"Ly, apa pun yang dimiliki istri, itu adalah hak istri. Tidak ada hak suami disana. Kecuali istri dengan ikhlas dan rela menyedekahkan atau menghadiahkan uang atau benda atau harta lain miliknya kepada suami. Apa kau telah memberikan uang itu kepada suamimu secara ikhlas?" tanya Nandean.
"Ya gak lah! Antar bawa sendiri tanpa izin!" tukas Rara.
"Aku bertanya pada Lily," ujar Nandean datar. Tampak Bang Ishaq mencolek lengan istrinya."Kalau Lily belum memberikan padamu, masih disimpan di lemari, lalu kau bawa tanpa izin, apalagi sampai menginap di tempat lain, itu namanya mencuri! Paham kau?" Kata Nandean kepada Antar.
"Kalau sudah suami istri kan semua jadi milik bersama," jawab Antar."Sudah kubilang tadi, dalam harta istri tidak ada hak suami, kecuali istri menyedekahkan atau menghadiahkan harta itu kepada suami. Tetapi dalam harta suami selalu ada hak istri. Karena suami memegang tanggungjawab penuh pada semua kebutuhan hidup istri sementa
Sambil menutup pintu pagar Nandean tergelak pelan."Mau main-main, kita layani mereka bermain," gumam Nandean."Aku curiga, secepat itu Lily mengajak calon suami menghadap Bapak dan mendesak untuk segera dinikahkan. Belum kenal lama kedua orang itu," ujarnya."Tapi kan tidak ada yang menolak," sahutku."Kasihan kalau mau ditolak, umur sudah berapa, entah kapan lagi dia mau mengajukan orang untuk diajak menikah," jawab Nandean."Bapak sudah bertanya pada Lily, yakin kau dengan pilihanmu? Tidak akan ada penyesalan nanti? Dia jawab yakin, ya sudah dinikahkan." "Lily jelas mengejar tantanganku, uang 50 juta. Itu pun dipersepsikan pemberian khusus untuknya, padahal aku sudah bilang bahwa aku menyumbang dana pernikahan 50 juta, bukan mau memberi hadiah secara pribadi untuknya, dia saja yang serakah. Pesta ingin dibiayai, uang juga ingin dikantongi. Naura dan aku menikah dulu, tak serupiah pun dia mengeluarkan uang. Bahkan marah-marah, mencak-mencak, menghalangi," gerutu Nandean."Kalau is
Semoga saja dalam waktu dekat dia diboyong si Antar Kabuprovi ke rumah orangtuanya. Walaupun kecil kemungkinannya Lily akan mau. Tapi tunggu dulu, benarkah Lily kenal si Antar lewat telpon nyasar seperti kata Anggun? Atau justru lewat situs kontak jodoh online yang kudaftarkan? Kalau memang karena telpon nyasar, aku tak harus merasa bersalah saat si Antar nanti benar-benar ketahuan sebagai penipu atau penjahat. Tetapi bagaimana kalau mereka kenal karena situs kontak jodoh? Bukankah aku juga yang akan merasa bersalah? Sekelumit kekhawatiran menelusup dalam hatiku. "Memikirkan apa?" tanya Nandean mengejutkanku."Ah? Tidak..." Jawabku gugup."Tidurlah, kalau ada kejadian lanjutan pasti Bapak atau Mama akan menghubungi kita," kata Nandean. Aku beranjak. Memeriksa Leang di kamarnya. Dia sudah tertidur sejak usai maghrib tadi. Kupandangi wajah anakku, lelap, polos tanpa dosa. Kuusap rambut ikalnya. Kucium pipinya penuh cinta. Dialah pengikat aku dengan suamiku dan keluarganya. Ciri fisikn
Dua hari kemudian, Lily menelponku."Naya, ada waktu gak?" Tanyanya."Kenapa, kak?" Aku balik bertanya."Temani aku ke butik ya," pintanya. "mau cari baju untuk kunjungan ke rumah mertua, selera Naya kan bagus," katanya."Ke butik mana?" tanyaku."Butik langganan Naya saja," jawabnya."Aku tak punya langganan butik, kak. Aku beli baju di toko biasa. Baju murahan," sahutku. Aku ingat bagaimana dia dulu selalu menghina pakaianku yang dianggapnya pakaian obral."Tapi ada brand-nya," kilahnya."Kalau yang branded biasanya aku dibelikan Kak Ilham atau Kak Irfan," jawabku."Bukannya dibelikan Bapak Leang?" Ia terus menyelidik."Bapak Leang tidak pernah memilihkan aku pakaian, aku beli sendiri," jawabku.Kudengar suaranya berdecak."Kalau begitu temani aku ke butik dekat kantorku saja," katanya."Aku minta izin Bapak Leang dulu, nanti kakak kukabari kalau sudah diberi izin," jawabku.Terus terang, aku malas sekali menemaninya. Pernah satu kali dulu, saat baru menikah dengan Nandean, aku men
"Mobil mana yang mau dipakai?" tanya Nandean."Mobilmu saja, mobil saya sudah agak tua," jawab Bapak."Bawa semua saja, Pak. Mobil Bapak biar saya yang bawa," sela Antar.Nandean berdehem."Bawa mobil si Leang saja cukup," jawab Bapak.Sekilas kulihat Antar mengepalkan tangan di pahanya."Jadi berangkat kapan kita?" tanya Nandean."Besok malam, biar pagi sampai disana," jawab Mama."Barang bawaanmu sudah kau bereskan, Lily?" tanya Bapak."Sudah," jawab Lily enggan."Jadi kau beli baju baru?" Tanya Nandean.Lily diam saja."Naya besok pakai baju baru?" tanya Rara.Aku tersenyum, "pakai yang ada saja, kak," jawabku."Kalau Naya pakai baju baru, Lily pakai baju baru juga lah. Masa nanti pengantin kalah cantik sama yang mengantar," kata Rara lagi."Kalian sumbangan dong, belikan Lily baju baru," ujar Nandean. "Mau, Ly?" tanyanya kepada Lily."Memangnya aku pengemis disumbang-sumbang?" tukas Lily sengit."Daripada kau pinjam uang Naya untuk beli baju baru, lebih baik kau minta sumbangan sa
Aku menghubungi Ibu, meminta izin menitipkan Leang selama dua hari."Lebih dari dua hari juga tidak apa-apa, Nay," ujar Kak Irfan. "Kebetulan aku sedang cuti, nanti kuajak Leang jalan-jalan ke kebun dan hutan kecil dekat rumah Nenek," lanjutnya.Ketika kuceritakan pada Leang tentang rencana Pakdenya, dia tampak antusias dan meminta buru-buru diantarkan ke rumah Ibu. Malam itu aku membereskan persiapan kepergian kami."Tak perlu bawa pakaian banyak-banyak, kecuali kau berniat menyumbangkan pakaian itu pada orang kampung mereka nanti," Nandean mengingatkan.Aku menatapnya heran."Biasanya orang disana minta pakaian yang kita bawa, tak enak untuk menolak," terang Nandean."Kenapa diminta?" Tanyaku."Patuh sajalah pada suami, nanti disana kau lihat sendiri, benar tidak yang kukatakan," jawab Nandean.Aku tak bertanya lagi. Kusiapkan pakaian pulang dan pergi serta pakaian saat tiba disana nanti. Tetapi kuselipkan juga beberapa potong baju sebagai persiapan sekiranya benar-benar nanti ada
"Selama ini kau selalu kurang ajar dan melawan pada kami, sekarang kau petiklah dapat suami kurang ajar seperti suamimu itu!" seru Bapak."Selama ini kami mendapat malu karena kelakuanmu, sekarang kau dibuat malu oleh kelakuan suamimu!" kata Bapak lagi.Senyap.Tak ada yang berani mengeluarkan suara."Pak, kita mulai makan siangnya ya, sudah dingin semua itu lauknya," Anggun mencairkan suasana.Kami pun makan siang bersama, tanpa Antar dan Lily."Sudah kau cek mobilmu, Nandean?" Tanya Bapak."Sudah, pak," jawab Nandean."Mesin, roda, ban, radiatornya," sebut Bapak."Sudah semua, pak. Tadi pagi sudah aku bawa ke bengkel, " jawab Nandean."Perjalanan jauh ini, melewati hutan dan kebun. Tak ada bengkel di jalan tengah hutan nanti," ujar Bapak."Jadi Bapak mau membuang anak dan menantu Bapak ke hutan, pak?" ledek Anggun.Nandean tertawa.Bapak diam saja. Tampaknya beliau masih kesal dengan kejadian tadi."Dua tahu
Perjalanan lancar, tidak ada kendala yang cukup berarti. Kecuali saat Antar meminta berhenti di sebuah tempat yang sepi dengan alasan ingin buang air kecil. Tetapi Nandean tetap melajukan mobil hingga bertemu dengan pom bensin terdekat. Kami semua turun.Masing-masing menuju toilet. Bapak dan Mama menyempatkan sholat Sunnah di musholla kecil yang tersedia disana.Aku mampir ke minimarket, membeli beberapa makanan ringan dan minuman hangat."Kau tidak membawa uang tunai banyak kan, Nay?" tanya Nandean.Aku menggeleng. Kami memang biasa menggunakan kartu debit atau e-money saja jika sedang berpergian.Setelah beristirahat beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan."Nay, tadi yang beli minum dan makanan siapa?" tanya Mama, saat kami berjalan bersisian menuju mobil."Aku, Ma," jawabku."Si Lily ini tak mau keluar uang sedikit pun," gerutu Mama."Biar sajalah, Ma. Toh sekedar makanan," ujarku."Naya, kau duduklah di d
Orangtua Antar menyambut kami di depan."Cepat sekali kalian sampai," Ayah Antar menyambut kami dengan senyum lebar."Ayolah, masuk sini!" Ajak Mamanya Antar.Kami menyalami mereka."Farida! Farida! Adikmu sudah sampai, da!" Mama Antar berseru sambil berjalan ke dalam rumah.Seorang perempuan seusia Marry keluar, dengan kaos oblong warna biru dan sarung warna merah bermotif bunga."Selamat datang di kampung," ucapnya sambil tersenyum canggung pada kami.Kami duduk di ruang tamu dengan satu set kursi kayu yang terlihat masih baru. Jendela-jendela terbuka menampilkan pemandangan di luar rumah yang tampak hangat disirami cahaya matahari.Suguhan teh, kopi, goreng ubi, dan rebusan jagung memenuhi meja ruang tamu. Kami menikmati teh hangat tanpa harum melati sambil berbincang.Antar dan Nandean membuka bagasi, menurunkan koper-koper Lily dan memasukkannya ke dalam kamar yang ditunjukkan Mamanya Antar."Lily, kau bantulah kakak