikasi dari ponsel yang tergeletak di lantai. Aku pun segera meraih benda pipi yang tergeletak di antara baju yang hendak kumasukkan ke dalam lemari.

[Rasain! Enak gak dimarahi suami?] 

Bunyi pesan dari Mbak Sri. Aku hanya membacanya tanpa berniat untuk membalas. Rupanya dia sangat bahagia mengetahui jika aku dan Mas Anam baru saja bersitegang.

[Pasti lagi mewek di pojokan, kasihan. Hahaha] 

Lagi dia mengirim chat.

[Mangkanya jangan berani macam-macam kamu. Ingat siapa dirimu! Dulu kamu itu hanya anak seorang buruh cuci, sudah untung adikku mau menikahimu. Bukannya bersyukur, malah sok-sokan berani sama aku. Rasain kena damprat Anam. Hahahaha]

Semua hanya kubaca, sama sekali tak ada niat untuk membalasnya karena itu hanya akan menghabiskan waktu saja.

**

Keadaan rumah semakin sunyi, karena aku hanya sendiri. Setelah bosan menonton serial televisi, aku pun beranjak ke dapur untuk memanasi sayur. Setelah selesai, bergegas ke kamar dan mulai berselancar di dunia maya. Di sanalah kucurahkan isi hati, merangkai kata demi kata sehingga menjadi sebuah cerita, sebuah hobi baru yang dapat menghasilkan rupiah, walaupun belum seberapa.

"Widya!" 

Panggilan itu terdengar diantara gedoran pintu. Aku pun segera bangkit, karena hapal betul siapa pemilik suara tersebut.

"Widya!"

Lagi, terdengar teriakan Mas Anam. Langkahku semakin cepat, agar tak menimbulkan kegaduhan.

"Widya!" 

Teriak dan gedoran itu semakin keras, membuat menekan dada karena terkejut ketika hendak membuka pintu. 

"Waalaikumsalam," ucapku sambil membuka pintu.

"Lama amat sih!" bentak Mbak Sri dengan suara cemprengnya.

"Biasakan mengucap salam sebelum masuk ke rumah, Mas," ucapku mencoba bersikap biasa saja, walaupun sebenarnya ingin berteriak juga.

"Minggir!" Lagi wanita yang sangat disayang suamiku itu membentak, dia berusaha menggeser posisiku yang berdiri di tengah pintu.

"Mau apa kamu bawa Mbak Sri sama Lilis ke sini, Mas?" tanyaku pada Mas Anam. Sengaja tak menggubris kedua wanita beda usia tersebut.

Mas Anam menghela nafasnya sebelum menjawab pertanyaanku. Lelaki itu nampak gusar, tak seperti tadi sore yang terlihat garang. Sebenarnya apa yang direncanakan suami dan dua iparku ini? 

"Untuk sementara Mbak Sri sama Lilis akan tinggal di sini, Wid." Kali ini suamiku itu bicara cukup pelan, hampir saja aku tak mendengarnya.

Aku menautkan kedua alis mendengar penuturan Mas Anam. "Tidak!" jawabku tegas.

Mas Anam menatapku penuh permohonan, sedangkan kedua saudaranya itu masih nampak angkuh walau sudah mendengar penolakan dariku.

"Tolonglah, Wid. Kasian Mbak Sri sama Lilis," pinta Mas Anam memelas, tatapannya seperti anak kecil yang menginginkan sesuatu. Menyebalkan.

Saat kami sedang berbicara berdua di dalam rumah. Setelah aku bersikeras menolak kedatangan Mbak Sri dan Lilis.

"Aku gak mau, Mas," balasku masih kekeh dengan kata hati.

"Gak selamanya, Wid. Aku janji setelah mendapatkan kontrakan mereka akan pergi dari sini," bujuknya.

Aku masih bergeming, ada sedikit keraguan di hati ini. Bagaimana jika aku mengalami kisah seperti dalam cerita yang sering kubaca. Kebanyakan jarang ada yang bahagia jika berkumpul dengan saudara ipar. Walaupun tidak semua seperti itu.

Apalagi perangai kedua iparku ini sangat cocok seperti tokoh-tokoh antagonis di beberapa cerita yang pernah boming, jadi aku harus mengantisipasi agar semua itu terjadi pada diri ini.

"Lebih baik sekarang juga kamu antar mereka cari kontrakan, Mas. Aku gak mau menerima mereka tinggal di sini," jawabku tegas.

"Aku gak nyangka kamu jadi seperti ini, Wid. Dulu aku jatuh cinta padamu itu karena kebaikanmu. Kini kamu sudah berubah, tak ada lagi Widya-ku yang dulu."

Mas Anam mulai mengutarakan isi hatinya. Seperti dia sangat kecewa dengan keputusan yang kuambil, dan mengapa di saat seperti ini dia mempertanyakan kebaikanku.

"Apa kamu tahu, mengapa aku bisa seperti itu, Mas? Tanyakan pada hatimu? Karena di sanalah jawabannya. Karena aku juga kehilangan suami yang dulu sangat mencintaiku." Sebenarnya aku sudah bosan berdebat dengannya soal Mbak Sri dan Lilis, karena takkan pernah ketemu jalan keluarnya.

"Aku masih mencintaimu, kalau tidak aku pasti sudah meninggalkanmu, Wid, yang aku sesalkan kenapa kamu bisa setega itu kepada keluargaku," sungutnya tak terima.

Apa? Dia masih mencintaiku? Apa kabar dengan yang dilakukannya tadi sore?

"Kalau kamu mencintaiku harusnya bisa mengerti maksudku dong, Mas. Aku hanya tak ingin hubungan ini semakin runyam, jadi mending sekarang kamu bantu mereka mencari kontrakan."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
berprofesi sebagai istri dan penulis, ternyata wifya penulis tolol. jd soa yg bisa giberikannya sama pembaca selain ketertindasan dan cuma mampu ngebait dlm hati
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status