“Nak….”
Rupanya di bawah tangga sudah ada ibu. Melihat penampilanku yang kacau ia segera mendekat, lantas memelukku tanpa bertanya apa pun.
“Yas, enggak sanggup lanjutin rumah tangga kayak gini Bu.”
“Kamu ikut ke kamar ibu, kita ngobrol di dalam ya. Jangan di sini!”
Wanita itu menuntunku ke kamarnya yang terletak di lantai bawah.
“Ibu enggak tau apa saja yang kamu lewati selama di sana, tapi caramu itu salah. Semuanya masih bisa dibicarakan baik-baik. Kasihan suamimu, dia baru aja datang jauh-jauh nyamperin kamu, pasti juga masih capek.”
“Harusnya dia enggak datang ke sini.”
“Dia ke sini, karena peduli sama kamu Yas. Harusnya kamu juga sadar hal itu.”
“Mau sebaik apa pun suamiku, kalau keluarganya enggak pernah suka sama aku. Percuma Bu, setiap hari ada aja yang diributin.”
“Cerita sama Ibu sebenarnya sikap mertuamu itu bagai
Ya Allah, kenapa jadi begini? Bukan seperti ini yang aku inginkan. Nyatanya bukan hanya aku yang paling menderita dalam hubungan ini, bahkan suamiku juga sama saja. Entah mau bagaimana lagi hubungan kami ke depannya.Selama ini dua iparku itu memang kerap meminjam uang jika akhir bulan, jumlahnya memang tidak banyak hanya 200 atau 300ribu saja. Namun, jika hampir setiap bulan ia meminjamnya, terkadang kami juga risi.Apa lagi mereka tipe orang yang sangat sulit membayar hutang. Kadang pinjam 300 bayarnya hanya 100 ribu. Jika, suamiku menagihnya pun mereka malah mengungkit bakti. Katanya, dulu apa yang mereka berikan pada suamiku lebih dari sekedar uang yang jumlahnya tak seberapa itu.Entah kenapa dengan mereka? Jika jumlahnya memang tak seberapa, kenapa juga harus berhutang? Suamiku hanya bisa pasrah. Ia pun sejujurnya kesal, tetapi mengingat jasa mereka saat membantu membiayai sekolahnya Kang Dadan tetap saja tak enak hati.Namun, memang semakin ke sini
“Maafin ibu, Yas. Selama ini Ibu sudah salah sama kamu. Ibu janji akan merawat anak kamu nanti. Kamu pulang lagi ya ke rumah!”Bukan hanya aku yang terdiam, bahkan ibu juga hanya bisa terpaku di tempatnya. Menyaksikan besannya yang terus meracau di lantai.Saat itu Kang Dadan yang wajahnya sudah merah, karena menahan malu. Ia segera membantu ibunya berdiri denan sedikit memaksa, karena saat itu entah apa yang ada di pikirannya. Ia sudah seperti anak kecil, menangis sambil meraung-raung.“Jangan begini Bu, bangun dulu!” ucap Kang Dadan.“Biarin aja Dan, ibu memang salah hiks. Ibu harus minta maaf.”“Aku udah maafin ibu kok, tapi maaf aku enggak bisa balik ke sana,” ucapku, yang sudah tak tahan lagi dengan tingkahnya yang ajaib.Apakah menjadi tua akan selalu seperti ini?“Kenapa? Itu artinya kamu belum maafin ibu, buktinya enggak mau pulang?”Saat itu ibu
“Kenapa kalian diem aja, siapa yang berani mitnah kamu selingkuh? Bilang sama Ayah! Ada bukti enggak dia bilang begitu?”Saat itu Ayah yang baru saja pulang dari kantor, malah tak sengaja mendengar percakapan kami. Sekarang ia yang sudah terlanjut emosi, mana mungkin bisa di ajak bicara baik-baik.Lagi pula kenapa sih Bu? Dulu saat aku belum hamil, malha dituduh mandul. Sekarang sudah hamil pun, ia malah menuduhku hamil anak orang lain. Apa sih salahku ya Allah. Bertahun-tahun aku mencoba ikhlas menerima sikap dan tabiat buruk mertuaku. Tetap menjaga dan bahkan merawatnya saat sakit.Dia mana ank-anaknya saja merasa jijik tiap kali ia buang air kecil atau muntah di lantai. Aku tidak pernah marah, tak pernah juga mengeluhkan semuanya. Hanya saja, kenapa selalu saja kata-kata yang tak enak didengar yang keluar dari mulutnya.“Ayah duduk dulu! Ibu buatkan minum sebentar!”Saat itu ibu sedikit mendorong Ayah menjauh dariku
Tak jauh dari tempat kami bicara, rupanya ibu sedang memperhatikan ke arah kami.“Lihatlah ibumu! Dia sepertinya menguping pembicaraan kita!” ucapku.Aku hanya mendengar Kang Dadan menghembuskan nafas kasar. Ia bahkan terlihat seperti orang yang frustrasi. Tepat saat aku berpapasan dengannya. Aku sengaja menghentikan langkah.Namun, saat itu tak seperti di rumahnya yang di Sukabumi. Sekarang wanita ini, lebih suka menunduk dan tak banyak bicara. Aku hanya tersenyum mengamati setiap perubahannya, yang mana sangat bertolak belakang dengan kesehariannya di kampung halaman.Sayangnya tidak semua orang bisa terkena tipu dayanya. Orang tuaku jelas mengenali sikap putrinya yang mereka besarkan sejak kecil. Bisa-bisanya dia menyebarkan fitnah di rumahku sendiri.~“Ibu pasti seneng banget ya, sekarang!”Ibu lagi-lagi tak menjawab, hanya melirik sekilas lalu kembali menatap lantai.“Seneng, karena uda
Aku tidak berharap banyak dia akan mengambil keputusan besar. Saat itu bagiku kembali atau tidak bukan lagi masalah. Hatiku sudah terlanjur sakit. Mungkin juga efek dari hormone kehamilan yang membuat perasaanku lebih sensitive.~“Oke, sekarang kalau toko dijual. Akang mau kerja apa?”“Kamu ragu kalau Akang bisa nafkahin kamu?”“Bukan ragu, aku hanya bertanya.”“Akang akan cari kerjaan. Kamu tenang saja, Akang enggak mungkin bikin anak istri kelaparan. Sekarang Akang antar ibu pulang ke Sukabumi dulu. Sambil ngurus toko yang mau di jual. Mungkin seminggu atau paling lambatnya 2 minggu. Kamu pilih saja mau bangun rumah di mana. Akang ikut kamu aja.”Saat itu bahkan impianku sudah di depan mata. Namun, jangankan senang atau bahagia. Sekedar rasa syukurpun tak terlintas di benakku. Aku sudah tak punya semangat untuk melanjutkan hubungan yang hanya menyakiti satu sama lain.Bukan hanya di a
[Kamu lihat Kang Dadan di sana enggak?][Nah, itu dia. Aku enggak lihat Kang Dadan sama ibu mertua Teteh, tapi tadi aku sempat denger mereka lagi di rumah Juragan Asep. Palingan mau minta pertanggungjawaban. Ya, tahu sendirilah. Juragan Asep mah, masalah kecil aja dibesar-besarin.]Berkaca dari sikapnya yang arogan, semoga saja dia tak mempersulit Kang Dadan. Ya Allah rasanya ingin sekali menepis rasa khawatir, jika mungkin Nining menuntut bukan hanya sekedar biaya pengobatan.[Teh sudah jangan terlalu dipikirin! Begini aja nanti kalau aku lihat Kang Dadan sama mertua teteh, aku pasti kabarin. Tetehnya jangan sedih, bisa jadi itu cuma pikiran aku aja. Maafin aku ya, harusnya enggak bilang macem-macem yang bikin Teteh jadi mikir ke mana-mana.][Enggak apa kok, makasih banyak loh Tik, sudah mau direpotkan.][Ah begini doang, Teh. Lagian aku gemes aja kalau sampai bener itu si Nining memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Emang dasar bener-bener ga
Sejak hari itu aku merasa ia semakin berubah, menjauh dan selalu menghindar. Ponselku tak lagi berdering setiap jam. Di mana biasanya ia akan menghubungiku 5 kali sehari sekarang sehari sekali saja sudah bagus.Terkadang kami hanya bicara seadanya, sebentar dan tak ada lagi salingbercerita tentang apa saja yang kami lewati selama ini.Hanya dua pekan dan dia berubah sebanyak itu. Alasannya hanya dua, kalau tidak ada orderan dari grab, maka dia akan pergi ke rumah sakit untuk merawat Nining.Terkadang aku membayangkan bagaimana dia merawat wanita itu, apakah keduanya saling berpegangan, merangkul atau bahkan berpelukan? Tak ada yang tahu bukan? Tika juga tak pernah memberikan kabar. Gadis itu selalu beralasan ia sibuk di workshop.Seperti hari ini, sudah larut malam ia belum juga menelepon. Sesibuk itukah mengurus orang sakit?~Kami yang tak terbiasa dengan hubungan jarak jauh, keadaan seperti sungguh cukup menyiksa. Ada berba
[Ini aku, Kang. Yasmin.]Selama beberapa detik, tak ada jawaban di seberang telepon.[Akang mau dekor apa? Ada acara?]Kau tahu yang paling menyebalkan adalah pria itu masih diam.[Acara tetangga.][Oh ya? Kalau memang acara tetangga kenapa lama sekali jawabnya?][Akang bingung aja, kok kamu pakai nomor baru.][Memangnya kalau bukan nomor baru, Akang mau mengangkatnya? Telepon ibu aja enggak diangkat kok.][Bukan enggak mau ngangkat Sayang, di sini ramai banget. Akang enggak denger kalau ada telepon.][Akang pasti sibuk banget.][Iya, maafin Akang, karena enggak sempat kasih kabar ke kamu.]Selama aku tinggal di kampung, Kang Dadan tak pernah melakukan bantu-bantu sampai seharian penuh. Kalaupun ia ikut rewang, sorenya pasti pukang dulu.Sekarang ia bahkan menghabiskan harinya di acara orang lain.[Siapa yang punya hajat?][Hm, ya ini tetangga.]Entah kenapa kurasa dia tengah men