Bagian 18“Ratih, apa kamu tau? Saya membuat suasana seperti ini untuk apa?”“Tidak Pak, memangnya untuk apa?”“Untuk melamarmu.”“Apa?” Seketika merah sudah wajahku menahan rasa malu. Apa aku sedang bermimpi? Apa Pak Ridho sedang bergurau?“Iya Ratih, aku serius. Apakah kamu mau jadi istri ku?”tanya Pak Ridjo sembari membuka kotak perhiasan berupa cincin indah di atas meja.“Aku tau, bapak sedang bercanda.”“Tidak Ratih, aku serius. Jawab sejujurnya apa kamu mau menerimaku?”Ah rupanya dia benar-benar ingin meminang ku. Bagaimana ini? Sebenarnya aku juga menyukainya, tapi rasa trauma untuk menjalani pernikahan ke dua. Apa dia benar-benar mencintaiku apa adanya? Atau karena penampilan ku yang sekarang?“Ratiiiih, ko malah ngelamun? Saya nunggu jawaban kamu?”“Aku, aku, aku belum bisa jawab pak. Nanti aku pikirkan dulu. Karena ini terlalu mendadak buat aku.”“Ooh, begitu. Oke tidak masalah. Tapi saya mau kamu menerima cincin ini. Dan beritahu saya ,sampai kapan saya menunggu
Bagian 19..**** Pagi hari sebelum sibuk beraktivitas Hu Neni memanggilku.“Sini Ratih, saya akan coba dulu bikin luka di wajah kamu. Takutnya gak mirip luka lagi.”Aku menyetujuinya, dan Bu Neni mulai membuat jerawat di wajahku satu persatu. Hingga nampak banyak sekali jerawat di wajahku.“Gimana Tih, udah mirip jerawat beneran apa belum?”“Sudah Bu sudah, aku geli liatnya Bu.”Kami berdua terkekeh bersama..“Tapi Ratih, seandainya dia menjauh karena hal ini, apa kamu akan kecewa?”“Kecewa pasti ada Bu, tapi Aku tidak akan menyesalinya. Aku hanya ingin di cintai apa adanya. Bu Neni langsung memelukku.“Oke Ratih, saya mau ke rumah Jeng Atin dulu, nanti itu kamu bersihkan saja sendiri ya?”“Baik Bu. Hati-hati.”Bu Neni pun meninggalkan rumahnya. Sementara aku duduk di depan cermin membayangkan wajah yang sangat mengerikan ini. “Aduh, Mas Ridho takut gak ya liat wajah aku? Semoga dia gak kabur, semoga dia tetap mencintai ku, meskipun aku buruk rupa. “Sesekali aku b
Bab 20. “Ayok cepat siap-siap.” Pinta Mas Ridho sedikit memaksa. “Ya sudah aku siap-siap dulu ya Mas.”Aku bergegas ke kamar. Di dalam kamar aku meluapkan kegembiraan ku. Tak terasa aku loncat loncat kegirangan. Kebahagiaan ini melebihi rasa senang saat mendapat juara model. Tak terasa air mataku menetes dari sudut mata, aku telah menemukan orang yang cocok, dia sangat menghargai ku. Ku ucapkan rasa syukur beberapa kali pada Allah Subhana wa ta’ala.Ku bersihkan makeup ku, hingga wajah ini kembali terlihat kecantikannya. Dan aku segera menemui Mas Ridho yang sedang menunggu.“Mas?”Mas Ridho beranjak dari duduknya, dan menoleh ke arah ku. “Ratih? Kamu?”Aku tersenyum melihatnya. Namun nampaknya Mas Ridho masih belum mengerti apa yang terjadi. “Ko hilang? Ko kamu?...”“Kenapa Mas? Ko aneh begitu liatin aku? Tanyaku pura pura tak mengerti.“Luka di wajahmu kemana?”Aku terkekeh sebelum menjawabnya.“Aku bersihkan lah Mas, kelamaan gak enak liatnya. Hihihi.”“Jadi,
Hari itu pun tiba, Mas Ridho menjemput ku dengan santai, sayangnya Bu Neni tidak bisa ikut, karena ada acara ku ini terlalu mendadak, dan Bu Neni sudah menjadwalkan ke tempat undangan lain. Meskipun begitu doa-doa terbaik untuk kami Bu Neni sampaikan sebelum ia meninggalkan kami. "Ya sudah ya Tih, saya berangkat ya. Kalian hati-hati di jalan.""Iya Bu," balas Mas Ridho. Aku segera bersiap untuk berangkat ke acara yang sudah Mas Ridho siapkan. "Ratih, kamu benar-benar cantik."pujinya. "Alhamdulillah, " jawabku tersipu malu. Akhirnya kami berlalu menuju gedung acara. Di dalam mobil kita isi dengan perbincangan ringan. Tiba-tiba ponsel Mas Ridho berbunyi."Si Helen telepon, sebentar ya sayang."Aku mengangguk. Memberi waktu padanya untuk mengangkat telepon dari Helen. Mas Ridho sengaja mengaktifkan speakernya, mungkin tujuannya agar tidak terjadi salah paham ."Ya hallo Len, dimana? Jadi kan datang?""Jadi dong pak. Ini sudah siap tinggal otw.""Bagus, kamu ajak sekalian ibumu ya
"Jadi, wanita itu Ratih?" tanya Mbak Yuli menatap tajam mata Mas Ridho."Benar Bu.""Kalau saja dari awal saya tau dia orangnya. Gak sudi saya datang ke sini. Helen! Ayok kita pulang!" Mbak Yuli dengan cepat menarik tangan anaknya dan berlalu dari hadapan kami. Semua orang menyaksikan kekecewaan Mbak yuli dan Helen. Mas Ridho menatap keduanya berlalu dengan perasaan bersalah."Ratih, bagaimana ini? Mengapa mereka berdua terlihat marah dan langsung pulang?""Sudah Mas, jangan hiraukan mereka, lihat tamu tamu kamu di depan semuanya menunggu.""Oke guys, maaf ada masalah sedikit. Mereka memutuskan untuk pulang lebih dulu, mungkin ada acara yang lebih penting dari ini. Mari kita lanjutkan , disini saya akan sedikit menggombal pada wanita yang ada di depan saya ini. Boleh?""Boleeeeeeh...." jawab tamu undangan serentak.Mas Ridho menatap wajahku lekat, dengan perlahan ia mulai mengungkapkan perasaannya."Ratih, saya sangat mencintai, mengagumi, dan sangat menyayangi mu, dari awal kita be
"Jadi kamu sudah pernah menikah?"Mas Ridho menganguk. "Kamu tidak kecewa kan?""Tidak Mas, aku hanya ingin kenal anakmu.""Hmmm, baik nanti akan aku pertemukan kamu dengan Anggara.""Namanya Anggara ya? Apa dia ikut bersama ibunya?""Ya, dia dengan ibunya.""Baiklah atur waktunya saja, aku juga mau kamu bertemu anakku Hanif yang sekarang sedang di pondok.""Baik Ratih, nanti kita atur waktunya ya, terpenting semuanya harus sudah beres sebelum acara pernikahan kita."Aku mengangguk setuju. **** "Siapa dia? Jadi dia pacar Papah?" teriak anak bertubuh gempal itu. tatapan matanya sinis melihat ke arahku."Angga, dia calon ibu baru mu. Sebentar lagi Papah dan Ibu Ratih mau menikah. Dan Papah harap kamu dan Mami bisa hadir juga ya sayang?""Tidak! Aku tidak mau datang! Papah jahat!" Anggara tetap dengan pendiriannya, ia seperti tak meyukaiku."Ada apa ini Mas?" tanya seorang wanita yang baru saja datang, ia memakai gamis dan berkerudung panjang menghampiri Mas Ridho."Aira, maaf. Aku da
Tiga hari sudah berlalu tanpa komunikasi dengan Mas Ridho. Kadang ingin sekali aku meneleponnya , namun ingat dengan perjanjian membuatku mengurungkan niat.Ting... Satu pesan di terima, dari Helen. "Bi, bisa kerumah tidak Bi, ibu sakit. Aku tidak bisa mengurusnya."Mbak Yuli sakit apa? Aku harus menjenguknya."Ibumu sakit apa Len? Baiklah Bibi akan ke rumahmu."Akupun segera menutup telepon dan bersiap-siap pergi."Ratih, kamu mau kemana?"tanya Bu Neni."Mau ke rumah Mbak Yuli Bu, katanya dia sakit.""Ibunya Helen sakit? Sakit apa? Ratih, biar saya temani kamu.""Tidak usah Bu, hari ini tidak ada jadwal kerja, jadi lebih baik ibu istirahat saja di rumah.""Tapi Tih, perasaan ibu, kenapa tiba-tiba saja gak enak. Kenapa ya?""Nah, itulah akibat ibu kurang istirahat. Sudah, ibu tenang saja, aku itu mau nengok Mbak kandung aku, bukan musuh aku Bu. Jadi ibu tidak perlu khawatir ya?'"Ya sudah, kamu hati-hati ya Tih.""Iya, Bu." Ku salami tangannya sebelum berlalu pergi. Satu jam lebih,
"Wajahkuuuu.... Bu, wajahku hancur Bu." aku terus menangis histeris, ingin meronta namun sia-sia, percuma meskipun aku teriak hingga kehabisan suaraku, wajahku tak akan kembali seperti semula dengan cepat. Bu Neni dan Mas Ridho terus menenangkan aku, dan menyemangati ku. Hingga akhirnya aku perlahan bisa menerima kenyataan ini. Luka bakar serius itu menyebabkan rambutku hilang sebagian, terpaksa aku harus memotongnya pendek.Kini aku menjalani pengobatan di rumah sakit, Mas Ridho begitu setia menemaniku siang dan malam, terkadang jika ia sedang sibuk Bu Neni yang akan bergantian menemani ku. "Ratih, apa kamu tidak curiga pada Mbak dan ponakan mu itu? Kenapa mereka tidak menolongmu? Mengapa mereka lari saat kamu meminta tolong?""Aku tidak tau Bu, waktu itu aku lihat Mbak Yuli terlihat gesit, tidak terlihat sakit. Mungkin karena ia panik Bu.""Seharusnya Tih, meskipun mereka panik, saat melihat kamu seperti itu mereka menolongmu. Aah, tega sekali mereka. Saya merasa curiga ini