Semoga saja dalam waktu dekat dia diboyong si Antar Kabuprovi ke rumah orangtuanya. Walaupun kecil kemungkinannya Lily akan mau. Tapi tunggu dulu, benarkah Lily kenal si Antar lewat telpon nyasar seperti kata Anggun? Atau justru lewat situs kontak jodoh online yang kudaftarkan? Kalau memang karena telpon nyasar, aku tak harus merasa bersalah saat si Antar nanti benar-benar ketahuan sebagai penipu atau penjahat. Tetapi bagaimana kalau mereka kenal karena situs kontak jodoh? Bukankah aku juga yang akan merasa bersalah? Sekelumit kekhawatiran menelusup dalam hatiku. "Memikirkan apa?" tanya Nandean mengejutkanku."Ah? Tidak..." Jawabku gugup."Tidurlah, kalau ada kejadian lanjutan pasti Bapak atau Mama akan menghubungi kita," kata Nandean. Aku beranjak. Memeriksa Leang di kamarnya. Dia sudah tertidur sejak usai maghrib tadi. Kupandangi wajah anakku, lelap, polos tanpa dosa. Kuusap rambut ikalnya. Kucium pipinya penuh cinta. Dialah pengikat aku dengan suamiku dan keluarganya. Ciri fisikn
Dua hari kemudian, Lily menelponku."Naya, ada waktu gak?" Tanyanya."Kenapa, kak?" Aku balik bertanya."Temani aku ke butik ya," pintanya. "mau cari baju untuk kunjungan ke rumah mertua, selera Naya kan bagus," katanya."Ke butik mana?" tanyaku."Butik langganan Naya saja," jawabnya."Aku tak punya langganan butik, kak. Aku beli baju di toko biasa. Baju murahan," sahutku. Aku ingat bagaimana dia dulu selalu menghina pakaianku yang dianggapnya pakaian obral."Tapi ada brand-nya," kilahnya."Kalau yang branded biasanya aku dibelikan Kak Ilham atau Kak Irfan," jawabku."Bukannya dibelikan Bapak Leang?" Ia terus menyelidik."Bapak Leang tidak pernah memilihkan aku pakaian, aku beli sendiri," jawabku.Kudengar suaranya berdecak."Kalau begitu temani aku ke butik dekat kantorku saja," katanya."Aku minta izin Bapak Leang dulu, nanti kakak kukabari kalau sudah diberi izin," jawabku.Terus terang, aku malas sekali menemaninya. Pernah satu kali dulu, saat baru menikah dengan Nandean, aku men
"Mobil mana yang mau dipakai?" tanya Nandean."Mobilmu saja, mobil saya sudah agak tua," jawab Bapak."Bawa semua saja, Pak. Mobil Bapak biar saya yang bawa," sela Antar.Nandean berdehem."Bawa mobil si Leang saja cukup," jawab Bapak.Sekilas kulihat Antar mengepalkan tangan di pahanya."Jadi berangkat kapan kita?" tanya Nandean."Besok malam, biar pagi sampai disana," jawab Mama."Barang bawaanmu sudah kau bereskan, Lily?" tanya Bapak."Sudah," jawab Lily enggan."Jadi kau beli baju baru?" Tanya Nandean.Lily diam saja."Naya besok pakai baju baru?" tanya Rara.Aku tersenyum, "pakai yang ada saja, kak," jawabku."Kalau Naya pakai baju baru, Lily pakai baju baru juga lah. Masa nanti pengantin kalah cantik sama yang mengantar," kata Rara lagi."Kalian sumbangan dong, belikan Lily baju baru," ujar Nandean. "Mau, Ly?" tanyanya kepada Lily."Memangnya aku pengemis disumbang-sumbang?" tukas Lily sengit."Daripada kau pinjam uang Naya untuk beli baju baru, lebih baik kau minta sumbangan sa
Aku menghubungi Ibu, meminta izin menitipkan Leang selama dua hari."Lebih dari dua hari juga tidak apa-apa, Nay," ujar Kak Irfan. "Kebetulan aku sedang cuti, nanti kuajak Leang jalan-jalan ke kebun dan hutan kecil dekat rumah Nenek," lanjutnya.Ketika kuceritakan pada Leang tentang rencana Pakdenya, dia tampak antusias dan meminta buru-buru diantarkan ke rumah Ibu. Malam itu aku membereskan persiapan kepergian kami."Tak perlu bawa pakaian banyak-banyak, kecuali kau berniat menyumbangkan pakaian itu pada orang kampung mereka nanti," Nandean mengingatkan.Aku menatapnya heran."Biasanya orang disana minta pakaian yang kita bawa, tak enak untuk menolak," terang Nandean."Kenapa diminta?" Tanyaku."Patuh sajalah pada suami, nanti disana kau lihat sendiri, benar tidak yang kukatakan," jawab Nandean.Aku tak bertanya lagi. Kusiapkan pakaian pulang dan pergi serta pakaian saat tiba disana nanti. Tetapi kuselipkan juga beberapa potong baju sebagai persiapan sekiranya benar-benar nanti ada
"Selama ini kau selalu kurang ajar dan melawan pada kami, sekarang kau petiklah dapat suami kurang ajar seperti suamimu itu!" seru Bapak."Selama ini kami mendapat malu karena kelakuanmu, sekarang kau dibuat malu oleh kelakuan suamimu!" kata Bapak lagi.Senyap.Tak ada yang berani mengeluarkan suara."Pak, kita mulai makan siangnya ya, sudah dingin semua itu lauknya," Anggun mencairkan suasana.Kami pun makan siang bersama, tanpa Antar dan Lily."Sudah kau cek mobilmu, Nandean?" Tanya Bapak."Sudah, pak," jawab Nandean."Mesin, roda, ban, radiatornya," sebut Bapak."Sudah semua, pak. Tadi pagi sudah aku bawa ke bengkel, " jawab Nandean."Perjalanan jauh ini, melewati hutan dan kebun. Tak ada bengkel di jalan tengah hutan nanti," ujar Bapak."Jadi Bapak mau membuang anak dan menantu Bapak ke hutan, pak?" ledek Anggun.Nandean tertawa.Bapak diam saja. Tampaknya beliau masih kesal dengan kejadian tadi."Dua tahu
Perjalanan lancar, tidak ada kendala yang cukup berarti. Kecuali saat Antar meminta berhenti di sebuah tempat yang sepi dengan alasan ingin buang air kecil. Tetapi Nandean tetap melajukan mobil hingga bertemu dengan pom bensin terdekat. Kami semua turun.Masing-masing menuju toilet. Bapak dan Mama menyempatkan sholat Sunnah di musholla kecil yang tersedia disana.Aku mampir ke minimarket, membeli beberapa makanan ringan dan minuman hangat."Kau tidak membawa uang tunai banyak kan, Nay?" tanya Nandean.Aku menggeleng. Kami memang biasa menggunakan kartu debit atau e-money saja jika sedang berpergian.Setelah beristirahat beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan."Nay, tadi yang beli minum dan makanan siapa?" tanya Mama, saat kami berjalan bersisian menuju mobil."Aku, Ma," jawabku."Si Lily ini tak mau keluar uang sedikit pun," gerutu Mama."Biar sajalah, Ma. Toh sekedar makanan," ujarku."Naya, kau duduklah di d
Orangtua Antar menyambut kami di depan."Cepat sekali kalian sampai," Ayah Antar menyambut kami dengan senyum lebar."Ayolah, masuk sini!" Ajak Mamanya Antar.Kami menyalami mereka."Farida! Farida! Adikmu sudah sampai, da!" Mama Antar berseru sambil berjalan ke dalam rumah.Seorang perempuan seusia Marry keluar, dengan kaos oblong warna biru dan sarung warna merah bermotif bunga."Selamat datang di kampung," ucapnya sambil tersenyum canggung pada kami.Kami duduk di ruang tamu dengan satu set kursi kayu yang terlihat masih baru. Jendela-jendela terbuka menampilkan pemandangan di luar rumah yang tampak hangat disirami cahaya matahari.Suguhan teh, kopi, goreng ubi, dan rebusan jagung memenuhi meja ruang tamu. Kami menikmati teh hangat tanpa harum melati sambil berbincang.Antar dan Nandean membuka bagasi, menurunkan koper-koper Lily dan memasukkannya ke dalam kamar yang ditunjukkan Mamanya Antar."Lily, kau bantulah kakak
Jam sepuluh kami kembali lagi ke rumah Pak Busthami, orangtua Antar. Kursi-kursi yang tadi kami duduki sudah dikeluarkan. Di ruang tamu dan ruang tengah rumah sudah dibentangkan tikar. Bapak masih terlibat perbincangan dengan Pak Busthami. Sepintas kudengar mereka sedang bercerita tentang sejarah hidup dan masa lalu masing-masing.Ibu Busthami kembali duduk menemani Mama di ruang tengah, kue-kue disuguhkan. Separuhnya adalah kue bawaan kami. Pembicaraan kami pun hanya seputar jenis kue dan resep-resep masakan. Ciri khas ibu-ibu."Sedang apa si Lily, Bu?" tanya Mama pada Bu Busthami."Sedang menggoreng ikan dia," jawab Bu Busthami."Disini menantu harus terlihat rajin, Bu. Biar tak malu kami pada tetangga," ujarnya lagi.Kami hanya tersenyum."Da, Farida!" Panggil Bu Busthami."Iya, Mak!" Farida menyahut. Beberapa detik kemudian sosoknya muncul."Suruhlah Lily mandi, biar bersiap dia. Tamu sebentar lagi datang," kata Bu Busthami."Pekerjaannya belum selesai, Mak," ujar Farida."Biar si